“Ma, Mama percaya, kan, sama cerita Kalila?” tanyaku menatap Mama. “Lila beneran enggak sengaja bikin Kak Vino jatuh dari tangga.”
Mama hanya mengangguk dan membelai punggung ini. Seperti biasa, belaian wanita nomor satu itu selalu sukses menyalurkan sebuah kekuatan dan ketenangan akan kegelisahan yang datang berkelindan.
“Atau kalau Mama sama Papa ragu, kita bisa cek CCTV hotel.”
Aku terus berbicara walau lawan bicara hanya tersenyum, mengangguk, dan memberikan sentuhan lembut agar sang putri tenang. Sedangkan aku? Bagaimana bisa tenang jika secara tidak langsung semua penyebab insiden bermula dari ketidaksengajaan yang aku lakukan?
Namun, kata ‘takut’ tidak pernah ada dalam kamus hidupku jika memang kebenaran berada dalam genggaman. Apalagi ada CCTV hotel yang bisa dijadikan bukti jika ada unsur ketidaksengajaan dalam peristiwa tersebut.
Closed Circuit Television di hotel Papa dilengkapi dengan baterai sebagai sumber tenaga cadangan atau backup. Sehingga alat yang bisa dikategorikan benda penting itu tetap dapat digunakan untuk merekam meski dalam keadaan mati lampu.
"Tenang, Sayang. Rileks. Kita belum tahu bagaimana kondisi Excel di dalam,” ujar Mama.
"Vino aja, Ma. Jangan Excel. Terlalu keren,” sungutku.
“Kamu kenapa? Oh, iya. Mantan, ya. Mama lupa,” godanya.
“Ish!”
Mama terkikik seraya merengkuh pundakku dari belakang. Tidak berapa lama Papa keluar. Aku pun langsung berdiri dan menghampirinya.
“Gimana, Pa?” tanyaku tidak sabar.
Lelaki yang namanya tersemat pada nama belakangku itu memilih duduk. Dengan cepat aku pun mengikutinya. Namun, beliau lebih dulu melirik ke arah Mama di sebelah kanan, dan entah apa yang terjadi, Mama mengangguk. Papa mulai mengatur napas dan menoleh padaku yang duduk di sebelah kirinya.
“Gimana, Pa?” ulangku.
“Diagnosa awal, Excel cedera di bagian tulang belakang. Dokter akan segera melakukan rontgen dan CT Scan untuk memastikan semuanya tidak ada yang serius. Tapi ....” Papa menggantung ucapannya.
"Tapi kenapa, Pa?”
“Excel bilang kepalanya sakit dan pusing. Kata dokter itu lumrah terjadi pada orang yang baru terjatuh dari tangga. Untungnya, kita langsung bawa ke rumah sakit. Dan dia bilang bagian tulang ekor juga terasa sakit katanya.”
Aku langsung lemas mendengar penuturan Papa. Walau diagnosa belum pasti, tetapi aku pernah membaca beberapa kasus tentang orang yang jatuh dari tangga. Ada yang baik-baik saja jika tangga tidak teralu tinggi. Namun, melihat cara jatuh Kak Vino yang jelas tertangkap mata kepala sendiri, aku takut jika nantinya akan menimbulkan cedera yang tidak main-main.
“Terus, tadi kenapa Kak Vino cuma manggil Papa buat masuk?”
“Cie, pengin dipanggil juga?” sela Mama.
“Ish, Mama ...,” rengekku. “Lila serius, Ma.”
Mantan pacar Papa itu langsung terdiam dan mengatupkan kedua bibirnya setelah sang suami sedikit memperingatkan dengan nada halus.
“Nanti Papa kasih tahu, seka-“
Kalimatnya berhenti kala pintu ruang IGD terbuka dan Kak Vino yang tampak terpejam segera didorong oleh dua orang perawat. Aku terpaku menatap wajah tampannya yang kini terlihat semakin dewasa.
“Kak Vino, maafin Lila ...,” rintihku dalam hati.
Papa mengikuti seorang dokter atas perintahnya. Mama diminta suaminya untuk ikut serta menemani, dan aku kembali terduduk dengan tubuh lemas. Antara prihatin dengan kondisi lelaki yang pernah menjadi penghuni hati, juga mulai frustrasi karena merasa menjadi tersangka dalam kasus ini.
Ponsel di dompet yang kubawa berbunyi. Nama Luna tertera di layar.
“Ya, Lun?”
“Kamu di mana, Kal? Ini sesi foto-foto. Ratu minta kita foto bertiga.”
“A-aku di rumah sakit,” jawabku lemas.
“Hah? Di rumah sakit? Ngapain? Kapan ke sananya?”
“Ceritanya panjang, Lun. Nanti pasti aku cerita. Udah dulu, ya. Titip salam buat Ratu sama Wisnu.”
Aku segera memutus sambungan.
***
"Apa? Nikah sama Kak Vino?”
Entah harus bahagia atau sedih, laki-laki di atas brankar ruang perawatan itu memintaku menikah dengannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Ya, setelah dilakukan pemeriksaan, hasil evaluasi menyatakan selain pusing dan mual yang datang pergi sejak semalam, tulang belakang mantan sedikit mengalami cedera, untung tidak parah.
Akan tetapi, beberapa bagian terpaksa harus dipasangi gips dan perban karena mengalami patah tulang, kaki sebelah kiri dan tangan sebelah kanan. Hal itulah yang membuatnya kesulitan untuk duduk, lebih-lebih berjalan. Butuh waktu dan terapi sebagai pemulihan. Sedikit mirip mumi jadinya. Tapi muminya ganteng. Eh!
Aku menunduk lemas melihat kondisinya.
“Apa bentuk tanggung jawabku harus dengan cara menikah dengan Kakak?” tanyaku. Menatap wajah lelaki yang kembali menarik rasa simpati.
"Ya. Aku ingin tanganmu sendiri yang merawat dan membantuku untuk pulih. ‘Kan tanganmu juga yang bikin aku kek gini.”
"Lah, yang pegang-pegang tanganku duluan juga Kakak, kan?” kilahku. Tak mau sepenuhnya disalahkan.
"Kondisinya gelap, Kal. Aku pegang tanganmu juga refleks karena sedikit terpeleset.”
“Aku juga refleks lepasin tangan Kakak.”
Pokonya aku enggak mau kalah. Enak saja!
“Makanya ... kalo jalan jangan sambil chatingan!” tuduhku.
“Dih, siapa yang chatingan? Sok tahu!”
Terdengar beberapa tawa yang sengaja ditahan. Ya ampun, kenapa aku tidak sadar kalau di ruangan VVIP ini bukan hanya ada aku dan Kak Vino? Ada Papa Mama dan orang tua mantan yang dini hari tadi baru sampai dari Semarang.
“Sepertinya, kita jadi besanan ini, Zeem.” Suara Om Wijaya menengahi pertengkaran kecil antara aku dan anaknya.
“Sepertinya begitu,” sahut Papa.
“Ini, sih, namanya CLBK. Cinta Lama Belum Kelar.” Mama ikut urun suara.
Sementara wanita cantik yang memperkenalkan diri sebagai ibu lelaki menyebalkan itu hanya tertawa lirih.
Papa mendekat ke arahku. Memegang pundak ini dari belakang. “Nak, kamu ingat ucapanmu seminggu yang lalu?”
Aku menoleh. “Ucapan yang mana, Pa?”
“Kamu bilang mau nyari suami minggu depan kalau enggak hujan. Ingat?”
Deg!
Ingatanku akan ucapan hari Jumat kala itu masih terekam jelas. Ya, aku memang sempat berbicara asal menanggapi kalimat Papa.
"Pagi ini cerah, lho. Semoga sampai nanti malam cuaca mendukung. Karena hari ini orang suruhan Papa akan mengurus semuanya untuk pernikahan kalian.”
“Pernikahan? Hari ini?”
“Ya, malam nanti,” jelas Papa.
Kulirik calon suami dadakan yang mungkin malam nanti benar-benar akan resmi bergelar suami. Ia tampak tenang dan rileks. Namun, ada senyum tipis di kedua sudut bibirnya.
“Kak Vino ... ini serius? Menikah hari ini?” tanyaku dengan suara lemah. Belum percaya.
“Ya.”
“Enggak bisa diundur? Masa secepat ini?”
“Enggak bisa!”
“Jangan main-main, Kak ...,” rengekku dengan nada pasrah.
“Kapan aku pernah main-main?” Sorot matanya terlihat mengintimidasi.
“Waktu itu, Kak Vino-”
“Apa?” potongnya cepat. “Kamu bahkan enggak pernah ngasih aku kesempatan buat ngejelasin semuanya. Main blokir semua akses komunikasi. Enggak gitu cara menyelesaikan suatu masalah, Kal.”
Papa dan Om Wijaya tampak berbincang dan melangkah keluar ruangan. Disusul Mama dan Tante Jainab yang katanya mau ke kantin beli camilan. Padahal di meja sudah banyak aneka makanan ringan. Sepertinya, mereka ingin memberi ruang untukku dan si mantan kembali merajut angan.
Ruangan luas dengan fasilitas mewah ini mendadak sempit. Aku pun seperti terimpit rasa canggung dan bingung.
"Kal, kamu percaya jodoh?”
Aku bergeming.
"Enggak ada yang kebetulan. Semuanya memang sudah di-setting sama Tuhan. Papamu dan ayahku teman baik waktu di pesantren. Mereka bahkan pernah bergurau agar suatu saat bisa menjadi besan.”
Mataku membulat tak percaya. Sumpe, lo?
“Jodoh itu seperti hilal, Kal. Kalau sudah muncul, kenapa harus diperdebatkan?”
Sidang isbat saja sekalian. Kekehku dalam hati.
_____
Ya, setiap ucapan adalah doa yang terlantunkan. Aku tidak pernah menyangka, bahwa seminggu setelah ucapan di hari Jumat waktu itu benar-benar membawaku pada situasi aneh ini. Aneh. Ya, sangat aneh sekali.Pesona mantan yang belum sepenuhnya sirna, kini kembali lagi hadir di pelupuk mata. Memaksaku untuk kembali mencari kunci hati dan membukanya, hanya untuk sekadar memastikan, apakah mantan masih tetap bertahan?“Di antara kita enggak ada kata putus, kan, Kal?” Ucapan Mas Vino menarikku dari lamunan. “Keputusan menjauh murni maumu, bukan mauku.”Aku bergeming. Mencoba berdamai dengan diri sendiri.Memang, tidak ada kata putus di antara aku dan Kak Vino. Keputusan untuk menjauh adalah keinginanku sendiri. Dibilang mantan juga bukan, dibilang masih pacaran juga enggak, dan sekarang ... semesta seolah-olah ingin kembali mempersatukan.Persiapan serba mendadak sudah selesai. Bakda salat Magrib; penghulu, wali, dan saksi sudah memenuhi ruang VVIP Lily ini. Mama, Luna, dan Ratu akan menjadi
Tidak ada kamar pengantin, yang ada hanya kamar rawat inap. Walaupun dilengkapi dengan fasilitas smart TV, bed penunggu, sofa, kulkas, mini bar, dan beberapa pelengkap lainnya, tetap saja ini rumah sakit. Kita di sini sebab ada yang sedang sakit dan butuh perawatan.Kini kami hanya berdua. Ayah dan ibu mertua menginap di rumah Papa. Sementara yang lain tentu saja pulang. Selain tidak diperbolehkan banyak penunggu, tentu saja ini juga keinginan pasien.“Pengantin baru, kok, dijagain,” katanya.Yang lain mesem-mesem, aku hanya terdiam pura-pura sibuk. Ya, sibuk menetralkan irama jantung, karena kurasakan pipi sedikit panas. Mungkin juga sudah bersemu merah karena Mama malah menaik turunkan kedua alisnya seperti menggoda. Sementara dua sahabatku juga ikut-ikutan. Halah mbuh, Cah!“Selamat ya, Kal. Enggak nyangka, lho, buket bunga yang langsung aku kasih ke kamu harapannya bekerja dengan cepat,” ucap Ratu, sebelum berlalu digamit sang suami.“Tahu gitu bunganya kamu kasih ke aku aja, Tu,”
Aku terdiam. Merasakan getaran hebat yang sulit diartikan. Jika dinding yang mengelilingi kami saat ini terbuat dari kaca, mungkin aku bisa melihat seperti apa merahnya wajah ini. Rasa-rasanya, aku telah kembali tertawan oleh pesonanya, persis seperti tujuh tahun yang lalu. Tanpa mengucap sepatah kata pun, segera aku berlalu menuju jendela dan menutup gorden.Benar kata Mas Vino, kerlap-kerlip bintang seolah-olah mengintai malu di balik gumpalan awan tipis di malam ini. Apakah mereka benar-benar cemburu? Ah, kenapa aku jadi terjebak kalimat puitisnya. Bibirku melengkung, kembali merasai hangat yang mendesir.Aku kembali hendak menuju bad penunggu di sebelah suamiku yang masih terduduk menyandar pada bantal.“Sini, Sayang!” pintanya. Menepuk kasurnya sendiri.Aku menggeleng pelan. “Di sini aja, Mas. Enggak muat di situ.”“Muat, kok.” Ia menggeser sedikit tubuhnya.Aku langsung sigap. “Bisa, Mas?”“Bisa. Habis nyium pipi kamu aja aku udah ada sedikit kekuatan. Gimana kalau lebih?” godan
Aku menggeliat saat mendengar bunyi alarm dari sebuah ponsel. Ternyata benda pintar yang dimiliki hampir seluruh umat manusia di era milinial itu ada di bed sebelah.“Loh? Aku, kok ....” Aku bergumam lirih.Mulai sadar sepenuhnya saat melihat satu tanganku digenggam oleh Mas Vino dan diletakkan di atas dadanya. Dia masih tertidur. Posisi kepalanya di samping pinggul, sementara saat ini aku terjaga dalam keadaan terduduk. Jadi, dari semalam aku tidur berdua dengan Mas Vino dalam posisi menyandar? Di tempat tidur pasien yang sempit ini? Astaga ... ketiduran apa terhipnotis?Perlahan kulepas genggaman tangan kami. Aku turun dari tempat tidurnya dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Namun, sesuatu yang basah tampak terasa di bagian sensitif. Saat ingin kuraba bagian belakang, mata ini menangkap bercak merah di seprai putih kasur pasien.Loh? Aku mens? Astaga ....Waktu Subuh sudah tiba. Perlahan kubangunkan Mas Vino agar segera menunaikan salat Subuh. Ia menggeliat dengan pelan-pel
Sebelum mereka berasumsi yang tidak-tidak, segera aku menjelaskan kenapa sudah mandi pagi-pagi begini. Berikut penjelasan seprai dengan bercak darah menstruasi yang aku cuci sendiri. Benar saja, dua wanita yang sudah tampak akrab itu mengira bahwa ritual malam pertama sudah terjadi.“Owalah, kirain Mama kalian udah iya-iya,” bisiknya saat menata sarapan pagi yang dibawanya dari rumah.“Mama yakin kami udah begituan dalam keadaan Mas Vino seperti itu? Ada-ada saja,” jawabku.Mama malah terkikik. “Iya juga, sih. Malah bahaya kalau dipaksa begituan sebelum benar-benar sembuh.”“Nah, itu Mama paham.”Menu sup ayam, perkedel kentang, kerupuk, beberapa olahan ikan laut berikut sambal sengaja beliau masak untuk sarapan kami. Ya, Mama selalu mengajarkan Kalila kecil hingga dewasa ini untuk mencintai makanan rumahan yang dimasak dengan bumbu cinta.“Banyak banget olahan ikannya, Ma?”“Suamimu harus banyak makan ikan laut. Bagus buat tulangnya.”Aku hanya mengangguk sambil melihat sup ayam brok
Sudah lima hari ruangan dengan segala fasilitas mewah ini kutempati bersama suami. Bukan hotel, tetapi ruang rawat inap. Walau kelas VVIP, tetap saja rumah sakit. Tidak ada acara sakral seperti pasangan pengantin baru pada umumnya. Dibantu asisten dokter juga perawat, aku pun ikut membantu dan mendampingi pemulihan Mas Vino dengan berjalan dan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk memastikan perkembangannya.Alhamdulillah, setidaknya korban ketidaksengajaanku itu sudah membaik. Aku tersenyum saat ia kembali dari teras samping usai menikmati sinar mentari pagi dari lantai dua ini.“Kal, kita harus adakan pesta untuk pernikahan kita ini.”“Hmm, boleh. Tapi, apa enggak sebaiknya nunggu Mas Vino benar-benar sembuh?”“Kalau itu pasti, Sayang,” jawabnya. “Rencananya di Semarang juga akan diadakan pesta nantinya. Kerabat Ibu banyak yang di sana.”Aku hanya mengangguk dengan mengulas senyum.“Kalau untuk honeymoon, kamu maunya ke mana?Keningku berkerut. “Harus, ya, Mas?”“Iya, dong!”“Kita h
Aroma wangi yang sangat lembut menyambut hangat begitu pintu kamar kudorong ke dalam. Ruang favoritku telah didekorasi sangat cantik. Kelambu tipis transparan diikat ke empat tiang yang mengelilingi kasur berukuran jumbo. Sentuhan bunga segar yang dirangkai cantik pada area kelambu juga terlihat sangat pas, sesuai kesukaanku.“Uwaaah ....” Aku membuka mulut. Takjub dengan dekorasi kamar sendiri.Kelopak mawar yang ditabur di lantai begitu teduh memanjakan mata, ditambah lilin cantik dalam wadah kristal yang sengaja dibentuk serupa jalan hingga menuju ke ranjang. Gorden putih yang terpajang full menutupi jendela kamar juga menambah kesan elegan, hangat, nan romantis.Aku tersenyum. Kedatangan kami penuh penyambutan yang hangat. Pasti Mama minta bantuan Yumna–salah satu tim dekorasi hotel–untuk mendesain semua ini.“Ini kamar kamu, Kal?”Aku mengangguk. “Kamar kita, Mas. Yuk, masuk!” ajakku.Pandangan lelaki yang lengannya masih kugamit itu terlihat berkeliling. Mengitari tiap keindaha
Gombalan Mas Vino tak ada habisnya. Kami terus menyelesaikan pekerjaan masing-masing walau sesekali bercanda.“Jadi, Mas Vino ini arsitek freelance?”“Ya ... bisa dibilang begitu.”“Kalau usaha Ayah siapa yang handle?”“Aku juga,” jawabnya. “Kalau ini murni hobiku yang akhirnya jadi usaha sampingan sampai saat ini. Kalau gerai kuliner ‘kan usaha warisan.”Aku mengangguk. “Kalau kakak perempuanmu, Mas?”“Mbak Vera juga handle gerai kuliner Ayah yang ada di Malaysia dan Hong Kong. Dia, suami, dan ketiga anaknya menetap di Kuala Lumpur.”Aku mengangguk-angguk dan kembali menekuri layar laptop. Malam kian larut, membuatku menguap berkali-kali. Namun, kami berdua belum melaksanakan salat Isya. Akhirnya, aku dan Mas Vino sama-sama menyudahi audit pekerjaan untuk segera melepas penat.“Mas Vino wudu dulu aja. Biar aku siapin sarung sama kokonya.”Mas Vino masih harus mengerjakan salat dengan duduk berselonjor dan punggung menyandar. Untuk sementara kami memilih untuk salat sendiri-sendiri du