Ele merasa menemukan hidupnya kembali setelah sekian lama merasa terkurung di kediaman Abimanyu yang sepi itu. Setiap pagi seusai sarapan dan terapi, dia menyempatkan diri berkunjung ke ke panti asuhan. Selama itu pula dia akan kembali sebelum makan siang, selama waktu-waktu itu dapat dihitung kapan dia berjumpa dengan suaminya dalam kediaman. Effendy sangat sibuk dan workholic. Dalam satu bulan mungkin hanya sekali Ele berhasil duduk bersama suaminya di meja makan sampai akhirnya di bulan-bulan berikutnya dia benar-benar sangat jarang berbicara dengan Effendy. Intensitas pembicaraan mereka sudah jarang namun kali ini semakin parah. Kadang Ele hanya sempat menyaksikan punggung suaminya saat berangkat ke kantor. Dia sendiri sangat jarang keluar kamar sehingga meskipun Effendy berada di rumah, mereka tidak saling bertemu.Bulan-bulan berlalu, dan sudah lewat enam bulan dari waktu yang di perkirakan Andika.Ele sudah tidak menggunakan kruk lagi. Dia sudah bisa berjalan secara normal kemb
"Tuan sudah kembali," laporan Maritha sore itu membuat gerak jemari Ele di atas keyboard laptopnya berhenti. "Dia sudah kembali?" Wanita itu menggumam tanpa menoleh pada sang Maid yang berdiri di sampingnya."Dia sudah kembali sejak dua jam yang lalu, Nona. Tapi dia belum juga keluar kamar."Eleanor terdiam. Apakah ini saat yang tepat untuk menemui Chislon dan meminta waktu bicara? Mungkin dia akan terkesan tidak sopan dan terburu-buru. Namun jika tidak sekarang, Ele tidak yakin dia akan bisa menemui Chislon mengingat betapa sibuknya laki-laki itu. Tak apa, dia akan melanggar satu peraturan dengan menemui Effendy lebih dulu. Lagipula Ele merasa itu juga untuk perpisahan mereka dimana Eleanor yakin kalau suaminya itu bisa menerima.Perempuan itu meninggalkan meja kerjanya. "Aku akan menemuinya."Maritha yang hendak mencegah hanya bisa melipat lidah. Dia bergegas menyusul Ele untuk menunjukkan ruang kamar Effendy."Kamu tidak perlu merepotkan diri, Rith. Aku tahu pintu kamarnya yang man
Ele tidak lagi menyadari kapan dia jatuh tertidur dalam posisi duduk di sofa. Saat dia bangun, gadis itu mendapati dirinya sudah setengah berbaring di atas sofa. Awalnya dia kebingungan melihat nuansa kamar yang berbeda dengan kamar yang ditempatinya. Namun kemudian otaknya mulai bekerja dan memproses ingatan bahwa dirinya berada di kamar Effendy Chislon Abimanyu. Hal pertama yang dilakukan Ele adalah mengecek jam melalui arlojinya. Itu sudah pukul tujuh malam ternyata. Saat dia bergerak ke ranjang, dia menyaksikan sang tuan masih terbaring di atas tempat tidur. Ele sedikit menyesal karna lupa mengompres dahi suaminya itu. Namun perasaan itu lenyap berganti kelegaan saat dia menyentuh dahi Chislon dan mendapati panasnya sudah turun. Laki-laki itu tertidur dengan tenang. Mau tak mau Ele memperhatikannya. Dia semakin menyetujui kalau pria di dekatnya ini adalah seorang yang tampan. Mungkin bagi sebagian orang akan dianggap sangat tampan. Dia memiliki proporsi yang menarik dan pas untuk
Sungguh, dalam mimpi terluarnya sekalipun Eleanor tidak pernah bermimpi akan berada di situasi ini. Menjadi istri dari seorang laki-laki yang paling diinginkan tapi tidak pernah dianggap lebih dari seorang penumpang semata. Gadis itu tertawa pelan. Dia mengenakan piyama berbahan sutra yang di temukannya dalam walk in closet, duduk dengan tenang di atas tempat tidurnya sembari memeriksa beberapa pesan yang masuk di WhatsAppnya. Nama Tristan tampak paling atas, menyampaikan bahwa novelnya sedang dalam proses penerbitan, dengan jumlah pemesanan fantastis seperti biasa. Pesan itu di akhir dengan pertanyaan Tristan tentang kabar dan keadaan Ele sekarang.Ele berpikir sebentar. Dia rasa sekarang tidak ada salahnya untuk menemui sang editornya untuk menceritakan semua yang terjadi padanya. Biar bagaimanapun, Tristan adalah salah satu yang di anggapnya keluarga."Mas, aku ke kantor besok." Begitu bunyi pesan yang Ele kirimkan. Yang mereka sebut kantor di sini adalah sebuah kediaman minimalis
Eleanor masuk ke dalam kediaman sekembalinya dia dari restoran menemui Tristan. Itu pukul dua sore, dia memang tidak langsung berpisah dengan Tristan namun masih menjenguk kantor tadi."Kamu sekarang sudah lebih berani ya?"Suara yang tak asing nan berat itu singgah di telinga Eleanor. Dia menoleh perlahan, menyaksikan suaminya masih dalam balutan jas kantor, duduk di atas sofa ruang tamu. Laki-laki itu duduk dengan sikap seolah dia telah menunggu Eleanor dari tadi."Tuan?" Ele tak tahu harus mengatakan apa. Hanya bibirnya yang berujar pelan. Effendy memberikan kode dengan lirikan tajam, menyuruh istrinya itu duduk.Ele perlahan mendekat dan duduk di sofa tepat di depan suaminya."Sekarang jelaskan padaku, apa yang kamu lakukan di luar sana, keluar tanpa meminta izin suamimu.""Saya hanya menemui seorang teman.""Teman?" Chislon mengangkat alisnya. "Lelaki atau perempuan?""Lelaki."Ada keheningan yang tercipta selama beberapa saat sehingga Ele memberanikan diri untuk mengangkat mata
"Setidaknya harus ada perbedaan antara kau dengan maid." Ucapan Effendy tergiang di kepala Eleanor. Gadis itu bahkan masih termangu saat Effendy sudah melangkah keluar dari dalam kamar, Ele masih tertegun beberapa saat sebelum menyusul."Apa yang kau lakukan di dalam sana?" Panggilan bernada pertanyaan dari Effendy menyentak kan Eleanor. Gadis itu lekas melangkah keluar dari kamar mandi dan mendekati Effendy yang mendekat ke arah tempat tidur.Lelaki itu melirik Ele dengan pandangan mata tajamnya."Bantu keringkan rambutku."Seriously? Ele nyaris memutar mata mendengar perintah itu. Dia mendekat ke arah Effendy dengan raut muka yang sedapat mungkin tidak di tekuknya."Jaga ekspresimu. Sudah seharusnya lah seorang istri melayani suaminya." Ucap Chislon yang membuat Ele merasa kagum atas pengamatan laki-laki itu. Padahal Ele yakin sudah menekan perasaan kesalnya agar tidak muncul ke permukaan.Tanpa mengucapkan apapun apalagi membantah, Eleanor mejangkau handuk putih dan naik ke tempat
Eleanor menggigit bibirnya kuat-kuat sampai dia masuk ke dalam kamarnya. Kedua tangan nya mengepal tanpa dia sadari. Kekasih Chislon Abimanyu menyebutnya parasit. Apakah memang selama ini mereka berdua memperbahasakan dirinya begitu. Selama hidupnya, Ele cukup sensitif dengan kata-kata semacam itu. Dia di besarkan di panti asuhan dan sejak kecil di didik dalam kemandirian untuk tidak menyusahkan orang lain. Dan baru saja, baru beberapa menit yang lalu dia mendengar seseorang menyebutnya sebagai parasit. Siapa yang memintanya untuk tinggal di rumah ini? Siapa yang memaksa untuk menikahinya? Kenapa seolah-olahnya diri nyalah yang merugikan selama ini?Eleanor menghela napas kencang-kencang berkali-kali untuk menetralkan emosinya. Dia harus menjaga kontrol dirinya. Dia bukan perempuan lemah lembut lemot yang tidak akan pusing dengan sebutan semacam itu. Dia adalah orang yang terbiasa berdiri di atas kakinya sendiri dan merasa sakit saat mendengar dirinya di labeli dengan kata berkonotasi
Eleanor menangis sambil memeluk lututnya di dalam kamar. Dia merasa dilecehkan. Ya, itu memang suaminya, namun mereka tidak punya cukup rasa cinta untuk melakukannya. Ele selalu bercita-cita kalau dia akan melakukan ci*man pertamanya dengan orang yang dia cintai, dan sekarang, si brengsek itu dengan seenaknya mengambil c*uman pertamanya. Gadis itu terisak dalam hening. Maritha yang tadi sempat hendak menyusulnya ke dalam kamar tidak bisa masuk karna Ele mengunci pintu kamarnya. "Brengsek!" Dia memukuli lututnya dan jadi kesal sendiri mengingat wajah Effendy. Gadis itu mengusap kasar bibirnya berkali-kali, namun entah mengapa dia merasa bekas Effendy masih tersisa di sana.Ele akhirnya lelah sendiri. Dia kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan berusaha mandi dengan menggosok tubuhnya brutal. "Awas kau Effendy! Aku harus membalasmu!" Raungnya sendirian.***Ele tidak keluar kamar berhari-hari. Dia menghabiskan waktunya di meja tulis, mencari ide dan melakukan beberapa research, meski d