Share

4. Nostalgia Rasa

Vino terus meringis menahan sakit. Apa kakinya benar-benar patah? Ah, paling cuma terkilir. Entah kenapa melihatnya kesakitan, aku malah ingin tertawa. Namun, rasa kasihan lebih dominan.  Kembali kulirik ia dari kaca tengah.

“Cepat, Kal. Kasihan ini si Excel.”

“Iya, Pa. Ini juga udah ngebut,” jawabku dengan sedikit gelisah.

Mobil terus melaju menuju rumah sakit terdekat. Tidak berapa lama, kami sampai di pelataran parkir. Langsung kuputar kemudi menuju depan pintu IGD. Begitu mobil berhenti, Papa langsung membuka pintu dan memanggil seorang nurse yang tengah berjaga.

Dengan sigap, perawat laki-laki dibantu rekannya segera membantu Vino menuju ruang penanganan. Aku dan Mama ikut turun. Namun, seperti biasa kami dilarang masuk saat pasien tengah ditangani.

Papa mulai gusar dan melirikku penuh pertanyaan. Tanpa berlama-lama aku pun menjelaskan runtut seperti apa kejadiannya.

“Siapa suruh pegang-pegang, aku ‘kan refleks, Pa. Beneran enggak sengaja. Kalaupun aku tahu itu Kak Vino, aku juga ogah tangan ini dipegang-pegang dia,” sungutku dalam penjelasan.

Mama dan Papa saling pandang. Hingga akhirnya Papa bertanya, “Sebenarnya kalian ini dulu ada apa? Kenal di kampus atau di mana? Pernah ada hubungan?”

Aku menunduk, mengatur napas sebaik mungkin. Orang tuaku tidak pernah tahu bahwa semasa SMA aku pernah punya pacar. Ya, pacar pertama, dan ... Vino-lah orangnya. Kami selisih dua tingkat. Hubungan  backstreet terpaksa aku lakukan, sebab Papa melarang keras putrinya berpacaran.

 Kak Vino salah satu idola di sekolah. Bangga, dong, punya pacar keren. Selain anak orang kaya, tampan, dan pintar, lelaki itu ketua OSIS.  

 Hubungan kami bermula saat awal masa orientasi sekolah dimulai. Kukira, aku hanya disuruh menyatakan cinta sebagai hukuman kepada sang ketua organisasi intra sekolah itu. Namun, rasa ini ditanggapi serius olehnya.

“Aku bakalan terima cinta kamu, dengan satu syarat,” ucapnya kala itu.

“A-apa itu, Kak?” tanyaku gugup.

“Hubungan ini harus terus lanjut sampai serius. Mau?”

Antara kaget, juga tersipu. Sorak dan tepuk tangan terdengar bergemuruh di lapangan basket. Sambil menyelam minum air. Bebas dari hukuman, dapat pacar keren pula. Ihiirrr!

Hampir delapan bulan menjalin hubungan, ternyata Kak Vino juga baru saja merasakan yang namanya pacaran. Dia bilang anti menyatakan rasa terlebih dahulu. Rasa tertarik padaku sudah ada sejak pandangan pertama, dan ternyata momen ‘penembakan’ itu adalah siasatnya untuk mencuri hatiku.

“Hah! Jadi waktu itu aku dijebak?”

“Iya,” jawabnya sambil nyengir kuda. “Tapi, jebakanku enggak main-main, Kal. Aku serius sama hubungan ini.”

Waktu itu aku hanya memajukan bibir. Belum dan tidak sepenuhnya percaya dengan ucapannya. Namun, Kak Vino memang menjaga diri ini. Ia tak pernah menyentuhku lebih dari sekadar pegangan tangan. Hingga suatu insiden yang belum bisa terlupakan sampai detik ini menjadi awal terpisahnya rasa di antara kami.

“Nungguin Kak Vino, ya, Kal?” tanya salah satu teman saat melihatku berdiri di depan gerbang sekolah.

“Eh, iya, Ra,” jawabku sambil tersenyum.

“Udah lama?”

Kutengok penunjuk waktu di pergelangan tangan. Ternyata sudah lebih dari sepuluh menit aku duduk dan menunggunya untuk pulang bersama seperti biasa. Rara hanya tersenyum tipis.

“Masuk, gih! Takut cowok lo tergoda pesona Kak Nindi. Paham maksudku, kan? Paham, dong. Masa gak paham?” Rara berlalu setelah memberikan sebuah info.

Sejenak aku tercekat. Kak Nindi salah satu cewek populer dengan kecantikan maksimal. Ketua dari tim cheerleaders SMA kami itu juga hobi gonta-ganti pacar. Salah satu perempuan yang terlihat sinis saat melihatku adalah dia. Usut punya usut, ia tidak terima targetnya berpacaran dengan adik kelas. Ya, Kak Vino adalah targetnya.

Aku berlari mencari keberadaan lelakiku. Memastikan bahwa dia tidak sedang bersama Kak Nindi. Walau hanya sebatas cinta monyet anak SMA, tetapi ini pertama kali aku pacaran. Belum siap jika harus patah hati terlalu dini.

Mereka berdua satu kelas, sama-sama anak IPA. Aku hafal jadwal pelajaran kelas Kak Vino di jam terakhir hari Kamis; Sains. Dan hari ini mereka ada praktikum. Kemungkinan besar mereka berdua masih di laboratorium.

Kakiku terus melangkah menyusuri lorong menuju lab. Dari jauh, pintu kupu tarung itu masih tampak terbuka sebelah. Berarti di dalam memang masih ada orang. Suasana sudah mulai sepi. Aku memelankan langkah saat mendengar seseorang seperti tengah berbincang.

“Aku yakin, anak ingusan itu belum kamu apa-apain.” Suara perempuan sedang berbicara. Ya, itu suara Kak Nindi.

“Minggir! Kalila udah nungguin aku.”

“Santai aja kali, Vin. Dia pasti nurut suruh nungguin di depan gerbang. Pinter juga, sih, kamu pacaran sama anak cupu macam dia. Gampang dibohongi. Kita main bentar aja di sini. Aku mau ajarin kamu kissing. Belum pernah, kan? Duh, gemes. Sini aku ajarin!”

Suara itu tampak manja dan sengaja dibuat-buat lebih merdu. Degup jantungku semakin berpacu cepat. Kurasakan mata juga mulai panas.

Aku melanjutkan langkah. Ingin tahu mereka berbuat apa. Kak Nindi tampak berjinjit. Tangan kirinya menarik dasi Kak Vino hingga lelaki itu diam tanpa perlawanan. Aku hampir menangis saat bibir wanita itu hendak menyentuh bibir pacarku. Lelaki tampan itu tampak menolak dengan mengalihkan wajah ke arah pintu. Bibirnya selamat, tetapi sebelah pipinya berhasil disentuh bibir tipis milik Kak Nindi. Di saat itulah ia melihatku.

“Kalila?” ucapnya.

Vino tampak sangat kaget, sementara aku masih terpaku. Sempat terlihat ekspresi menertawakan dari wajah perempuan itu yang sengaja ia tunjukkan untukku.

Sejak saat itulah semua berakhir. Tanpa ada kata putus, aku mengambil keputusan untuk tidak mau lagi berbicara dengannya. Memutus kontak dengan memblokir nomor WA serta semua akun sosial medianya. Kak Vino selalu mencoba mencari cara untuk berbicara denganku. Namun, aku selalu acuh. Ya, sepatah itu rasanya.

Tidak berapa lama dia lulus SMA. Sempat kuliah di universitas terkemuka di kota Gudeg ini, tetapi tidak lama. Entah apa alasannya ia memilih kota Semarang untuk melanjutkan study-nya. Kabar terakhir yang mampir di telinga, ia ikut keluarganya pindah dan menetap di sana. Entah harus sedih atau senang, setidaknya aku bisa fokus belajar tanpa bayang-bayang mantan. Mungkin mulut bisa berkata ‘lebih tenang’. Namun, jujur ... di dalam sana masih ada secuil rasa sayang.  

    Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mau berpacaran. Menutup hati untuk lebih fokus memperbaiki diri dan bersungguh-sungguh meraih prestasi. Luna pernah bilang, “Putus cinta itu enggak sakit, Kal. Yang sakit itu sudah putus, tapi masih cinta.” Benarkah begitu? Kalau dirasa-rasakan memang iya, sih.  

“Kalila? Ono opo, Nduk?” Pertanyaan dari Papa memutus lamunanku akan masa lalu.

“Vino kakak kelas Kalila waktu SMA, Pa, Ma. Kita pernah dekat.”

“Pacaran?” sela Mama.

Aku kembali menunduk, kemudian mengangguk. Terdengar helaan napas berat dari Papa. Mungkinkah beliau kecewa dengan Kalila remaja?

“Ada yang bernama Bapak Nazeem?” Seorang perawat keluar dari ruang IGD.

Papa berdiri. “Saya, Sus.”

“Pasien atas nama Excel Vino ingin Anda masuk ke dalam. Silakan, Pak.”

Papa mengangguk dan segera masuk. Aku semakin khawatir mengingat Vino yang jatuh berguling-guling dari atas tangga hingga ke lantai dasar. Sumpah demi apa pun, ini murni ketidaksengajaan. Semarah-marahnya aku sama dia dulu, enggak akan berbuat sesuatu yang akan membahayakan nyawanya.

________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status