“Kamu masih marah sama aku?” tanya Rendra sambil menatap Leandra.
“Entahlah, Mas ... Menurutku itu pertanyaan yang nggak membutuhkan jawaban,” ucap Leandra, dengan sengaja memutus kontak matanya dengan Rendra.“Lea, justru aku sedang berusaha memperbaiki hubungan kita.” Rendra berjongkok di depan Leandra dan menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengerti kalau kamu masih merasa berat menerima semua ini, tapi aku percaya kalau kamu adalah istri yang bijak.”Leandra masih menolak memandang Rendra, sekalipun sang suami berusaha meluluhkan hatinya dengan menggenggam tangannya erat.Bagi Leandra, sentuhan sekecil apa pun dari Rendra kini tak lagi membuatnya bergelora seperti dulu.Yang ada justru perasaan muak setiap kali dia mengingat kalau suaminya sudah setega itu membagi benihnya dengan wanita lain.“Kita ke sana yuk, nonton tivi.” Rendra berdiri kemudian membimbing Leandra menuju tempat tidur mereka.Masih dengan bibir terkunci, Leandra membaringkan diri di samping Rendra tanpa hasrat sedikitpun. Dia bahkan sampai terperanjat ketika tiba-tiba lengan Rendra memeluknya erat tanpa izin.“Kamu kenapa sih?” tanya Rendra dengan wajah tanpa dosa. “Aku ini suami kamu, kenapa kamu sekaget itu?”Leandra cepat-cepat menarik lengan Rendra dan mendorongnya menjauh dengan wajah risi.“Jangan nempel-nempel dulu, Mas ... Aku gerah!” jawab Leandra beralasan.Tentu saja Rendra tidak percaya, kamar mereka saat itu terasa sejuk karena AC yang sudah dinyalakan sejak beberapa saat lalu.“Gerah ya? Kalau begitu buka saja bajunya,” kata Rendra, jemarinya dengan lincah melucuti kancing piyama Leandra.“Mas, jangan!” Usaha Rendra sontak mendapatkan perlawanan dari istrinya yang merasa tidak nyaman.“Kamu ini nggak peka? Harus ya aku bilang terus terang kalau aku menginginkan hak aku?” tukas Rendra, jemarinya tetap memaksa mengoyak kancing itu satu demi satu meskipun Leandra sedang tidak ingin melayaninya.“Jangan sekarang, Mas ... aku nggak mau!” Leandra berontak, mendadak dia merasa jijik dengan suaminya sendiri.“Kamu tahu dosa?” Rendra yang berang segera mengimpit Leandra. “Itu yang akan kamu dapatkan kalau kamu menolak melayani suami kamu!”Leandra terpaku dan tidak lagi meronta.“Kamu masih istri aku yang sah, Lea. Itu artinya aku berhak minta pelayanan kamu kapan pun aku mau,” kata Rendra mengingatkan. “Ngerti kamu?”Leandra mengerjabkan matanya yang mulai terasa basah.“Iya, Mas ....” Dia rasakan perlawanannya luruh seketika karena tuntutan kewajiban seorang istri yang masih berada di atas pundaknya.Rendra tersenyum puas setelah berhasil membuat Leandra menurut kepadanya. Sebagai suami, dia tentu tidak terima jika sang istri memiliki keberanian untuk menolak permintaannya.Selama kegiatan suami istri itu berlangsung, Leandra sama sekali tidak menikmatinya. Dia menyerahkan tubuhnya kepada Rendra, tapi jiwanya mengembara entah ke mana.Rasa cinta yang dulunya pernah membara, kini nyaris tak lagi ada.***Esok paginya, Leandra terbangun dan mendapati Rendra tertelungkup di sampingnya dengan punggung yang tidak tertutupi selimut.Betapa pun kini dia mulai merasa tersiksa, Rendra tetaplah suaminya yang sah.Dengan perasaan yang kacau balau, Leandra turun dari tempat tidur dan menyeret kedua kakinya ke kamar mandi.“Bagaimana, apa Lea masih marah soal pernikahan kedua kamu?” tanya Widi ingin tahu ketika mendapati Rendra sarapan bersama ayahnya, tetapi tanpa kehadiran Leandra.“Apa yang kalian lakukan kepada Lea sangat keterlaluan,” Irawan menyela.Widi membuang muka.“Aku masih bisa mengatasi Lea,” jawab Rendra seraya mengiris telurnya.“Itulah kenapa ibu sarankan kamu untuk memilih wanita yang siap hamil,” timpal Widi dengan suara keras. “Supaya kita tidak menunggu terlalu lama seperti ini—tapi ya sudahlah, Silvi juga sudah hamil.”Rendra dan Irawan saling pandang, tapi enggan menanggapi ucapan Widi.Akhir pekan kembali tiba, Leandra meminta izin Rendra untuk pergi menginap di rumah Ivana selama dua hari.“Kok tumben?” tanya Rendra mengernyit. “Biasanya kamu juga di rumah ....”“Dan menunggu kamu yang sibuk bersenang-senang sama istri kedua kamu?” tanya Leandra menyindir.Rendra menarik napas dan menyahut, “Aku akan izinkan kamu dengan syarat.”Leandra memandang suaminya datar.“Kamu nggak boleh cerita sama Tante Ivana kalau aku menikah lagi,” sambung Rendra. “Kalau kamu sampai cerita dan aku dihujat tante kamu, aku nggak akan pernah kasih izin kamu untuk keluar rumah lagi.”Kali ini giliran Leandra yang menarik napas.“Kalau begitu kamu bisa ceraikan aku, Mas,” katanya dengan hati nyeri seperti tertusuk ribuan jarum. “Kamu bisa fokus sama dia dan aku akan fokus sama hidupku sendiri.”Rendra terenyak.“Kita nggak akan bercerai, Lea. Aku cinta sama kamu,” tegasnya sambil menatap Leandra.“Ya terserah, pokoknya aku mau menginap di rumah tante aku selama kamu bermalam sama dia.” Leandra ngotot. “Aku nggak akan cerita apa pun soal pernikahan kedua kamu, jujur aku malah malu.”Enggan bertengkar lebih jauh, Rendra akhirnya memberikan izin kepada Leandra.“Tapi aku nggak bisa antar kamu,” kata Rendra memberi tahu. “Perut Silvi kram ....”“Aku bisa pergi pakai motor,” potong Leandra, yang sangat benci kalau Rendra sudah menyebut nama terlarang itu saat mereka sedang berdua saja seperti ini.Cepat-cepat dia menyiapkan dua setel pakaian bersih dan memasukkan-kemasukan ke dalam tas, setelah itu ditinggalkannya rumah orang tua Rendra dengan hati remuk redam.Ivana menyambut kedatangan Leandra dengan hangat.“Kok sendirian? Rendra mana?” tanya Ivana sambil membimbing keponakannya untuk masuk ke dalam rumah.“Biasa, sibuk.” Leandra menyahut sekenanya. “Aku mau menginap di sini, Tante. Boleh kan?”Ivana mengangguk tanpa banyak pertanyaan dan segera meminta Leandra untuk istirahat di kamarnya.Pagi itu Leandra memandang alat tes kehamilan yang baru saja dia gunakan, jantungnya berdebar ketika dia menyipitkan mata dan harus puas menyaksikan garis satu muncul dengan sangat jelas di alat itu.“Jangan lupa minum ramuan kamu dulu, Lea.”Ivana mengingatkan ketika Leandra muncul di dapur sedikit terlambat. Sudah ada teh dan sepiring kue di meja makan.“Iya, Tante.”“Bagaimana, sudah ada hasilnya belum?” tanya Ivana seraya melirik Leandra yang baru saja duduk.“Hasil ...?” Leandra mengernyit.“Tentu saja, hasil.” Ivana mengangguk, membuat Leandra tertegun sejenak.“Masih garis satu, Tante.” Leandra memberi tahu. “Negatif—bukankah ramuan itu seharusnya ada hasil?”“Tapi harus sabar,” sahut Ivana realistis. “Fisik setiap wanita itu berbeda.”Leandra mengangguk, kemudian memutuskan untuk meminum ramuannya terlebih dahulu yang sudah disiapkan Ivana dalam cangkir yang terpisah.“Tante mau bersih-bersih rumah dulu,” kata Ivana setelah mereka selesai sarapan. “Kamu santai saja di sini.”“Oke, Tante.” Leandra tersenyum, meskipun sedikit dipaksakan.Di kamar Ivana, Leandra termenung sambil menatap ke layar ponsel yang menampilkan foto pernikahannya dengan Rendra. Satu setengah tahun menikah dengan Rendra tidak bisa dibilang kalau dirinya tidak bahagia.Rendra sebetulnya sangat bertanggung jawab sebagai seorang suami. Dia mampu mencukupi semua kebutuhan Leandra, baik itu nafkah bulanan maupun nafkah batin.Sayangnya kesempurnaan itu harus dicoreng dengan sebuah pengkhianatan yang sangat sulit untuk Leandra maafkan.Bersambung—Langkah Rendra sontak terhenti ketika dia mendengar namanya dipanggil.“Ren, ibu mau bicara!”Tanpa berpikir dua kali, Rendra langsung membelokkan langkahnya ke dapur.“Kamu sama Lea jadi periksa ke dokter?” tanya Widi tanpa basa-basi bahkan sebelum Rendra duduk di kursinya.“Aku sama Lea ...” Rendra menggantung ucapannya. “Kenapa memangnya, Bu?”“Kenapa, kamu bilang?” tukas Widi sambil mendelik. “Ibu mau tahu apakah Lea itu mandul atau tidak.”Rendra terperanjat.“Bu, jangan seperti ini. Kasihan Lea, kasihan aku juga ...” katanya diselingi helaan napas berat. “Dia adalah orang yang paling terpukul dibandingkan kita.”Widi menarik napas panjang.“Kamu tahu seberapa terpukulnya ibu juga kalau dia mandul kan?” tanya Widi sambil menghembuskan napas berat.“Tapi Lea akan lebih terpukul, Bu,” elak Rendra dengan wajah lelah. “Aku ke kamar dulu, capek.”“Jadwal kamu ke tempat Silvi jangan lupa,” sahut Widi mengingatkan. “Jangan sampai kamu mengabaikan dia, beda hal sama Lea—dia ka
Rendra mengeratkan dekapannya pada bahu Leandra.“Enggak lah,” sahut Rendra. “Tapi aku butuh pengertian kamu—kalau nantinya aku sering ke tempat Silvi, itu semata-mata cuma untuk melihat bayi itu.”Leandra diam saja.“Atau kalau kamu nggak keberatan, kita bisa asuh bayi itu berdua saja.” Rendra mengusulkan.“Terus Silvi gimana?” tanya Leandra dengan kening berkerut. “Kamu akan memisahkan bayi itu dari ibunya?”Rendra berpikir sejenak.“Bukan memisahkan juga sih,” katanya membantah. “Kan bayi itu bisa kamu rawat, Silvi juga bebas kalau mau lihat anaknya.”Leandra terpaku, menurutnya usul Rendra terlalu dipaksakan. Selain itu dia tidak yakin kalau Widi akan setuju jika Silvi dipisahkan dari bayinya nanti.Pekan itu sesuai jadwal, Rendra harus bermalam di tempat Silvi dan itu artinya Leandra akan ditinggal sendirian.“Atau kamu mau aku antar ke tempat Tante Ivana dulu?” tanya Rendra menawari ketika melihat wajah Leandra yang muram.“Tan
Leandra menghela napas. “Kalau begitu, biar aku ikut kerja.” Dia memutuskan karena tidak tahan dengan tuduhan boros yang disematkan kepadanya.Rendra malah tersenyum geli.“Mau kerja apa?” tanya Rendra dengan kening berkerut. “Perusahaan mana yang mau menerima calon pegawai yang belum punya pengalaman seperti kamu?”Kali ini Leandra merasa kalau Rendra terlalu meremehkannya.“Kalau nggak dicoba, mana aku tahu?” ucap Leandra seraya memasukkan kembali surat kendaraannya ke dalam laci. “Tapi aku serius, aku akan mulai cari kerja besok.”“Jangan ngawur,” tegur Rendra. “Kalau kamu kerja, memangnya kamu masih bisa mengurus keperluan aku?”Leandra mengangguk.“Seharusnya bisa, itu bukan sesuatu yang sulit kan?” kata Leandra optimis.Rendra menghela napas panjang.“Terserah kamu,” sahutnya, enggan berdebat. “Yang penting, jangan sampai urusan rumah kamu tinggalkan cuma karena kamu kepingin kerja.”Jujur saja jawaban Rendra membuat Leandra ingin tertawa.“Mas, Mas, jangan bersika
Sudah satu minggu lebih, bahkan hampir dua mingguan lamanya, email yang dikirim Leandra tidak mendapat tanggapan dari kantor Tian.“Kenapa sih kamu gelisah terus akhir-akhir ini?” Rendra mempertanyakan, seingatnya dia sudah membagi waktu antara Leandra dan Silvi dengan sebaik-baiknya. Dan Leandra masih dia prioritaskan dengan lima hari penuh bersamanya, begitupun soal nafkah bulanan yang tidak pernah terlambat Rendra berikan.“Aku belum dapat jawaban dari kantor yang aku incar,” jawab Leandra sambil berkali-kali memeriksa email-nya.Rendra tersenyum tipis, “Kamu kira cari kerja itu gampang? Sudahlah, kamu di rumah saja seperti biasa. Toh aku juga nggak pernah menelantarkan kamu kan?” Leandra meletakkan ponselnya dan berbaring dengan wajah lelah di tempat tidur.Melihat sang istri tidak bersemangat, Rendra lantas berinisiatif untuk mengajaknya jalan-jalan ke mal.“Kita belanja, yuk?” ajak Rendra sambil mengusap kepala Leandra. “Atau kita ke puncak? Sudah lama kan kita nggak li
Widi sedang merapikan pot-pot yang berisi tanaman hiasnya ketika salah seorang asisten rumah tangga muncul di halaman.“Maaf, Nyonya ... ponsel Nyonya bunyi!” lapornya memberi tahu.“Ya sudah, kamu tunggu dulu tanaman saya.” Widi berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju kamarnya di lantai dua karena ponsel itu ditinggalkannya sejak sarapan pagi tadi.“Siapa ya pagi-pagi begini telepon?” gumam Widi sambil meraih ponselnya yang berdering, dia mengerutkan kening ketika melihat nama yang terpampang di layar. “Halo?”“Bu, Mas Renda kenapa sih?” Suara Silvi langsung terdengar begitu Widi menerima teleponnya. “Aku suruh dia mampir, tapi dia malah negur aku ...!”“Silvi, kamu kenapa, Nak?” tanya Widi khawatir. “Jangan gelisah begitu, kamu kan sedang hamil.”Setelah Silvi sudah agak tenang, Widi melanjutkan ucapannya. “Apa yang terjadi? Memangnya Rendra kenapa?” “Mas Rendra ternyata sedang cuti, tapi dia nggak mau mampir ke tempatku, Bu!” ucap Silvi dengan nada g
“Kenapa kamu tidak langsung mampir ke tempat Silvi?” tanya Widi tajam ketika Rendra menghadap kepadanya.“Ibu yang benar saja, aku kan sedang sama Lea.” Rendra mencoba memberikan pengertian. “Ibu mengharapkan aku mampir ke sana dan membiarkan Lea bertemu sama Silvi?”“Memangnya kenapa, Ren?” tukas Widi dengan nada tidak mau dibantah. “Silvi itu sedang hamil muda, dia lebih membutuhkan perhatian kamu dibandingkan Lea. Yang namanya istri sedang hamil itu memang harus kamu istimewakan.”Rendra meremas rambutnya sendiri dengan gusar.“Tapi aku tetap nggak bisa membiarkan mereka berdua bertemu,” kata Rendra sambil menggelengkan kepala. “Dan perjanjiannya adalah aku ke tempat Silvi cuma dua kali dalam seminggu.”Widi geregetan memandang putranya dan menghardik, “Silvi sedang hamil muda, Ren! Kamu mana tahu rasanya hamil itu bagaimana! Mual, muntah, pusing, tidak bisa tidur juga!”Suara keras Widi membuat Rendra terperangah.“Wajar kan, Bu?” ujar Rendra yang tidak suka ditekan seperti
Malam itu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, tapi Rendra belum juga pulang ke rumah. Leandra sudah berusaha menghubungi ponselnya beberapa kali, tapi tidak kunjung diangkat atau menghubungi balik.Sejujurnya Leandra sudah berusaha memaklumi jika Rendra masih harus menemani Silvi lebih lama lagi, tapi dia ingin suaminya memberikan kabar supaya pikiran Leandra tidak gelisah sedemikian rupa.“Bu, Mas Rendra apa kasih kabar ke Ibu mau pulang jam berapa?” tanya Leandra yang tidak bisa menahan diri lagi ketika mendengar suara pintu kamar Widi dibuka.“Bukannya dia masih di tempat Silvi?” jawab Widi dengan nada biasa. “Kamu tidak usah terlalu khawatir, dia kan melakukan kewajibannya sebagai seorang suami.”Leandra menarik napas.“Aku cuma khawatir kalau terjadi sesuatu, karena Mas Rendra tidak kasih kabar sama sekali.” Dia menjelaskan. “Aku coba hubungi ponselnya juga tidak diangkat dari tadi.”Betapa herannya Leandra, ekspresi wajah Widi sedikit mengeras ketika mengetahui mena
Rasa kecewa Leandra masih terasa hingga dia enggan untuk melayani keperluan Rendra dengan sepenuh hati. “Kalian kenapa, tumben diam?” tanya Widi ingin tahu seraya memandang putra dan menantunya bergantian. “Nggak apa-apa,” jawab Rendra sambil menghela napas. “Aku cuma capek saja.” Leandra memilih diam karena haknya untuk bicara sudah tertelan di kerongkongan sebelum dia sempat bersuara. “Mas, hari ini kemungkinan aku nggak ada di rumah.” Leandra memberi tahu ketika dia mengantar Rendra menuju mobilnya. “Maksud kamu?” Pikiran Rendra langsung ke mana-mana. “Nggak ada di rumah gimana?” “Ya aku mau pergi,” tukas Leandra dengan kening berkerut. “Kenapa muka kamu kaget begitu sih, Mas?” Rendra melihat ke arah pintu, kemudian segera menarik Leandra untuk masuk ke mobilnya. “Aku paham kalau kamu marah sama aku,” kata Rendra lambat-lambat. “Aku ketiduran di sana dan ... kamu nggak hubungi aku, jadi aku pikir kalau kamu nggak keberatan seandainya aku pulang terlambat sebentar saja.” Lea