Jevran turun dari bus saat angkutan umum itu berhenti di halte bus yang dekat dengan rumahnya. Dengan langkah yang cepat Jevran melangkah pergi. Sesekali dia melirik ke belakang dengan cemas. Sejak pulang dari kantor, dia merasa diikuti. Tapi tak ada seorangpun yang terlihat mencurigakan.Lelaki itu mempercepat langkahnya. Takut jika ada orang yang memang menguntit, atau sudah mengetahui identitas Jevran. Saat berbicara dengan Jerry saja, Jevran merasa ada yang menguping di sana. Ini bahaya."Joko! Sini!" Naura yang berada di bawah pohon mangga berteriak dan melambaikan tangannya.Pria itu mengerutkan keningnya. Gadis itu sudah pulang bekerja? Tapi kenapa wajahnya terlihat murung? Tidak seperti biasanya yang selalu terlihat ceria. Karena rasa penasarannya Jevran menghampiri Naura yang duduk di rerumputan."Ada apa?""Duduk dulu!" Naura menarik Jevran duduk di sampingnya. Ikut bersandar di pohon mangga di pekarangan milik pria tersebut. "Kamu kenapa?""Aku dipecat," gumam Naura yang m
Ajun menunjuk keributan yang terjadi di sebrang jalan. Ada dua orang pria yang dikeroyok oleh 4 orang. Walaupun penerangan lampu jalan sedikit remang-remang, tapi Naura bisa lihat jika salah satu pria di sana ada seorang kakek-kakek."Ayo bantuin, Jun!""Tapi...""Buruan!" Naura menarik tangan sang adik.Mereka berdua berlari ke sebrang jalan. Jalanan di sini sepi, dan hanya satu dua kendaraan yang melewat. Kalaupun turun tidak mungkin, karena satu dari orang jahat itu memegang sebilah pisau. Naura menyimpan barang belanjaannya di tempat aman. Sebelumnya juga Naura mengantongi botol pepper spray yang selalu dibawa untuk jaga-jaga."Kalian beraninya main keroyok! Sini kalau berani!"Hening seketika. "Hei nona cantik, apa masalahmu? Daripada mengurusi kami, lebih baik bermain bersama kami nanti." Empat preman itu tertawa.Ajun yang tak terima kakaknya direndahkan, segar memukul orang yang mengatakan itu. "Jaga mulut lo!"Keributan itu kembali terjadi. Naura juga ikut menyerang salah sa
Jevran dengan cepat melihat ke tangannya yang memiliki luka. Ah, ini ternyata. Mau bagaimanapun juga lama-lama identitas aslinya akan ketahuan. Jevran tau itu. Tapi tak pernah mengira jika akan terjadi secepat ini."Okey aku nyerah. Ini emang aku." Jevran melepas kacamatanya dan duduk di samping sang kakek."Bagus.""Sekarang mau kakek apa? Aku balik lagi ke rumah? Gak akan. Kecuali kalau perjodohan itu batal."Wilan bersedekap dada. "Bukan itu. Kamu kalau mau pergi dari rumah, bisa pergi ke luar negeri atau kemana pun dengan uang kamu. Tapi kenapa harus jadi anak kampung seperti ini? Kamu bahkan bekerja sebagai OB di perusahaan mu sendiri. Untuk apa?""Emangnya kenapa kalau aku begini?""Kakek tau kalau kamu direndahkan orang-orang.""Tapi aku merasakan apa yang dirasakan para pekerja di sini. Aku bisa tau keluh kesah mereka selama kerja di sini. Aku gak masalah. Awalnya mungkin aku gak suka, tapi aku banyak belajar dari sini."Di tengah itu, Jerry hanya menyimak perdebatan kecil ant
Bjjnb"Papa?" Naura menghampiri pria yang dipanggilnya Papa itu dan memeluknya erat. Begitu juga dengan Ajun yang ikut memeluk."Kenapa kalian bisa datang samaan?" tanya Naura lagi."Papa sama Rival udah janjian untuk pulang sama-sama. Untungnya hari ini kita gak kena macet, jadi bisa datang lebih awal."Pria di samping itu terkekeh pelan. Dia adalah Rival, anak pertama di rumah ini. "Keliatan banget kalian berdua kangen sama Abang.""Idih, PD banget!"Ditengah pertemuan itu, Arga dan Jevran masih sama-sama berdiri di belakang. Arga memang sudah kenal dengan Ayah dan Kakaknya Naura. Namun, Jevran sendiri sudah bisa menebak ketika melihat kedekatan gadis itu dengan dua orang di depannya."Lo ngapain di sini? Masih berani deketin Naura?" tanya Rival melihat Arga. Jangan salah, dia sudah tau kalau Arga ini menyukai adiknya. Namun tetap saja Rival akan terus mengulang bahwa Naura tidak boleh pacaran. Meskipun dengan embel-embel sahabat seperti Arga sekarang."Cuma main, Bang. Lagian ini a
Pagi-pagi sekali Naura bangun dan bersiap-siap untuk pergi. Rencananya dia akan mulai mengirim lamaran ke perusahaan ternama, Cube cooperation. Walaupun sempat merasa tidak percaya diri namun kali ini Naura sangat berharap bisa bekerja di sana. Walaupun itu bukan sebagai sekertaris.Gadis itu tidak masalah bekerja di bagian apapun. Dia hanya ingin mendapat pekerjaan. Meskipun menurut Ayahnya sering mengatakan jika Naura lebih baik di rumah saja, itu benar-benar membosankan. Dia bahkan sudah dewasa dan sudah seharusnya mengetahui lebih tentang dunia luar.Saat melewati kamar Ayahnya, Naura melihat pria paruh baya itu tengah duduk di atas kasur sambil memeluk sebuah bingkai foto. Kebetulan pintu kamarnya terbuka setengah. Perlahan Naura masuk ke dalam dan mendekati Ayahnya."Papa kenapa?" tanya Naura lirih."Eh, kamu di sini? Papa gak kenapa-kenapa," ucapnya namun mengusap sedikit air mata yang keluar."Jangan bohong." Naura mengambil bingkai foto yang sempat dipegang oleh Bahar. "Papa
"Joko! Gimana? Urusan kamu teh sudah beres?" tanya Ujang menghampiri Jevran yang baru masuk ke dalam pantry."Sudah. Gak ada masalah lagi, jadi kamu tenang aja.""Syukurlah kalau begitu."Jevran terduduk di salah satu kursi dan menatap teman-teman OB-nya. "Kalian kenapa pada kumpul di sini? Nanti kalau dimarahin atasan karena gak kerja gimana?""Udah kamu teh tenang aja atuh. Kepala OB itu saya. Lagian belum ada kerjaan lagi, kok. Jadi saya teh mau ngasih tau kamu kalau nanti Minggu kita semua OB di sini mau makan-makan di luar. Hayuk atuh kamu juga harus ikut.""Minggu ini? Tapi saya gak tau bisa apa engga.""Harus bisa. Kamu juga harus kenalan sama OB yang lain supaya mereka juga kenal sama kamu," kata Ujang memaksa.Masalahnya Jevran sejak dulu tidak terlalu suka kumpul-kumpul dengan banyak orang apalagi teman kerjanya. Satu-satunya orang yang diajak Jevran nongkrong hanya Jerry. Karena itu dia tidak terlalu berbaur dengan lingkungannya. Dan mungkin salah satu alasan diberikannya p
Ajun masuk ke pekarangan rumahnya dengan wajah lelah. Dia pikir pulang sekolah akan dijemput Ayahnya, ternyata tidak bisa karena mobilnya sedang mogok. Dia bahkan melihat sendiri sang Ayah yang tengah berada di halaman rumah, memeriksa kap mobilnya."Pulang sama siapa? Ojek?" tanya Bahar yang masih menatap kabel-kabel di depannya."Jalan kaki.""Jalan Kaki? Kenapa gak naik ojek atau nebeng temen kamu?" Pria itu kini menatap putra bungsunya.Ajun mendengus pelan dan membuang wajahnya ke arah lain. "Uang aku abis. Bang Rival gak bisa di telepon, Kak Naura gak aktif. Temen-temen aku juga gak bisa nganterin.""Abang kamu lagi ke luar beli makan. Tapi kakak kamu ada di dalam, tuh.""Papa, aku bawain minum, nih."Tak berselang lama Naura keluar dari rumah dengan membawa segelas jus jeruk di tangannya. Wajahnya benar-benar ceria hari ini. Karena Naura baru mendapat kabar baik pagi tadi, maka dirinya dalam keadaan mood yang bagus."Kenapa senyum-senyum?" tanya Ajun mendelik. "Giliran tadi di
Rival menuntun Jevran turun dari mobilnya. Jevran benar-benar sudah sangat lemas, bahkan rasanya kedua kakinya seakan diseret. Luka di wajahnya membuat darah-darah segar itu mengalir di bagian kening dan lebam yang menghiasinya. Jevran sudah tidak peduli dengan kaca mata miliknya yang entah kemana. Yang dia coba tutupi adalah pipinya, di mana tompelnya terlepas dan menjadi satu-satunya penyamaran yang mengundang kecurigaan. Namun untungnya rambut palsu miliknya tidak ikut bermasalah saat perkelahian tadi. Hm, menjadi Joko ternyata memiliki banyak drama."Naura! Papa! Ajun!" teriak Rival memanggil orang-orang di rumah. Mendengar suara Rival mereka segera keluar dari rumah. Bahar yang melihat Rival membawa seseorang yang babak belur langsung menghampirinya. Memastikan sang anak baik-baik saja. "Ada apa ini?" "Ini, pah. Di jalan aku ketemu tetangga kita ini. Dia dikeroyok sama preman di depan komplek.""Joko?" Naura berlari kecil mendekatinya. "Ya ampun ini darahnya banyak banget. Ha