Dion terdiam menatap Venus yang juga menatapnya dengan mata sayu. Sebelah tangannya lantas membelai pipi Venus dan malah mengecup keningnya.
“Sayang ... maafkan aku tidak bisa melindungi kamu.” Venus menggelengkan kepalanya.
“Gak, Mas. Kamu adalah pria terbaik yang pernah aku kenal dalam hidupku setelah Ayahku. Aku sayang sama kamu, tapi aku gak bisa memiliki kamu ...” bisik Venus kala Dion mengecup dalam keningnya. Dion melepaskan kecupannya dan menaikkan sedikit dagu Venus untuk melihatnya.
“Kenapa kamu membuat keputusan sendiri? Apa kamu gak mempertimbangkan perasaanku? Apa kamu gak tahu seperti apa rasa cintaku sama kamu? Aku rela mati untuk kamu, Venus ...” ujar Dion membisikkan seluruh rasa cintanya yang dalam pada Venus. Venus makin meneteskan air matanya. Ia dilema membuat keputusan. Rasanya ingin pergi tapi hati tak ingin.
“Apa pun yang dikatakan oleh Nenekku padamu, tidak mewakili perasaanku padamu. Tida
“Kamu cuma cari-cari alasan agar ndak menikah! Iya kan?” tunjuk Pak Angsana begitu berang pada Dion.“Kamu ndak tahu diri, Dion. Sudah dibantu masuk dan jadi Polisi sekarang kamu balik ingin menjatuhkan Laras! Kamu memang ndak tahu di untung!” tambahnya makin berang.Mbah Lastri mulai sesak dan memegang dadanya. Budhe Dewi pun langsung merangkul dan meminta ibunya agar lebih tenang.“Ibu dengarkan saja, jangan terlalu diambil pikiran. Dion harus menjelaskan posisinya sama Ibu,” ujar Budhe Dewi lagi, perkataannya itu membuat ibunda Laras yaitu Desna jadi ikut marah.“Kalian memang sudah sekongkol untuk mempermalukan kami ya? Sudah, tidak usah ada pernikahan! Aku ora sudi besanan sama kalian!” hardik Bu Desna pada Budhe Dewi. Budhe Dewi ikut tersulut emosi. Kini semua jadi makin kacau dan ribut.“Siapa yang mau besanan sama keluarga egois seperti kalian? Kalian cuma tahu memanfaatkan Dion!”
Dion pulang ke Langham menjelang tengah malam. Meskipun begitu Venus masih belum tidur dan tampak menunggu Dion di ruang tamu.“Sayang? Kamu masih di sini?” sapa Dion yang langsung menghampiri begitu melihat Venus masih duduk sendirian di sofa. Venus tersenyum lembut dan wajahnya mulai cerah. Tangannya memegang ponsel yang lalu dimatikan.“Apa Mas Dion sudah makan malam?” tanya Venus dengan suara lembutnya seperti biasa.“Sudah Sayang,” jawab Dion tersenyum. Ia mendekat dan mengecup pipi Venus dengan lembut. Tak lupa, Dion ikut mengecek suhu tubuh Venus dengan meraba keningnya. Sementara Venus masih terus memperhatikan wajah Dion yang terus tersenyum padanya.“Demam kamu sudah hilang ...” Venus ikut tersenyum dan sedikit menundukkan wajahnya.“Kenapa kamu belum tidur?”“Aku menunggu kamu, Mas ...” jawab Venus lembut. Dion makin melebarkan senyumannya dan menggenggam tang
Dion memejamkan mata dan menarik udara yang mulai menyesakkan dadanya kala mendengar kalimat yang diucapkan oleh Venus. Dion masih dalam perjalanan dari rumah Rico usai berhadapan dengannya.Kini ia harus mendapati kenyataan jika Venus akan pulang ke negaranya dan meninggalkan Dion di Indonesia.“Aku gak mau putus …” balas Dion sambil memejamkan matanya. Suaranya lirih nyaris tidak terdengar tapi Venus mendengarnya.“Kita belum memulai apa-apa, Mas. Tapi aku tahu jika kamu memang mencintai aku, kamu akan datang untukku lagi, iya kan?” jawab Venus semakin lembut dan setengah berbisik.Dion menarik napas lebih panjang dan mengangguk pelan pada dirinya sendiri.“Kita ga akan berpisah kan? Kamu akan tetap mengangkat panggilanku kan? Aku gak pernah anggap kita putus, Sayang. Aku masih milik kamu, kamu masih milikku,” ungkap Dion dengan sepenuh hati.“Hhm … jika memang begitu, selesaikan semu
“Dia marah-marah mau minta penjelasan dari kamu. Laras ditangkap Polisi. Katanya jadi tersangka kasus pencucian uang sama teman kamu itu, Rico!” ujar Pak Dhe Halim menuturkan yang terjadi. Dion hanya menanggapinya dengan napas tenang dan diam beberapa saat.“Mbahmu belum tahu soal ini, soalnya dia sudah tidur sewaktu Pak Angsana datang. Jadi dia berhadapan sama Pak Dhe. Untung tidak terjadi keributan. Aku ya sudah mangkel mau tak tonjok. Itu orang kok ya sombong kalau bicara. Sekarang anaknya yang salah kok ya kamu yang dicari-cari!” sambung Pak Dhe Halim makin mengeluarkan unek-uneknya kekesalannya pada Dion.“Maaf, Pak Dhe. Aku belum cerita yang sesungguhnya yang sedang aku lakukan selama ini,” aku Dion sambil berjalan ke arah sofa dan duduk senyamannya di sana.“Jadi, Laras ditangkap karena kamu toh?”“Bukan, Pak Dhe. Laras ditangkap karena dia ikut menerima uang hasil dugaan pencucian uang. Jika La
Pagi hari di kediaman Pak Dhe Halim berlangsung seperti biasanya. Kejadian semalam saat Pak Angsana datang ke rumahnya tidak diceritakan Halim pada mertuanya. Budhe Dewi pun hanya mengetahui tentang kedatangan Pak Angsana saja dan bukan tentang telepon dari Dion.Namun sebelum keluar dari kamar usai bersiap memakai kemeja seragam tempatnya bekerja, Halim menarik tangan istrinya untuk masuk kembali ke kamar.“Mah, kemari dulu!” panggil Halim pada Dewi yang bersiap keluar usai membantu suaminya bersiap.“Ada apa, Pah? Kamu belum selesai? Apa yang kurang ...” Dewi melihat-lihat penampilan suaminya dan mengira-ngira jika ada yang tertinggal.“Banyak! Aku belum dicium, hehehe ...” goda Halim lalu menyengir. Dewi yang kesal langsung mencubit lengan suaminya.“Kamu itu sudah tua kok ya masih suka guyon!” tukas Dewi sewot.“Ah, kamu kayak ndak tahu saja aku seperti apa. Bukan begitu Sayang, Dion
Dion masuk ke dalam ruang penyidik yang menangani kasus dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh Hendrico Darmawan yang melibatkan Larasati Nugroho.“Silahkan, Pak!” ucap salah satu penyidik yang bekerja sama dengan Dion sebelumnya yaitu AKBP Anthony Ginting. Dion tersenyum tipis mengangguk dan duduk di kursi yang telah dipersilahkan untuknya.Ruangan itu disekat menjadi dua. Salah satunya digunakan untuk memeriksa Laras. Tak hanya itu, orang tua Laras juga berada di ruang lainnya menunggu tim penyidik untuk bicara. AKBP Gilang Sulistyo juga berada di dekat Dion akan mengawal kasus tersebut.“Di depan sudah ada wartawan, siapa yang memanggil?” tanya Dion memulai dengan rasa penasarannya.“Sudah ada konferensi press dari Polda tentang penangkapan kemarin malam,” jawab AKBP Anton.“Gini, Dion. Saya sudah koordinasi sama penyidik dari Polda, kasus dialihkan ke mereka. Jadi kamu dan Pak Kapolres akan ikut meng
BEBERAPA SAAT SEBELUMNYAMobil milik Halim tiba di parkir kantor polisi Polres tempat Dion bertugas. Ia memarkir dengan baik lalu menoleh pada istrinya Dewi setelah menghela napas panjang. Dewi yang ikut menoleh pada suaminya, Halim lalu melepaskan sabuk pengaman dan menoleh ke belakang.“Bu, sebelum kita masuk ke dalam, boleh Dewi minta sesuatu sama Ibu?” ujar Dewi pada ibunya Sulastri yang duduk di belakang. Nenek Sulastri hanya mengangguk pelan.“Nanti di dalem, Ibu ndak usah membantah apa pun. Biarkan Dion yang menjelaskan sama Ibu. Aku ndak mau lihat Ibu sakit karena masalah yang dialami oleh Dion,” ujar Dewi lagi menjelaskan pada ibunya sebaik mungkin.“Biar bagaimana pun Dion itu tetap akan menjadi cucu Ibu, Keponakanku dan anak Mas Steven dan Anggi. Kita sebagai keluarga sudah seharusnya mendukung dan berada di belakang Dion,” sambung Dewi lagi lalu tersenyum.“Ibu ndak perlu membantah apa pun. Deng
AKBP Anton dan dua penyidik dari timnya masuk kembali ke ruangan pemeriksaan dan menginterupsi pertemuan keluarga Dion dan Pak Angsana.“Bagaimana?” tanya Anton pada Dion yang berdiri di dekat pintu. Dion mendekat dan sedikit berbisik.“Dia sudah mengaku hamil tapi masih menolak mengaku mengenal Rico. Katanya Rico memaksanya,” bisik Dion melaporkan pada Anton. AKBP Anton mengangguk mengerti.“Untuk kepentingan penyidikan, kami akan membawa Mbak Laras ke rumah sakit Polri untuk dilakukan pemeriksaan. Silahkan, Mbak, dokternya sudah menjemput di luar!” ujar Anton tersenyum pada Laras dan orang tuanya. Ia langsung memerintahkan satu anggota polisi untuk membawa Laras.“Lho, kenapa malah dibawa ke rumah sakit?” protes Pak Angsana cepat.“Bapak boleh ikut juga, ayo!” AKBP Anton langsung membubarkan pertemuan keluarga itu. Dion juga merasa cukup bagi neneknya untuk mendengar pengakuan Laras mesk