“Hei, apa kau—tak apa?” tanya Nara dari dalam dekapan Moa.“Aku bersyukur kau baik-baik saja.” Moa melepaskan pelukannya dan menatap Nara. “Aku lega kau bisa membuka kedua matamu lagi,” lanjutnya.Nara menatap masing-masing manik kebiruan yang sudah cukup lama tak ia lihat. Padahal hanya beberapa hari, tapi rasanya ia tertidur begitu lama.“Nona Choi mengatakannya padaku. Tentangmu yang saat itu datang dan memilih bertarung sendirian, juga menolak bantuan Yooshin. Lalu kau yang datang menemuiku di rumah selama aku tak sadarkan diri, juga—” Nara menjeda kalimatnya. Gadis itu menahan napas sejenak, sebelum akhirnya ia tersenyum tipis dan melanjutkan, “Dan juga kau kembali menyelamatkan aku di saat-saat aku hampir sekarat kemarin.”“Kau sama sekali tidak terlambat, jadi jangan minta maaf. Aku bisa seperti ini sekarang adalah berkat dirimu. Terima kasih.” Nara kembali berujar. Usai mengatakannya, kini giliran gadis itu yang menarik tubuh lelaki di hadapannya ke dalam sebuah dekapan hangat
Di tengah kekhawatirannya, pintu kamar terlihat dibuka sehingga Haewon buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan segera bangkit dari posisinya.“Kenapa kau masih terjaga? Aku pikir kau tidur.” Dengan hati-hati Nara menutup pintunya dan berusaha agar tak membuat suara. Gadis itu terkikih pelan lalu kembali berujar, “Kau pasti menungguku. Aku lama sekali, ya? Maaf—” Kalimatnya terputus begitu ia melihat Haewon yang buru-buru meletakkan jari telunjuk di atas permukaan bibir, memberinya kode agar tidak terlalu mengeraskan suara.“A-ada apa? Apa seseorang mencurigaimu?” tanya Nara dengan pelan, seraya sesekali menatap ke arah pintu utama kamarnya.Kemudian seraya mendekati Nara, Haewon segera berujar, “Tuan Hwang kembali kemari, Nona,” ujarnya setengah berbisik.Hal itu membuat Nara refleks membulatkan kedua matanya. “Ka-kau bilang apa barusan? Yooshin kembali ke sini lagi?” ia berujar, lalu pandangannya kembali mengarah ke pintu yang menutup rapat. “Jadi maksudmu, tepat di b
“Entahlah, rasanya semalam aku seperti melihat ada noda darah di pakaianmu. Jadi aku hanya memastikannya. Aku pikir perutmu juga terluka oleh sesuatu.”“Pe-perut?”“Apa maksudmu, Yooshin?” Nara memajukan tubuhnya dan menatap Haewon yang mulai pucat.“Aku berpikir mungkin Nona Choi mengalami kesulitan dan terluka. Kau benar-benar tidak tahu? Padahal dia hampir semalaman berada di dalam kamarmu.” Yooshin menatap Haewon yang kini tengah memegangi bagian perutnya.“Tidak, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Mungkin terkena sesuatu yang berwarna merah, tapi Anda tak perlu merasa khawatir karena itu bukanlah darah.” Haewon dengan susah payah mencoba menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Tentu saja di samping itu, selain dirinya, sosok lain kemungkinan saat ini juga tengah merasa tak tenang. Diam-diam Haewon melirik Nara dengan kedua ujung matanya dan ia melihat kalau gadis itu tengah meremas pinggiran pakaian yang sedang ia kenakan tanpa Yooshin sadari.“Tapi syukurlah jika kau tidak apa-apa
Haewon menyuruh Nara agar duduk di sebuah bangku yang berada tidak jauh dari sebuah lapangan kecil yang ada di desa, tempat anak-anak menghabiskan waktu mereka untuk bermain bersama. Seperti saat ini, beberapa anak terlihat berada di sana dan menikmati salju pertama yang sedang turun.“Mereka terlihat senang sekali,” ujar Haewon beserta seulas senyuman yang tercetak di bibirnya. “Aku senang orang-orang di desa baik-baik saja selama aku sakit kemarin. Mereka tidak tahu kejadiannya, kan?” tanya Nara.“Aku dan juga beberapa anak buah Tuan Kim sudah memastikan kalau tidak ada satu pun yang tahu tentang kejadian itu, karena memang seperti yang sudah dikatakan, kalau mereka hanya tahu kau dan aku sedang pergi ke luar desa selama beberapa hari. Hanya orang-orang di rumahmu, tabib, ayahku dan beberapa anak buahnya yang tahu. Juga kepala desa dan anak buahnya.” Yooshin menjelaskan.“Apa mereka juga tahu mengenai Moa yang turut andil dalam peristiwa kemarin?” Nara kembali bertanya.“Tidak.”“J
Haewon keluar dari kamar Nara usai mengantarkan the dan juga kue. Begitu tiba di rumah, beberapa orang datang dengan tujuan ingin menjenguk Nara. Dua orang di antaranya adalah biksu, sementara tiga lainnya adalah orang-orang yang bertugas mengawal mereka, dikarenakan perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke Desa Yangdong.“Kami turut sedih begitu mendengar berita kalau Anda menjadi korban utama dari serangan mahluk itu. Warga desa kami juga semula tidak mengira kalau mahluk itu akan kembali bebas dan lantas langsung mencari keributan sampai ke sini.” Salah seorang biksu berujar.“Terima kasih sebelumnya karena kalian berdua sampai rela datang jauh-jauh ke sini hanya demi menjengukku. Aku sendiri justru malah tidak tahu kalau dahulunya ibuku juga pernah menyegel mahluk seperti itu yang ternyata masih hidup hingga saat ini. Namun seluruh penduduk di desa ini aman,” ujar Nara.“Salah satu penjaga kuil sempat berpapasan dengan Tuan Kim dan beliau pun menceritakan semuanya. Kami sangat k
“Sedang apa kau di sini?”Nara menyimpan peralatan memanahnya di atas sebuah meja yang ada di sebelah tempat tidur, sebelum akhirnya berjalan menghampiri sosok yang duduk membelakanginya dan lebih memilih menatap langit di luar sana bahkan ketika ia tahu kalau si pemilik kamar sudah kembali.“Kau sudah merasa baikan?” tanya Nara. Tepat di bawah sinar purnama itu, satu demi satu helai rambut lelaki di depan sana perlahan berubah memutih, hingga seluruhnya.“Nekat sekali pergi ke sini di saat kondisimu sedang tidak begitu baik.” Nara kembali berujar, seolah tak masalah beberapa kalimat awalnya tadi diabaikan—dengan sengaja.“Aku bosan.”Nara sampai tertegun di tempatnya, bahkan gadis itu sampai menahan napas selama beberapa detik. Namun setelahnya sebuah gelak tawa justru keluar, membuat lelaki yang duduk di sebelahnya menoleh dengan dengan tatapan, ‘Apa yang sedang kau tertawakan?’“Setelah sekian lama kita kenal, baru kali ini aku benar-benar mendengar kalimat seperti keluar dari mulu
Satu buah anak panah dengan cepat melesat dan menembus permukaan kulit kayu yang berada sekitar sepuluh meter di depan sana. Diiringi sebuah tepukan tangan yang terdengar antusias setelahnya, membuat Nara menolehkan ke sebelah saat Hyewon memuji dirinya.“Bahkan dengan kondisi Nona yang masih belum sepenuhnya pulih pun, Nona masih bisa memanah dengan hebat,” puji Haewon.Nara terkikih pelan mendengarnya, “Menurutmu begitu? Padahal tanganku agak gemetar tadi,” ujarnya. “Oh, iya? Apa Yooshin belum juga sampai?” ia menatap ke sekitar dan tak kunjung melihat Yooshin. Lelaki itu tadi sempat dipanggil oleh kakeknya, hingga membuat Nara dan Haewon pergi terlebih dulu. Namun hingga saat ini lelaki itu belum juga terlihat batang hidungnya.“Apa mungkin kakek menyuruhnya pergi lagi?” Nara bergumam.“Kurasa tidak, Nona. Mengingat Anda yang saat ini belum sepenuhnya pulih dan juga beberapa kali Anda mengalami kejadian yang kurang menyenangkan terutama saat Tuan Hwang tidak ada, sepertinya Tuan Ki
Musim dingin kali ini benar-benar dimanfaatkan oleh Nara dengan sebaik mungkin, karena ia yang tak ingin kehilangan momen berharga bersama dengan orang-orang terdekatnya. Salju-salju sudah mulai menghilang dan hanya tersisa sebagian kecil. Bunga-bunga dan pohon sudah mulai mempersiapkan diri menyambut angin musim baru.Keadaan desa juga baik-baik saja, membuat Nara bersyukur. Ia, Yooshin dan juga Haewon sempat berhenti di tengah perjalanan pulang ke rumah.“Bintang-bintang banyak bermunculan malam ini, Nona,” ujar Haewon.“Kau benar.” Nara tersenyum tipis, akan tetapi hal itu tak berlangsung lama begitu ia kembali mengingat apa yang harus ia lakukan setelah ini. Mungkin, momen seperti ini akan menjadi salah satu yang ia rindukan.Diam-diam, Nara menatap Yooshin yang berdiri di sebelahnya. Wajah itu terlihat menanggung tanggung jawab yang teramat besar, akan tetapi tak pernah sekali pun Nara mendengar lelaki itu mengeluh padanya. Malahan justru Nara yang lebih sering meminta maaf padan