Share

Bab 6.

Mata Indana membola. Dadanya bergemuruh. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang dia rahasiakan selama ini. Bagaimana Mama bisa tahu?

"Mak-sud Mama?" tanyanya takut-takut.

"Kok, jadi grogi gitu, sih? Maksud Mama, tentang undangan makan malam dari keluarga Dokter Ilyas, ayah Dokter Utsman."

Indana mengembuskan napas lega. Dia kira Mama Cahaya mengetahui hal yang paling dia rahasiakan dari orang terkasihnya itu. Indana tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kedua orang tuanya tahu.

Indana mencerna sekali lagi ucapan sang ibu. Undangan makan malam?

"Tadi, Dokter Utsman nggak ada bilang tentang makan malam, Ma." Kali ini Mama Cahaya yang kaget.

"Oh, ya? Apa mungkin Mama dan Papa yang dikasih tahu duluan, ya?"

"Emmm, bisa jadi, Ma. Memangnya kapan?"

"Besok malam."

"Wah, mendadak banget, ya, Ma. Mana Inda lagi banyak urusan di kantor." 

Mama mendekat, lalu meremas kedua lengan putrinya. "Kan, ada asisten kamu di kantor. Atau, jika ada meeting, batalkan sementara. Ini acara yang penting bagimu dan keluarga kita, Inda. Banyak hal yang bisa dibicarakan di sana. Sekaligus, perkenalan kita dengan keluarga Utsman."

Indana mengangguk pelan. Semakin berdebar rasanya jika sudah menyangkut tentang pembicaraan dua keluarga. Karena bagi Indana, ini momen yang tak main-main.

"Mama harus pastikan kamu pakai gaun terbaik." Mama Cahaya memang begitu. Selalu harus tampil perfeksionis di segala acara. Sangat jauh berbeda dengan Indana yang lebih suka memakai dress yang simpel dengan warna-warna kalem.

"Memangnya harus, Ma?"

"Iya, dong. Untuk menghargai diri sendiri sehingga orang lain yang memandang akan senang dan segan kepada kita. Ada falsafah Jawa yang terkenal, yaitu ajining diri soko lathi, ajining raga soko busono. Yang artinya harga diri seseorang bisa dinilai dari cara bicaranya, penampilan seseorang mencerminkan kepribadiannya."

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu lalu melangkah menuju lemari besar berwarna putih yang di dalamnya berisi baju dan aksesoris milik Indana. Wanita paruh baya itu membukanya, lalu memilih gaun yang menurutnya pantas dipakai di acara makan malam. Indana merasa beruntung terlahir dari rahim wanita hebat tersebut. Di sela-sela kesibukan, ibunya tak pernah sekalipun mengabaikan Indana, meskipun itu hal-hal yang remeh.

"Nah, ini cocok buatmu. Warna kalem, tapi elegan. Tinggal kamu cocokkan dengan kerudung yang senada. Ah, Mama bahkan lupa kapan Mama memesan ini secara khusus untukmu karena nggak pernah kamu pakai." Mama Cahaya menenteng gaun berwarna ungu taro yang di lengannya dilapisi brukat premium dan bagian pinggangnya terdapat belt pita. 

"Cantik, ya, Ma." Indana baru menyadari bahwa dia punya baju secantik ini.

Mama Cahaya memutar bola mata dan memandangnya gemas. "Ya, karena kamu nggak pernah make baju-baju kayak gini. Sukanya gamis polos tanpa pernak-pernik dan motif."

"Ya, kan keseharian Inda kerja, Ma. Dan … nggak pernah punya acara spesial dengan laki-laki. Palingan hang out sama Mahiya."

Indana mengambil gaun itu, lalu meletakkannya di ranjang. Setelah itu, dirinya memilih kerudung dengan warna yang pas. 

Dia tunjukkan perpaduan gaun dan kerudung itu kepada sang ibu. Mata wanita paruh baya itu berbinar yang berarti setuju.

"Semoga dilancarkan semuanya. Mama berdoa yang terbaik untukmu."

Sebelum meninggalkan kamar, sang ibu memeluknya sangat lama. Hingga terdengar suara sesenggukan. Indana tahu orang tuanya begitu menginginkan dan merindukan momen ini. Indana juga berharap semuanya berjalan lancar. Meskipun, sejujurnya dirinya masih setengah hati menerima.

***

Makan malam keluarga yang direncanakan oleh dr. Ilyas akhirnya terlaksana. Indana bersama kedua orang tuanya memasuki tempat khusus di hotel bintang lima yang sudah dipesan sebelumnya. Tak butuh waktu lama, mereka memasuki ruangan eksklusif dengan interior mewah yang keseluruhannya berwarna cokelat keemasan. Mereka segera menghampiri meja tempat keluarga dr. Utsman berada.

Mata dr. Ustman berbinar begitu melihat Indana. Mata pemuda itu terlalu jujur untuk menunjukkan bahwa ia terpesona. Dr. Utsman juga kelihatan sangat tampan memakai kemeja hitam. Indana hanya tersenyum simpul sembari menunduk. Malu terlalu lama dilihat begitu.

Indana duduk tepat di hadapan dr. Ustman. Di sana hadir ayah, ibu, beserta saudara perempuan pemuda itu. 

"Senang bisa bertemu di situasi baik seperti ini, Ilyas," ucap .

"Sudah semestinya. Ayo, boleh kita kenalan dulu." Dokter Ilyas memulai pembicaraan. Secara bergantian Indana menyalami dr. Ilyas, istrinya, dan saudara perempuan dr. Utsman.

"Saya Hawa. Adiknya Mas Utsman yang ganteng," ucap gadis itu dengan senyum jenaka. Dia tampaknya gadis yang periang. Indana membalasnya dengan senyum pula.

Terhadap dr. Utsman, Indana hanya menangkupkan kedua telapak tangan di dada. Begitu pula dengan pemuda tersebut yang mengerti Indana sangat menjaga batasan hubungan dengan lelaki yang bukan mahram.

Satu per satu pelayan membawa pesanan ke meja. Mulai dari minuman, sajian appetizer, main course, dan dessert. Indana sangat tergugah dengan menu main course yang disajikan. Menu favoritku, mashed potato with steak. 

"Saya tahu, ada menu favorit Nak Indana di sini." Ibu Hafsa, ibu dr. Utsman berkata semringah seraya melihat Indana.

"Iya, benar." Indana tersenyum dan tersipu. Dari mana tahu?

"Jangan tanyakan dari mana saya tahu. Saya punya agen mata-mata yang handal."

Tak ayal mereka tertawa bersama. Di antara semuanya, Mama Cahaya yang paling tergelak. Indana jadi curiga kalau Mama Cahaya yang memberitahu.

"Mari, sambil kita berbincang, sambil dimakan jamuannya." Ibu Hafsa mempersilakan.

"Mau kupesankan mashed potato steak-nya lima porsi, Inda?" canda dr. Utsman. Indana menegaskan wajah dan melotot ke arah pemuda itu. Sementara Utsman membalas dengan tatapan menggoda. Kontan saja itu membuat Indana menunduk sambil tertawa. Indana jadi banyak pemalu di acara itu.

Mereka berkenalan satu sama lain. Lalu, membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan keluarga masing-masing. Keluarga dr. Utsman, meskipun memiliki status sosial yang tinggi, mereka keluarga yang ramah. Terutama dr. Ilyas dan Ibu Hafsa, kedua orang tua itu sangat perhatian dan kelihatan memiliki pemikiran yang kompak. Sementara Hawa, cenderung lucu. 

Makan malam yang sebenarnya formal itu mereka lalui dengan sangat menyenangkan. Baru dia ketahui ternyata dr. Ilyas adalah dokter bedah senior yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan dr. Utsman.

Setelah ngobrol-ngobrol, dr. Utsman meminta izin kepada kedua orang tua Indana untuk membawanya jalan-jalan sejenak ke sebuah tempat yang tak jauh dari ruangan makan malam itu.

Tak berapa lama, keduanya sampai di rooftop hotel yang didekor romantis. Kebanyakan di sina tempat nongkrong para kawula muda. Kemungkinan semuanya dari kalangan sultan, karena kata dr. Utsman menu-menu di tempat ini meskipun menu ala tongkrongan, harganya lumayan menguras dompet.

keduanya berdiri di tepi rooftop. Dari atas tempat mereka berdiri tampak keindahan kerlap-kerlip lampu kota yang berwarna-warni. Indana jarang sekali menikmati pemandangan seperti ini, terlebih bersama seorang lelaki.

"Bagaimana, Inda?"

Indana mengernyitkan kening, dengan ekspresi pura-pura bingung. "Bagaimana apanya?" 

"Hemmm, mulai, deh. Tentang hubungan kita." Wajah lelaki itu lucu jika tengah merajuk.

Indana tertawa kecil. "Iya. Saya ngerti, kok."

"Percayalah, nggak akan kubiarkan nama wanita lain berada di hatiku."

Indana menatapnya tajam. "Bagaimana jika saya yang menyimpan nama lelaki lain? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status