Share

Tetangga Meresahkan
Tetangga Meresahkan
Penulis: Yuliswar

BAB 01

Nama ku Sara. Aku memilikki seorang suami bernama Andi. Kami hidup disebuah kampung yang hampir semua masyarakatnya bisa dibilang kalangan menengah.

kami adalah perantau, jadi dikampung ini, kami mengontrak sebuah rumah. Karena suami yang pekerjaannya hanya sebagai buruh bangunan. Kami belum mampu untuk membeli rumah.

Bisa makan dan membeli susu untuk anak saja kami sudah bersyukur.

Orang-orang disini bisa dibilang sangat ramah. Plus julid. Jadi, ketika ada warga baru pasti dikepoin habis-habisan.

Ketika Kami baru datang dikampung ini. Kami juga tak luput dari kepoan mereka.

Kami mengontrak sebuah rumah yang sangat sederhana dan katanya rumah ini memang tak ada orang yang berminat mengontraknya. Karena memang kondisi rumah ini sangat sederhana dan bahkan bisa di bilang sangat jelek diantara rumah-rumah lainnya. Ada beberapa tempat temboknya mulai retak-retak, lantainya hanya menggunakan karpet bukan keramik. Jadi rumah ini tidak ada orang yang berminat mengontraknya. Apa lagi hampir sebagian warga yang tinggal di Gang ini adalah karyawan sebuah perusahaan batu bara, jadi otomatis gaji mereka besar dan pasti mereka malu atau genggsi ngontrak rumah ini.

Ketika Kami baru datang dan sedang berbenah ada tetangga bertamu kerumah.

Sebut saja namanya Sulis.

Tok.. Tok.. Tok.. Suara ketukan pintu. Aku bergegas membuka pintu.

"Assallamuakaikum. Mbak." sapanya ketika pintu depan ku buka.

"Waalaikum salam." wajabku.

"Mbak. Ini ada kue bolu, tadi saya baru bikin. Sekalian kenalan sama tetangga baru." ucapnya sambil menyodorkan sebuah piring berisi beberapa iris kue bolu.

"OH. Iya Mbak. Terima kasih, mari masuk, Mbak, maaf masih berantakan." ajakku, Sulis masuk sambil mata nya melihat kesana kemari. lalu ku persilahkan dia untuk duduk.

"OH, iya, nama mbak siapa? kita belum kenalan." tanya nya sambil menyodorkan tangannya.

"Sara, mbak." sambil kujabat tangannya.

"Suaminya kerja dimana mbak?" tanya nya lagi.

"Suami saya buruh bangunan mbak." jawabku.

"OH. Buruh bangunan to. Miskin sich ya, pantas mau nyewa rumah ini. " ucap nya sedikit meledek.

"Lho. Memang kenapa sama rumah ini Mbak?" tanyaku penasaran .

"Rumah ini kan yang paling jelek dan murah diantara rumah kontrakan lain." jawabnya sambil celinguk sana sini.

"Iya, Mbak, kami mampunya ngontrak yang sesuai kantong saja. Maklumlah suami cuma bekerja sebagai buruh bangunan." jawabku merendah.

"Ya wajar sich, namanya juga kerjanya cuma buruh bangunan jadi mana mampu ngontrak rumah yang bagus." cibirnya.

"Iya Mbak. Kami sadar diri kok. Kemampuan kami sampai dimana." Jawabku

"Ya sudahlah, aku pulang dulu. Jangan lupa piringnya di kembalikan dan ingat ya di cuci yang bersih." ucapnya sambil berlalu pergi.

setelah itu, Dia pamit pulang dan berpesan untuk mengembalikan piringnya dengan keadaan bersih sambil menunjuk kan dimana letak rumahnya.

keesokkan harinya. Anakku mengajak main keluar rumah, karena didepan rumah banyak anak kecil yang sedang bermain. Ketika aku sedang menemani anakku. Mataku melihat sebuah rumah yang bagus menurutku, namun didepan rumah itu ada sebuah mobil pickup membawa tandon air sedang terparkir dan mengisi air dirumah itu.

Aku berpikir sejenak, apa tidak ada sumur dirumah itu sehingga harus membeli air?

Dikampung ini memang belum ada pipa PDAM, jadi masyarakat disini kebanyakan menggunakan sumur bor.

Anakku yang penasaran dengan suara mesin air tandon itu, lalu mendatangi rumah itu dan dia sibuk melihat orang menarik selang air yang besar.

Ketika aku sedang mengawasi anakku ternyata pemilik rumah mendekatiku.

" Mbak, yang tinggal dirumah depan itu iya?"tanyanya sambil menunjuk rumahku. karena posisi rumahnya dibelakangku.

"Iya Bu." jawabku.

"Rumah itu sudah lama tidak ada yang mau ngontrak." ucapnya

"Iya, Bu... Kami ngontrak rumah itu sesuai kemampuan saja Bu. Gak sanggup kalau harus ngontrak rumah yang lebih bagus." jawabku

"Lho. Memang suaminya kerja di perusahaan mana to Mbak, kok gak mampu cari kontrakan yang bagus?" tanyanya.

"Suami saya bukan kerjan di perusahaan Bu, tapi bekerja sebagai buruh bangunan."jawabku.

"O...." jawabnya.

"Ya sudah saya permisi ya Bu mau memandikan si kecil dulu."ucapku

Setelah itu aku pamit pulang sambil menggendong anakku.

✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻✍🏻

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah seminggu kami tinggal dikontrakan ini.

Pagi itu hujan turun sangat lebat, jadi suamiku tak bisa berangkat kerja.

ketika membuka pintu belakang, mataku disuguhkan dengan sebuah pemandangan yang menyedihkan. Ibu pemilik rumah belakang itu sedang naik tangga membetulkan talang air agar bisa masuk ke dalam tandon.

Sedangkan sang suami memegangi tangga. Aku tidak tahu apa alasannya mengapa yang diatas tangga si istri bukan sang suami.

Aku yang melihat itu, begitu prihatin. Lalu aku memberitahu suamiku kejadian yang aku lihat tadi dan suamiku mengatakan jika memang mereka tidak punya sumur biarlah ambil air dirumah kita.

keesokkan harinya kudatangi rumah Ibu itu.

" Bu. Maaf sebelumnya. Apa Ibu tidak memiliki sumur? soalnya kemarin Saya melihat Ibu sedang betulin talang air?" tanya ku sedikit ragu.

"Oh iya Mbak. Saya belum mampu untuk ngebor sumur soalnya mahal biayanya." jawabnya.

"Jika Ibu berkenan. Ibu bisa ambil air dari rumah saya. Tinggal Ibu beli pipa untuk mengalirkan ke tandon Ibu." ujarku pada nya.

"Beneran Mbak? Terus perbulannya Saya harus bayar berapa?" tanyanya.

"Cukup Ibu bantuin Saya beli pulsa 50ribu sebulan." jawab ku.

Aku sempat berpikir, kok bisa masyarakat disini gak ada yang peduli, jika salah satu tetangganya tidak memiliki sumur. Padahal rata-rata mereka itu rumah milik sendiri dan kehidupan mereka juga bisa di bilang sangat cukup jika hanya untuk membantu salah satu tetangganya, penghasilan mereka juga pasti besar dan rumah mereka juga rumah yang bisa di bilang bagus dan milik sendiri tidak seperti aku yang masih ngontrak.

Sudah seminggu Ibu itu mengalirkan air dari rumahku. Hubungan kami mulai akrab.

Sore itu anakku ingin main diluar rumah.

Sepertinya dia suntuk didalam rumah terus. karena anakku rewel, akhirnya aku turuti anakku untuk main diluar rumah.

Anakku terlihat antusias melihat banyak teman sebayanya bermain.

Ketika aku sedang mengikuti anakku. Tiba-tiba bu Sulis datang dan mendekat kearahku.

"Bu. Mau ambil piring yang tempo hari." ujarnya kepadaku.

"Ya Allah Bu, maaf, Saya lupa mengembalikannya." jawabku sedikit terkejut karena aku baru ingat jika piring Bu Sulis memang belum aku kembalikan.

"Iya, Bu gak apa." jawab nya dengan datar.

"Eh. Ngomong-ngomong, Ibu menyalurkan air kepada keluarga Bu Darmi? "tanya nya penasaran.

"OH. Nama Ibu belakang itu Bu Darmi to Bu?" jawab ku.

"Lho. Ibu ini gimana sich. Masak sudah ngasih air dan sudah sering ngobrol tapi gak tahu namanya." jawabnya heran.

"Hehehe... Saya tidak pernah tanya namanya Bu soalnya."jawab Ku sambil tersenyum.

"Ibu, baik banget sich. Belum kenal karakter orangnya, tapi sudah berani mengalirkan air kerumahnya."Ujarnya. Perkataan bu Sulis membuatku mengernyitkan dahi, karena sepertinya ada hal yang tidak aku ketahui tentang keluarga bu Darmi.

Jujur aku jadi penasaran. Tapi, semua ku pendam dalam hati. To niat aku kan baik pikirku.

Setelah ngobrol kesana kemari. Datang lah dua orang tetangga lagi, mereka menyebutkan namanya masing- masing. Yang bertubuh gemuk bernama Bu Mira dan yang sedikit kurus bernama Nuri.

Kami ngobrol layaknya tetangga baru hingga bu Nuri nyeletuk.

"Bu. Hati-hati lho. Jika nanti listriknya habis banyak." ucapnya kepada ku.

"Maksud bu Nuri apa ya? Saya kurang faham." tanyaku.

"Iya. Secara-kan, Ibu ngalirkan air kerumah Bu Darmi yang kaya raya itu." jawab nya sedikit mencibir.

" Maaf Bu! tidak baik seperti itu sama tetangga sendiri." jawab ku.

"Ibu kan belum tahu mereka seperti apa. Nanti juga Ibu bakal nyesel sendiri."jawabnya sedikit ditekan.

"Insha Allah gak nyesel Bu, niat saya hanya ingin menolong tidak lebih."Ucapku

"Menolong itu boleh Bu dan sangat di anjurkan, tapi kita juga harus tahu dulu apakah orang ini pantas kita tolong atau tidak."jawabnya

"Maksud Bu Nuri apa ya saya kurang faham."tanyaku

"Ibu rasakan saja nanti, kalau kami ngomong nanti Bu Sara pikir kami tetangga yang tidak baik."jawabnya dengan nada telihat sedikit kesal.

Entah mengapa aku merasa jika para tetangga disini tidak peduli dengan keluarga bu Darmi. Karena dari cara mereka menceritakan tentang Bu Darmi sangat terlihat jelas ada rasa ketidak sukaan mereka terhadapnya. Entah apa yang membuat mereka seperti itu, tapi itu semua adalah hak mereka dan aku tidak bisa memaksa mereka untuk peduli dengan Bu Darmi.

Karena hampir senja kami pun membubarkan diri dan kembali kerumah masing-masing.

Setelah masuk kedalam rumah. Aku langsung memandikan anakku. Setelah seleseikan memandikan anakku. Aku langsung memasak. Karena sebentar lagi suamiku waktunya pulang, kasihan kalau dia pulang belum ada makanan yang tersaji dimeja makan.

👌👌👌👌👌👌👌👌👍👍👍👍👍👍👍

Waktu berjalan begitu cepat. Sudah enam bulan aku tinggal dikampung ini.

Hubunganku dengan bu Darmi juga semakin akrab. Tak pernah aku hiraukan omongan para tetangga tentang Bu Darmi. Bagiku selagi dia baik mengapa harus Ku jauhi.

Hari demi hari mulai terlihat perubahan sikap dan nada bicara Bu Darmi .

Yang awalnya suka merendah, sekarang selalu menyombongkan harta yang ada dikampung halamannya. Yang katanya sawahnya berhektar-hektar.

Pembayaran air pun juga sudah mulai bermasalah.

Lancar waktu dua bulan pertama saja. Setelah itu tak ada pembayaran lagi darinya.

Sudah empat bulan ini. Bu Darmi tidak pernah memberi uang pulsa.

Dia selalu beralasan jika belum memiliki uang.

Awalnya aku memaklumi, karena aku berpikir memang demikian sulitnya keuangannya.

Waktu itu, tanpa sengaja aku bertemu dengan Bu Darmi dan anak pertama-nya sedang belanja di warung sayur.

Karena kami bertetangga aku lalu menyapa mereka.

"Belanja Bu?" sapaku dan anak gadis nya menoleh kearahku.

"Ya, belanja lah! namanya juga diwarung." jawabnya dengan nada ketus.

Aku terperangah mendengar jawaban Bu Darmi.

"Oh... Silahkan Bu, saya permisi dulu."jawabku.

"Pulang ya pulang sana! Ngapain pamit segala!"ucapnya dengan nada ketus

Karena merasa tidak nyaman akhirnya aku langsung pergi.

Belum juga jauh dari tempatku melangkah.

samar-samar aku mendengar pembicaraan Bu Darmi dengan pemilik warung.

" Siapa sich itu Bu? Kok sok kenal sama Saya." ucapnya kepada pemilik warung.

"lho. Bukan kah tetangga Ibu?" jawab Ibu pemilik warung.

"OH. Mungkin yang ngontrak dirumah yang jelek itu kali Bu." jawab Bu Darmi seakan jijik bertetanggaan denganku.

Ada rasa sakit didada ini mendengar Bu Darmi seakan tidak mengenalku.

Aku bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang tanpa terasa menetes butiran bening dari kelopak mataku.

Aku langsung seka air mataku, karena aku tidak ingin jadi pusat perhatian orang lalu lalang di jalan. Sakit, kecewa, marah itu yang aku rasakan. Bagaiamana bisa Bu Darmi bersikap seperti itu? Padahal Dia mengalirkan air dari rumahku. Apakah ini sifat aslinya Bu Darmi? Apakah ini yang di maksud para Ibu-ibu waktu itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status