Ketika pagi datang, kedua kaki Leandra terasa begitu berat untuk meninggalkan tempat tidurnya.
Dia merasakan ketakutan yang teramat besar, bagaimana kalau dia bertemu ibu mertua dan ditanyai soal hasil tes kesuburan itu?Leandra tidak akan sanggup menjawabnya.“Sayang, kamu nggak bangun?” lirih Rendra dengan mata setengah terpejam. “Tumben ....”Leandra tidak segera menjawab, andai saja dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan suasana hatinya sekarang tanpa perlu bersuara—tentu akan dilakukannya saat ini juga.“Aku ... jujur aku nggak siap bertemu sama ibu kamu, Mas.” Leandra membuka mulutnya dan sukses membuat kedua mata Rendra terbuka sepenuhnya.“Kenapa?” tanya Rendra dengan suara serak.“Aku takut ibu marah karena hasil tes aku yang menyatakan kemandulanku,” jawab Leandra pelan. “Kita pindah saja yuk, Mas? Siapa tahu kalau kita tinggal sendiri, aku bisa lebih cepat hamil?”Rendra tertegun mendengar kalimat terakhir Leandra.“Maksud aku—kemungkinan hamil itu masih ada kan?” ralat Leandra cepat-cepat. “Siapa tahu ada keajaiban buat aku!”Rendra mengangguk saja meskipun pikirannya melayang ke hasil tes Leandra yang menyatakan bahwa sang istri tidak akan bisa punya keturunan.Menyadari kebisuan Rendra, Leandra semakin yakin bahwa dirinya seakan sudah tidak punya harapan sekecil apa pun untuk mendapatkan keajaiban itu.“Soal tinggal sendiri itu gampang,” ujar Rendra sambil menyibak selimutnya. “Yang penting sekarang kamu tenangkan hati kamu dulu, aku tahu apa yang kamu rasakan.”Dia mengusap kepala Leandra dan mendahului turun dari tempat tidur.Tidak ingin dianggap sebagai menantu pemalas, Leandra buru-buru menyusul turun dan segera mencuci wajahnya di kamar mandi.“Sudah lebih baik?” tanya Rendra ketika Leandra menyiapkan satu setel baju kerja untuknya seperti biasa.Namun, Leandra diam saja. Mendadak dia merasa perhatian sekecil apa pun dari Rendra mulai membuatnya sedikit muak.Pernyataan mandul dari dokter memang cukup menjadi beban di hati Leandra, tapi pengkhianatan yang Rendra lakukan seharusnya juga jadi beban tersendiri oleh pelakunya.Namun, kenapa Rendra terlibat biasa-biasa saja?“Siapkan juga untuk Silvi, ini banyak makanan bergizi yang bermanfaat untuk kandungan dia.” Ibu mertua menyuruh Leandra yang muncul bersama Rendra untuk sarapan pagi.“Silvi kan bisa mengurus dirinya sendiri,” sela ayah mertua, tapi Leandra tidak terkesan sama sekali. Dia yakin bahwa ayah Rendra juga mengetahui soal pernikahan diam-diam itu.“Silvi sedang hamil, jadi harus mengonsumsi makanan yang bergizi.” Ibu mertua menyahut.Selera makan Leandra rasanya sudah menguap hilang ketika ibu mertua mulai terang-terangan menyebut nama Silvi di bawah atap rumahnya tanpa sungkan.Dia terus diam sambil meraih piring yang masih bersih meskipun tak berselera. Dia menyendok sedikit nasi dan baru akan mengambil sepotong ikan goreng ketika mertuanya berkata,“Lea, mana makanan untuk Silvi?”“Nanti aku siapkan, Bu.” Leandra menyahut, baginya sudah bagus karena mertuanya tidak menanyakan hasil tes kesuburan itu.“Ya ampun ...” Ibu Rendra akhirnya mengambil kotak makanan itu dan mengisinya sendiri dengan nasi, ikan goreng beberapa potong, dan tumis brokoli hingga lauk yang tersisa di meja hanya tinggal sedikit saja.“Maafkan sikap ibu aku tadi, ya?” ucap Rendra ketika Leandra mengantarnya ke mobil sebelum berangkat kerja. “Aku akan tetap mencintai kamu apa pun yang terjadi.”Namun, anehnya tidak ada lagi getaran di hati Leandra saat Rendra mengucapkan kalimat sakti itu.Kalimat yang dulunya sanggup membuat hati Leandra melayang hingga langit ke tujuh. “Kalau kamu mencintai aku, kamu nggak akan setega ini.”Rendra bungkam, tapi Leandra telanjur berbalik pergi bahkan sebelum dia sempat mengulurkan tangannya untuk dicium seperti rutinitas mereka sehari-hari.“Lea!” panggil ibu Rendra dari arah dapur.“Ya, Bu?” Leandra buru-buru mendatangi ibu mertuanya.“Bereskan ini dulu,” tunjuk sang mertua ke meja makan.Leandra mengangguk saja. Apa pun akan dia lakukan selama itu bisa mengalihkan perhatian ibu Rendra supaya tidak menanyakan hasil tes kesuburannya.“Kotak ini jangan diapa-apakan,” imbuh mertuanya ketika Leandra sengaja memindahkan kotak makanan yang rencananya akan diberikan kepada Silvi.“Iya, Bu.” Lagi-lagi Leandra hanya bisa mengangguk sambil terus beres-beres.Tinggal seatap dengan mertua memang harus tahan banting, apalagi dia belum berhasil membujuk Rendra untuk membeli rumah sendiri sekalipun yang sederhana.Rendra ibarat putra kesayangan ibu kandungnya. Selain anak tunggal, suaminya itu juga merupakan penerus perusahaan ayah mertua kelak.***Sejak Leandra tidak kunjung hamil, perubahan sikap ibu mertua kepadanya memang berubah drastis.Namun, dia tidak pernah menyangka kalau Rendra akan dipaksa untuk menikah lagi.“Ngomong-ngomong kamu tidak jadi tes kesuburan itu, Lea?” tanya ibu mertua ketika sarapan sudah usai dan ayah Rendra baru saja berangkat ke kantor.Untuk sesaat Leandra saling pandang dengan suaminya.“Memangnya Lea bilang sama Ibu kalau dia mau tes kesuburan?” tanya Rendra balik.Leandra mengambil piring dan tidak ikut berkomentar.“Ya, bukankah begitu, Lea?” Ibu mertua mengernyit heran. “Katanya kamu bersedia tes kesuburan untuk membuktikan kamu ini mandul atau tidak?”Leandra tidak tahu harus menjawab apa, tapi untuk menghindari situasi ini juga jauh lebih sulit untuk dilakukan.Sadar kalau diabaikan, Widi tetap menunggui anak dan menantunya hingga mereka selesai makan.“Jadi bagaimana?” tanya ibu Rendra tegas. “Kapan kamu akan tes kesuburan itu, Lea?”Rendra melirik Leandra yang sedang membereskan piring, dia balas meliriknya dan menganggukkan kepala.“Sebenarnya ... aku sudah tes,” ucap Leandra dengan perasaan berkecamuk, bayang-bayang ibu mertua yang akan menghinanya sudah terasa efeknya di depan mata.“Sudah tes?” ulang Widi tak percaya. “Kamu sudah tahu, Ren?”“Ya, Bu.” Rendra mengangguk. “Aku sendiri yang mengantar Lea ke dokter untuk tes.”Widi mengerucutkan bibirnya rapat-rapat dan berkata, “Keterlaluan kalian, kenapa tidak ada yang memberi tahu hasilnya ke ibu?”Leandra bertukar pandang dengan Rendra lagi.“Terus hasilnya apa?” tanya Widi ingin tahu. “Rahim kamu sehat-sehat saja, Lea?”Sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Leandra terlebih dahulu menarik napas dalam-dalam.“Aku ... aku tidak bisa hamil, Bu ...” ucap Leandra dengan tenggorokan tercekat.Mata Widi melebar, kemudian sudut bibirnya naik sedikit.“Jadi kamu dinyatakan tidak bisa punya anak?” tegas Widi memastikan. “Berarti betul firasat ibu kan kalau kamu ini tidak subur? Tidak ada salahnya juga kalau Rendra akhirnya menikah sama Silvi ....”“Bu, sudah lah!” sela Rendra yang tidak ingin Leandra merasa disudutkan. “Aku tetap yakin kalau suatu saat nanti Lea bisa hamil.”Leandra diam saja, tapi kedua matanya terasa panas.“Nggak usah kamu masukkan ke hati kata-kata ibu,” pesan Rendra ketika Leandra mengantarnya ke mobil. “Aku kerja dulu, ya?”Leandra mengangguk kaku.“Saya harap kamu tidak lagi mempermasalahkan pernikahan Rendra,” cetus Widi ketika Leandra menumpuk piring-piring yang kotor menjadi satu. “Buktinya sudah jelas kan, kamu itu mandul—tidak bisa hamil.”Bersambung—“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....” “Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!” Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini? “Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik. “Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek. “Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?” “Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....” Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”
Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.Untungnya, mobil putih itu berhenti dan pengemudinya turun saat beberapa orang mulai datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.Sempat heboh sebentar sebelum akhirnya pengemudi mobil itu berjanji akan bertanggung jawab terhadap Leandra meski faktanya dia tidak sepenuhnya bersalah.“Kamu mau ke rumah sakit?”Leandra mendongak dan memandang pria yang mengemudi mobil tadi.“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang terparkir di dekat mobilnya. Dia mendekati motor itu dan mengamatinya sebentar.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah sa
“Kamu masih marah sama aku?” tanya Rendra sambil menatap Leandra.“Entahlah, Mas ... Menurutku itu pertanyaan yang nggak membutuhkan jawaban,” ucap Leandra, dengan sengaja memutus kontak matanya dengan Rendra.“Lea, justru aku sedang berusaha memperbaiki hubungan kita.” Rendra berjongkok di depan Leandra dan menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengerti kalau kamu masih merasa berat menerima semua ini, tapi aku percaya kalau kamu adalah istri yang bijak.”Leandra masih menolak memandang Rendra, sekalipun sang suami berusaha meluluhkan hatinya dengan menggenggam tangannya erat.Bagi Leandra, sentuhan sekecil apa pun dari Rendra kini tak lagi membuatnya bergelora seperti dulu. Yang ada justru perasaan muak setiap kali dia mengingat kalau suaminya sudah setega itu membagi benihnya dengan wanita lain.“Kita ke sana yuk, nonton tivi.” Rendra berdiri kemudian membimbing Leandra menuju tempat tidur mereka.Masih dengan bibir terkunci, Leandra membaringkan diri di samping Rendra tanpa has
Langkah Rendra sontak terhenti ketika dia mendengar namanya dipanggil.“Ren, ibu mau bicara!”Tanpa berpikir dua kali, Rendra langsung membelokkan langkahnya ke dapur.“Kamu sama Lea jadi periksa ke dokter?” tanya Widi tanpa basa-basi bahkan sebelum Rendra duduk di kursinya.“Aku sama Lea ...” Rendra menggantung ucapannya. “Kenapa memangnya, Bu?”“Kenapa, kamu bilang?” tukas Widi sambil mendelik. “Ibu mau tahu apakah Lea itu mandul atau tidak.”Rendra terperanjat.“Bu, jangan seperti ini. Kasihan Lea, kasihan aku juga ...” katanya diselingi helaan napas berat. “Dia adalah orang yang paling terpukul dibandingkan kita.”Widi menarik napas panjang.“Kamu tahu seberapa terpukulnya ibu juga kalau dia mandul kan?” tanya Widi sambil menghembuskan napas berat.“Tapi Lea akan lebih terpukul, Bu,” elak Rendra dengan wajah lelah. “Aku ke kamar dulu, capek.”“Jadwal kamu ke tempat Silvi jangan lupa,” sahut Widi mengingatkan. “Jangan sampai kamu mengabaikan dia, beda hal sama Lea—dia ka
Rendra mengeratkan dekapannya pada bahu Leandra.“Enggak lah,” sahut Rendra. “Tapi aku butuh pengertian kamu—kalau nantinya aku sering ke tempat Silvi, itu semata-mata cuma untuk melihat bayi itu.”Leandra diam saja.“Atau kalau kamu nggak keberatan, kita bisa asuh bayi itu berdua saja.” Rendra mengusulkan.“Terus Silvi gimana?” tanya Leandra dengan kening berkerut. “Kamu akan memisahkan bayi itu dari ibunya?”Rendra berpikir sejenak.“Bukan memisahkan juga sih,” katanya membantah. “Kan bayi itu bisa kamu rawat, Silvi juga bebas kalau mau lihat anaknya.”Leandra terpaku, menurutnya usul Rendra terlalu dipaksakan. Selain itu dia tidak yakin kalau Widi akan setuju jika Silvi dipisahkan dari bayinya nanti.Pekan itu sesuai jadwal, Rendra harus bermalam di tempat Silvi dan itu artinya Leandra akan ditinggal sendirian.“Atau kamu mau aku antar ke tempat Tante Ivana dulu?” tanya Rendra menawari ketika melihat wajah Leandra yang muram.“Tan
Leandra menghela napas. “Kalau begitu, biar aku ikut kerja.” Dia memutuskan karena tidak tahan dengan tuduhan boros yang disematkan kepadanya.Rendra malah tersenyum geli.“Mau kerja apa?” tanya Rendra dengan kening berkerut. “Perusahaan mana yang mau menerima calon pegawai yang belum punya pengalaman seperti kamu?”Kali ini Leandra merasa kalau Rendra terlalu meremehkannya.“Kalau nggak dicoba, mana aku tahu?” ucap Leandra seraya memasukkan kembali surat kendaraannya ke dalam laci. “Tapi aku serius, aku akan mulai cari kerja besok.”“Jangan ngawur,” tegur Rendra. “Kalau kamu kerja, memangnya kamu masih bisa mengurus keperluan aku?”Leandra mengangguk.“Seharusnya bisa, itu bukan sesuatu yang sulit kan?” kata Leandra optimis.Rendra menghela napas panjang.“Terserah kamu,” sahutnya, enggan berdebat. “Yang penting, jangan sampai urusan rumah kamu tinggalkan cuma karena kamu kepingin kerja.”Jujur saja jawaban Rendra membuat Leandra ingin tertawa.“Mas, Mas, jangan bersika
Sudah satu minggu lebih, bahkan hampir dua mingguan lamanya, email yang dikirim Leandra tidak mendapat tanggapan dari kantor Tian.“Kenapa sih kamu gelisah terus akhir-akhir ini?” Rendra mempertanyakan, seingatnya dia sudah membagi waktu antara Leandra dan Silvi dengan sebaik-baiknya. Dan Leandra masih dia prioritaskan dengan lima hari penuh bersamanya, begitupun soal nafkah bulanan yang tidak pernah terlambat Rendra berikan.“Aku belum dapat jawaban dari kantor yang aku incar,” jawab Leandra sambil berkali-kali memeriksa email-nya.Rendra tersenyum tipis, “Kamu kira cari kerja itu gampang? Sudahlah, kamu di rumah saja seperti biasa. Toh aku juga nggak pernah menelantarkan kamu kan?” Leandra meletakkan ponselnya dan berbaring dengan wajah lelah di tempat tidur.Melihat sang istri tidak bersemangat, Rendra lantas berinisiatif untuk mengajaknya jalan-jalan ke mal.“Kita belanja, yuk?” ajak Rendra sambil mengusap kepala Leandra. “Atau kita ke puncak? Sudah lama kan kita nggak li
Widi sedang merapikan pot-pot yang berisi tanaman hiasnya ketika salah seorang asisten rumah tangga muncul di halaman.“Maaf, Nyonya ... ponsel Nyonya bunyi!” lapornya memberi tahu.“Ya sudah, kamu tunggu dulu tanaman saya.” Widi berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju kamarnya di lantai dua karena ponsel itu ditinggalkannya sejak sarapan pagi tadi.“Siapa ya pagi-pagi begini telepon?” gumam Widi sambil meraih ponselnya yang berdering, dia mengerutkan kening ketika melihat nama yang terpampang di layar. “Halo?”“Bu, Mas Renda kenapa sih?” Suara Silvi langsung terdengar begitu Widi menerima teleponnya. “Aku suruh dia mampir, tapi dia malah negur aku ...!”“Silvi, kamu kenapa, Nak?” tanya Widi khawatir. “Jangan gelisah begitu, kamu kan sedang hamil.”Setelah Silvi sudah agak tenang, Widi melanjutkan ucapannya. “Apa yang terjadi? Memangnya Rendra kenapa?” “Mas Rendra ternyata sedang cuti, tapi dia nggak mau mampir ke tempatku, Bu!” ucap Silvi dengan nada g