Share

5. Harus Bertanggung Jawab

“Ma, Mama percaya, kan, sama cerita Kalila?” tanyaku menatap Mama. “Lila beneran enggak sengaja bikin Kak Vino jatuh dari tangga.”

Mama hanya mengangguk dan membelai punggung ini. Seperti biasa, belaian wanita nomor satu itu selalu sukses menyalurkan sebuah kekuatan dan ketenangan akan kegelisahan yang datang berkelindan.

 “Atau kalau Mama sama Papa ragu, kita bisa cek CCTV hotel.”

Aku terus berbicara walau lawan bicara hanya tersenyum, mengangguk, dan memberikan sentuhan lembut agar sang putri tenang. Sedangkan aku? Bagaimana bisa tenang jika secara tidak langsung semua penyebab insiden bermula dari ketidaksengajaan yang aku lakukan?

Namun, kata ‘takut’ tidak pernah ada dalam kamus hidupku jika memang kebenaran berada dalam genggaman. Apalagi ada CCTV hotel yang bisa dijadikan bukti jika ada unsur ketidaksengajaan dalam peristiwa tersebut.

Closed Circuit Television di hotel Papa dilengkapi dengan baterai sebagai sumber tenaga cadangan atau backup. Sehingga alat yang bisa dikategorikan benda penting itu tetap dapat digunakan untuk merekam meski dalam keadaan mati lampu.

"Tenang, Sayang. Rileks. Kita belum tahu bagaimana kondisi Excel di dalam,” ujar Mama.

"Vino aja, Ma. Jangan Excel. Terlalu keren,” sungutku.

 “Kamu kenapa? Oh, iya. Mantan, ya. Mama lupa,” godanya.

 “Ish!”

 Mama terkikik seraya merengkuh pundakku dari belakang. Tidak berapa lama Papa keluar. Aku pun langsung berdiri dan menghampirinya.

 “Gimana, Pa?” tanyaku tidak sabar.

Lelaki yang namanya tersemat pada nama belakangku itu memilih duduk. Dengan cepat aku pun mengikutinya. Namun, beliau lebih dulu melirik ke arah Mama di sebelah kanan, dan entah apa yang terjadi, Mama mengangguk. Papa mulai mengatur napas dan menoleh padaku yang duduk di sebelah kirinya.

“Gimana, Pa?” ulangku.

“Diagnosa awal, Excel cedera di bagian tulang belakang. Dokter akan segera melakukan rontgen dan CT Scan untuk memastikan semuanya tidak ada yang serius. Tapi ....” Papa menggantung ucapannya.

"Tapi kenapa, Pa?”

“Excel bilang kepalanya sakit dan pusing. Kata dokter itu lumrah terjadi pada orang yang baru terjatuh dari tangga. Untungnya, kita langsung bawa ke rumah sakit. Dan dia bilang bagian tulang ekor juga terasa sakit katanya.”

 Aku langsung lemas mendengar penuturan Papa. Walau diagnosa belum pasti, tetapi aku pernah membaca beberapa kasus tentang orang yang jatuh dari tangga. Ada yang baik-baik saja jika tangga tidak teralu tinggi. Namun, melihat cara jatuh Kak Vino yang jelas tertangkap mata kepala sendiri, aku takut jika nantinya akan menimbulkan cedera yang tidak main-main.

 “Terus, tadi kenapa Kak Vino cuma manggil Papa buat masuk?”

 “Cie, pengin dipanggil juga?” sela Mama.

 “Ish, Mama ...,” rengekku. “Lila serius, Ma.”

 Mantan pacar Papa itu langsung terdiam dan mengatupkan kedua bibirnya setelah sang suami sedikit memperingatkan dengan nada halus.

 “Nanti Papa kasih tahu, seka-“

Kalimatnya berhenti kala pintu ruang IGD terbuka dan Kak Vino yang tampak terpejam segera didorong oleh dua orang perawat. Aku terpaku menatap wajah tampannya yang kini terlihat semakin dewasa.

 “Kak Vino, maafin Lila ...,” rintihku dalam hati.

 Papa mengikuti seorang dokter atas perintahnya. Mama diminta suaminya untuk ikut serta menemani, dan aku kembali terduduk dengan tubuh lemas. Antara prihatin dengan kondisi lelaki yang pernah menjadi penghuni hati, juga mulai frustrasi karena merasa menjadi tersangka dalam kasus ini.

 Ponsel di dompet yang kubawa berbunyi. Nama Luna tertera di layar.

 “Ya, Lun?”

 “Kamu di mana, Kal? Ini sesi foto-foto. Ratu minta kita foto bertiga.”

 “A-aku di rumah sakit,” jawabku lemas.

 “Hah? Di rumah sakit? Ngapain? Kapan ke sananya?”

 “Ceritanya panjang, Lun. Nanti pasti aku cerita. Udah dulu, ya. Titip salam buat Ratu sama Wisnu.”

 Aku segera memutus sambungan.

***

"Apa? Nikah sama Kak Vino?”

 Entah harus bahagia atau sedih, laki-laki di atas brankar ruang perawatan itu memintaku menikah dengannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Ya, setelah dilakukan pemeriksaan, hasil evaluasi menyatakan selain pusing dan mual yang datang pergi sejak semalam, tulang belakang mantan sedikit mengalami cedera, untung tidak parah.

Akan tetapi, beberapa bagian terpaksa harus dipasangi gips dan perban karena mengalami patah tulang, kaki sebelah kiri dan tangan sebelah kanan. Hal itulah yang membuatnya kesulitan untuk duduk, lebih-lebih berjalan. Butuh waktu dan terapi sebagai pemulihan. Sedikit mirip mumi jadinya. Tapi muminya ganteng. Eh!

 Aku menunduk lemas melihat kondisinya.

“Apa bentuk tanggung jawabku harus dengan cara menikah dengan Kakak?” tanyaku. Menatap wajah lelaki yang kembali menarik rasa simpati.

"Ya. Aku ingin tanganmu sendiri yang merawat dan membantuku untuk pulih. ‘Kan tanganmu juga yang bikin aku kek gini.”

"Lah, yang pegang-pegang tanganku duluan juga Kakak, kan?” kilahku. Tak mau sepenuhnya disalahkan.

"Kondisinya gelap, Kal. Aku pegang tanganmu juga refleks karena sedikit terpeleset.”

 “Aku juga refleks lepasin tangan Kakak.”

Pokonya aku enggak mau kalah. Enak saja!

“Makanya ... kalo jalan jangan sambil chatingan!” tuduhku.

“Dih, siapa yang chatingan? Sok tahu!”

 Terdengar beberapa tawa yang sengaja ditahan. Ya ampun, kenapa aku tidak sadar kalau di ruangan VVIP ini bukan hanya ada aku dan Kak Vino? Ada Papa Mama dan orang tua mantan yang dini hari tadi baru sampai dari Semarang.

“Sepertinya, kita jadi besanan ini, Zeem.” Suara Om Wijaya menengahi pertengkaran kecil antara aku dan anaknya.

 “Sepertinya begitu,” sahut Papa.

 “Ini, sih, namanya CLBK. Cinta Lama Belum Kelar.” Mama ikut urun suara.

Sementara wanita cantik yang memperkenalkan diri sebagai ibu lelaki menyebalkan itu hanya tertawa lirih.

 Papa mendekat ke arahku. Memegang pundak ini dari belakang. “Nak, kamu ingat ucapanmu seminggu yang lalu?”

 Aku menoleh. “Ucapan yang mana, Pa?”

 “Kamu bilang mau nyari suami minggu depan kalau enggak hujan. Ingat?”

 Deg!

Ingatanku akan ucapan hari Jumat kala itu masih terekam jelas. Ya, aku memang sempat berbicara asal menanggapi kalimat Papa.

 "Pagi ini cerah, lho. Semoga sampai nanti malam cuaca mendukung. Karena hari ini orang suruhan Papa akan mengurus semuanya untuk pernikahan kalian.”

 “Pernikahan? Hari ini?”

 “Ya, malam nanti,” jelas Papa.

 Kulirik calon suami dadakan yang mungkin malam nanti benar-benar akan resmi bergelar suami. Ia tampak tenang dan rileks. Namun, ada senyum tipis di kedua sudut bibirnya.

 “Kak Vino ... ini serius? Menikah hari ini?” tanyaku dengan suara lemah. Belum percaya.

 “Ya.”

 “Enggak bisa diundur? Masa secepat ini?”

 “Enggak bisa!”

 “Jangan main-main, Kak ...,” rengekku dengan nada pasrah.

 “Kapan aku pernah main-main?” Sorot matanya terlihat mengintimidasi.

 “Waktu itu, Kak Vino-”

 “Apa?” potongnya cepat. “Kamu bahkan enggak pernah ngasih aku kesempatan buat ngejelasin semuanya. Main blokir semua akses komunikasi. Enggak gitu cara menyelesaikan suatu masalah, Kal.”

 Papa dan Om Wijaya tampak berbincang dan melangkah keluar ruangan. Disusul Mama dan Tante Jainab yang katanya mau ke kantin beli camilan. Padahal di meja sudah banyak aneka makanan ringan. Sepertinya, mereka ingin memberi ruang untukku dan si mantan kembali merajut angan.

Ruangan luas dengan fasilitas mewah ini mendadak sempit. Aku pun seperti terimpit rasa canggung dan bingung.

"Kal, kamu percaya jodoh?”

Aku bergeming.

 "Enggak ada yang kebetulan. Semuanya memang sudah di-setting sama Tuhan. Papamu dan ayahku teman baik waktu di pesantren. Mereka bahkan pernah bergurau agar suatu saat bisa menjadi besan.”

 Mataku membulat tak percaya. Sumpe, lo?

 “Jodoh itu seperti hilal, Kal. Kalau sudah muncul, kenapa harus diperdebatkan?”

 Sidang isbat saja sekalian. Kekehku dalam hati.

_____

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status