Rasa penasaran mendorongku untuk mengikuti Luca. Aku menuruni tangga perlahan hingga berada di kabin kapal bagian belakang. Mataku memperhatikan Luca yang tampak sibuk melepas kancing kemeja dengan posisi membelakangi. Perlahan kemeja putih polos itu mulai tersingkap dari badan Luca. Mataku tertarik untuk melihatnya. Tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang saat menyaksikan punggung kokoh penuh otot milik pria itu. Seolah terhipnotis oleh pemandangan ciptaan Tuhan yang tampak begitu sempurna, aku tidak berkutik sama sekali. Justru pikiran-pikiran liar semakin gencar muncul di dalam kepala hanya karena melihat pemandangan yang disuguhkan oleh pria yang kini menyandang gelar sebagai suamiku sendiri. Punggung pria itu tidak terlihat polos. Terdapat tato dengan gambar naga yang hampir menutupi seluruh bagian punggungnya. Aku tidak bisa menahan pandangan saat Luca kini melepas celana pendeknya. Kini hanya ada kain berwarna hitam yang menutupi bagian vital pria itu, sebuah celana box
Langkah kami berhenti. Alih-alih mendengarkan Luca yang sedang bicara dengan salah satu pria yang sejak tadi menunggu kami, aku justru memperhatikan sepasang kuda tersebut. Apakah Luca berniat mengajakku menaiki kuda? Keningku mengernyit. Aku tidak pernah naik kuda sebelumnya. Tiba-tiba saja aku ragu saat Luca memintaku untuk segera naik ke atas kuda. "Kita akan pergi ke penginapan. Naiklah ke atas kuda," ucap Luca. Aku menolaknya. "Aku tidak mau." Mataku masih memperhatikan punggung kuda yang setinggi dadaku. Aku mendengar Luca mendesah kasar. Tetapi aku tidak peduli. "Penginapannya cukup jauh, Andrea. Jalannya juga menanjak." "Siapa yang memintamu mengajakku ke sini? Apa aku pernah menyuruhmu? Lagipula bukan tempat ini yang ingin aku kunjungi," gerutuku. Ya, aku kesal karena Luca memutuskan tentang hal ini tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu. "Aku tidak sedang mengajakmu berdebat," balas Luca lalu kedua tangannya mencengkeram pinggangku. Tiba-tiba Luca mengangkat tubuhku
Hari rabu, tepatnya dua minggu yang lalu. Satu dari banyak hari yang sangat aku benci. Andai waktu itu aku tidak menuruti ucapan seseorang yang berstatus sebagai ayah kandungku, Pablo Calandra. Aku tidak akan berada di tempat ini. Aku merindukan rutinitas pagi di ladang kebun bunga lavender milik Tuan Benigno. Selesai mengurus ladang kebun, aku pergi ke villa milik Tuan Massimo. Membersihkan, merapikan, merawat dan tinggal di sana sebagai salah satu pengurus villa adalah satu dari dua pekerjaan yang aku lakukan sehari-hari. Tuan Massimo memberikanku tempat tinggal di dalam villa itu. Satu ruangan kamar sudah lebih dari cukup untukku. Sehingga aku tidak perlu menyewa flat house untuk tinggal. Walaupun Pablo tidak menganggapku sebagai putrinya, Adriana tidak menganggapku sebagai adiknya, tetapi ada banyak orang yang menghargai keberadaan ku, terutama Tuan Benigno, Tuan Massimo dan Delia, sahabatku. Aku tidak marah pada ayah dan kakak yang selalu acuh padaku bahkan sejak masih kec
"Siapa yang menjual mu, dasar anak tidak tahu diri?! Jika aku menjualmu, aku akan mendapatkan uang. Aku bahkan tidak mendapatkan sepeser pun darinya." Pablo mendesah kasar. Ia bahkan menatapku dengan sorot mata yang seperti biasa, yaitu tatapan penuh kebencian. "Tunggu dulu," ucapnya tiba-tiba membuat keningku sedikit berkerut. Sejenak aku merasa penasaran saat ia memalingkan wajahnya. Meletakkan jari tangannya di mulut lalu mengelus-elus dagu yang ditumbuhi janggut. "Kau benar. Ya, kau memang benar. Seharusnya aku meminta uang pada Tuan Luca. Menjadikanmu sebagai pelunasan hutangku tidak cukup. Aku hanya hutang lima ribu euro. Aku mungkin bisa meminta lima ribu euro lagi darinya," gumam Pablo. "Ayah!" Sentakku mendengar ucapannya. Air mataku seketika menetes. Kedua tanganku mengepal. Rasanya ingin sekali menampar wajah ayahku sendiri agar ia sadar yang dilakukannya tidaklah patut disebut sebagai seorang ayah. Saat Pablo ingin membalas ucapanku, seseorang muncul dari balik pintu.
Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh tamu dari pihak Luca pun selesai. Berto menginstruksikan ku untuk mengikutinya. Tetapi aku langsung berhenti ketika menyadari Luca tidak ikut. "Di mana Luca?" tanyaku pada Berto yang ikut berhenti di depanku. Pria itu menoleh. "Tuan sedang ada urusan. Beliau meminta saya untuk mengantar Anda lebih dulu," jawab Berto dengan gelagat hormatnya. "Urusan apa?" Aku bertanya karena penasaran. Toh sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. Tetapi Berto justru memberikan respon lain. Ia menundukkan kepala seolah enggan untuk menjawab. Aku pun hanya bisa menghela napas melihat reaksinya.Apakah mungkin saat ini Luca sedang bersama ayahku? Pasalnya aku tidak melihat ayahku lagi. Ataukah Luca sedang menagih hutang pada orang lain? Aku mendesah. Berharap perkiraanku yang terakhir tidaklah benar. Aku hanya tidak ingin pria itu lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya dibandingkan menghabiskan waktu denganku di saat kami baru saja menikah. Ak
Satu jam berlalu. Aku sudah berganti pakaian. Aku memilih gaun yang memiliki panjang hingga bawah lutut. Gaun tersebut tidak berlengan serta memiliki belahan dada yang cukup terbuka. Rambutku terurai menutupi pundak. Aku meminta salah satu pelayan yang membantu melepaskan gaun pengantin itu untuk menata rambutku, memberikan gelombang-gelombang di ujung rambut. Aku juga memakai bando berwarna senada dengan gaun yang kukenakan saat ini. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanyaku pada seorang pelayan yang merapikan meja rias. "Silakan, Nyonya," balasnya sembari tersenyum ramah padaku. "Siapa saja yang tinggal di sini? Apakah keluarga Luca ada di sini? Aku belum melihat mereka," tanyaku penasaran. "Tuan tinggal sendirian di sini, Nyonya. Nona Aluna tinggal di Amerika dan sedang kuliah semester enam," jawab pelayan yang kulihat memiliki badge name dengan nama Dafne Ercolani. "Sendiri? Memangnya kemana orangtuanya?" tanyaku penasaran. Pasti Dafne akan merasa bingung karena aku tidak ta
Kakiku berjalan pelan menyusuri setiap ruangan. Kali ini aku tidak merasa asyik memperhatikan sekeliling. Mataku hanya tertuju ke arah lantai marmer yang mengeluarkan suara dari hentakan heelsku. Hal penting apa yang akan dibicarakan Luca denganku? Setelah pria itu mengatakan kalimat itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Rasa penasaran semakin membuatku ingin mendesak pria itu untuk segera membicarakan hal misterius tersebut. Langkahku terhenti. Kepalaku terdongak saat menarik napas panjang. Dari kejauhan aku melihat ada sebuah meja yang berada di dekat kolam. Meja itu mulai diisi makanan. Tidak lupa ada hiasan lilin dan bunga di tengah-tengah meja panjang tersebut. Para pelayan tampak sibuk menata satu demi satu makanan yang dibawa menggunakan troli. Aku menoleh ke belakang dan samping, tepatnya ke arah pintu lain yang menjadi jalan untuk para pelayan keluar dari dalam mansion. Tidak ada Luca. Sepertinya pria itu sedang berada di kamarnya atau sedang melakukan hal lain. Se
Tidak ada keinginan membalas pesan dari Delia. Aku langsung menekan ikon memanggil lalu menempelkan benda pipih itu pada telinga. Sejenak aku diam menunggu Delia menerima panggilan tersebut. "Delia," panggilku saat mendengar suara Delia. "Andrea! Kau di mana? Tuan Benigno menanyakanmu," ucap Delia antusias. Aku menunduk sembari tersenyum masam. Benakku membayangkan seolah sedang bicara dengan Delia di depanku. "Andrea, kenapa ponselmu sulit dihubungi dua Minggu terakhir ini?" "Bagaimana keadaanmu di sana?" tanyaku tanpa menjawab satupun pertanyaan Delia. "Aku merindukanmu. Kau dimana dan kapan kau akan pulang?" Aku bangkit dari kursi. Berjalan pelan mendekat ke arah kolam. Tatapanku tertuju pada bayangan bulan yang terlihat di atas permukaan kolam. "Aku juga merindukanmu." "Sial! Kau tidak menjawab satupun pertanyaan dariku, Andrea," gerutu Delia diiringi desahan napas kasar. Tawaku pecah karena Delia mulai menggerutu. "Maaf, Delia. Aku belum bisa mengunjungi villa. Nanti ka