“Tapi, Pak ... saya ada perlu penting sekali sama Pak Tian!” ucap Leandra yang masih bertahan di tempatnya berdiri.“Maaf, Bu. Ini adalah aturan dari Pak Tian sendiri,” sahut si satpam tegas.Belum sempat Leandra menjawab, terdengar suara klakson yang cukup keras di belakang mereka disusul mobil putih bersih yang menepi perlahan.Satpam yang tadi mengusir Leandra bergegas menyingkirkan motor matic yang berada mepet sekali dengan mobil putih itu.“Nah Bu, silakan pergi!” suruh satpam lagi seraya menunjuk motor Leandra, setelah itu dia mempersilakan mobil putih itu untuk melaju.“Itu bukannya Pak Tian ya?” tanya Leandra yang teringat dengan mobil putih bersihnya. “Saya mau bicara sebentar sama beliau ....”“Tidak bisa, Bu. Harus bikin janji dulu kalau mau bertemu Pak Tian,” jelas satpam untuk kesekian kalinya. “Begini saja, Ibu bikin janji untuk pertemuan hari apa. Nanti akan saya sampaikan ke sekretaris Pak Tian.”Leandra sadar bahwa mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayang
Keesokan harinya, Leandra kembali merencanakan untuk mendatangi kantor Tian lagi.“Kamu mau ke mana?” tanya Rendra heran karena mendapati Leandra ikut bersiap-siap sesaat sebelum dirinya berangkat kerja.“Ke kantor yang kemarin lagi,” jawab Leandra terus terang. “Soalnya aku belum berhasil bertemu sama bosnya.”Rendra berputar menghadap Leandra.“Buat apa kamu bertemu sama bosnya?” tanya Rendra heran. “Cukup serahkan surat lamarannya ke satpam atau sekretaris, setelah itu kamu tinggal menunggu panggilan. Itu juga kalau kamu dipanggil sama mereka.”Leandra melirik ke arah Rendra dan menyahut, “Kok kamu kayak nggak yakin begitu?”“Masalahnya kamu kan belum punya pengalaman kerja apa-apa,” jawab Rendra masuk akal. “Bukan maksud aku meremehkan kamu ....”“Makanya biar aku berusaha dulu,” kata Leandra tegas sambil berdiri. “Kita nggak akan tahu sebelum mencobanya kan? Kamu saja coba-coba poligami nggak bilang-bilang dulu sama aku, masa aku harus mundur Cuma karena aku nggak punya p
“Permisi, Pak?”Terdengar suara pintu diketuk pelan.“Masuk,” suruh Tian singkat.Pintu terbuka dan Dini melangkah memasuki ruangan, segera saja dia menjelaskan tentang keberadaan Leandra di luar.“Saya kan sudah bilang kalau kantor ini tidak buka lowongan pekerjaan,” ulang Tian untuk kesekian kalinya. “Suruh dia pulang atau cari pekerjaan di tempat lainnya.”“Tapi, Pak ... Ibu itu bilang kalau dia dikasih kartu nama Bapak dan minta tanggung jawab atas tabrakan yang dia alami,” ucap Dini menjelaskan.Tian terpaku sebentar kemudian berpikir keras, seingatnya dia tidak pernah memberikan kartu namanya kepada sembarang orang.“Tabrakan apa?” tanya Tian lupa-lupa ingat. “Siapa orang itu sebenarnya?”“Dia yang kemarin memasukkan berkas lamaran pekerjaan ke kantor ini, dan dia juga memaksa ingin bertemu Bapak karena ingin minta tanggung jawab.” Dini menjelaskan lagi. “Suruh dia masuk,” perintah Tian sambil memutar kursinya membelakangi meja.Leandra masih duduk menunggu dengan har
Keesokan paginya, Leandra bangun dengan lebih bersemangat. Bayangan dia akan terbebas dari sikap judes ibu mertuanya seolah membuat pagi itu terasa lebih cerah dibandingkan hari-hari biasa.“Lea, kenapa kamu jadi kelihatan lebih sibuk daripada aku?” tanya Rendra ketika sang istri dengan gesit menyiapkan pakaian kerja untuknya. “Bukankah kamu belum pasti diterima kerja?”Gerakan tangan Leandra terhenti ketika Rendra bertanya.“Aku sudah diterima kerja kok, Mas.” Dia memberi tahu dengan senyum merekah di sudut bibirnya.“Kamu diterima kerja?” ulang Rendra dengan kening berkerut. “Kok kamu nggak cerita sama aku?”Leandra terdiam sebentar.“Oh maaf, Mas! Mungkin aku lupa ...” katanya dengan nada meminta maaf. “Tapi intinya aku diterima kerja, ini nanti aku baru mau bicara lebih lanjut sama sekretarisnya.”Rendra meraih kemeja yang disiapkan Leandra dan menyahut, “Memangnya kemarin kamu bertemu sama siapa kalau bukan sama sekretarisnya?” “Sama bosnya langsung,” ucap Leandra sambil
“Kamu mau apa, Mas?” Leandra langsung tergeragap bangun dan beringsut menjauh dari Rendra. “Kenapa kamu kaget begitu, Lea?” tanya Renda heran. “Aku ini kan suami kamu sendiri.”Leandra tertegun, jantungnya berdegup kencang seperti ditabuh paksa. Bukan karena getaran cinta terhadap suaminya, tapi justru perasaan takut yang tidak wajar adanya.“Kamu mengagetkan aku, Mas!” ucap Leandra dengan napas terengah seakan habis berlari menempuh jarak yang teramat jauh. “Kamu kenapa sih harus dekat-dekat begitu?”Rendra yang tadinya ingin meninggalkan kecupan di kening Leandra, mendadak hilang rasa karena merasa dikesampingkan.“Memangnya kamu pikir aku mau ngapain?” tanya Rendra agak tersinggung. “Malam ini aku mau ke tempat Silvi, jadi aku pikir ... aku nggak mungkin pergi begitu saja tanpa kamu tahu.”Leandra terdiam. Dia menunggu hingga jantungnya berdetak lebih teratur, setelah itu memandang Rendra yang menegakkan dirinya tidak jauh dari tempat tidur.“Kenapa kamu berpikir begitu, Ma
Widi mengerutkan keningnya setelah mendengar penjelasan Rendra.“Masa tantenya sendiri sampai tidak tahu keponakannya kerja di mana,” komentar Widi. “Ya sudah, Ren. Tidak usah terlalu kamu urusi ....”“Lea istri aku, Bu. Dia masih tetap tanggung jawab aku,” bantah Rendra dengan napas memburu.“Tapi kalau dia tidak menganggap kamu sebagai suaminya lagi, kamu mau apa?” celetuk Widi.“Maksud Ibu apa?” tanya Widi tidak mengerti.Widi menghela napas, sengaja untuk menambah efek dramatis di hadapan putra kandungnya.“Ibu sebenarnya tidak mau mengatakan hal ini, tapi kalau lihat sikap Lea yang akhir-akhir ini sibuk sendiri sampai kamu tidak terurus begini—Ibu pikir mungkin dia sudah tidak menganggap kamu sebagai suaminya lagi.”Rendra terpaku.“Ibu jangan bicara sembarangan,” tukasnya. “Aku sama Lea bukan berarti saling mengabaikan seperti yang Ibu pikirkan.”“Terus ini apa?” tanya Widi sambil menatap Rendra. “Istri yang pergi duluan sebelum suaminya pulang ke rumah, itu sama saja k
Sebenarnya kerja apa sih dia? Batin Rendra terus bertanya-tanya sambil mengamati Leandra yang baru saja selesai membuang sampah dan berbalik pergi.Kerja apa yang pakai kemoceng? Rendra terus bertanya-tanya dalam hati, bahkan dirinya jadi enggan berangkat ke kantor karena ingin menyelidiki lebih jauh tentang pekerjaan Leandra yang sebenarnya.“Lea, Pak Tian bilang kalau kamu sudah bisa membersihkan ruangannya!” Dini memberi tahu ketika Leandra muncul dan sedang menaruh kembali kemoceng itu ke tempatnya semula.“Baik, Bu.” Leandra mengangguk dan segera berlalu menuju ruangan Tian.“Permisi, Pak. Saya mau bersih-bersih sekarang, semoga Bapak tidak terganggu ...” ucap Leandra sopan.“Oke, soal gaji kamu ...” Tian tampak berpikir sejenak. “Saya mungkin tidak bisa bayar terlalu tinggi untuk sementara waktu ini.”Tidak apa-apa, Pak. Yang penting saya bisa kerja,” sahut Leandra sambil menyisir pandangan ke sekitar ruangan untuk melihat bagian mana saja yang harus dia bersihkan lebih du
Rendra kaget setengah mati ketika Leandra muncul tiba-tiba di belakangnya, cepat-cepat dia menutup teleponnya yang masih tersambung dengan Silvi tanpa sempat berpamitan kepadanya.“Lea! Kamu ... kamu sudah selesai mandi?” tanya Rendra agak gugup. “Kamu kenapa nggak bilang kalau sudah selesai?”Leandra menatap ponsel dan wajah suaminya bergantian.“Aku sudah panggil-panggil kamu dari tadi, Mas. Tapi kamu yang nggak dengar,” jawab Leandra seolah tidak terjadi apa-apa. “Ternyata kamu sedang teleponan ... sama siapa?”Sontak saja wajah Rendra berubah memucat.“Bukan siapa-siapa kok, teman aku!” jawabnya asal. “Ya sudah, aku mandi dulu kalau begitu. Habis ini tolong buatkan aku kopi ya?”“Ya, Mas.” Leandra mengangguk.Ketika Rendra berbalik, dia langsung memanggilnya lagi. “Mas, itu ....”“Kenapa, Lea?” tanya Rendra bingung.“Itu kamu mau mandi, kan?” tanya Leandra balik. “Kenapa kamu bawa ponsel? Nanti kena air bisa rusak lho.”Rendra terperanjat dan menyadari bahwa dia masih me