Pagi ini mendung, seperti biasa. Bulan ini sudah memasuki musim penghujan. Luna suka musim hujan.
Romantis, dingin dan tidak ada matahari.
Hey, dia bukan membenci matahari!Hanya kurang suka saja.Panas.
Mendengar air hujan yang berjatuhan itu sangat menenangkan.
Luna Odet Sagara, saat ini berusia 19 tahun. Tepat hari ini.
Ya, hari ini hari kelahirannya. Tapi tidak ada perayaan istimewa seperti orang lain.
Ia tidak pernah merayakannya.Ia seorang yatim piatu. Kata ibu pengasuhnya di panti, ia ditemukan mereka didepan pintu panti.
Hanya sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk bulan sabit dan batu permata. Dan sebuah surat yang memberitahukan kapan ia lahir, berat badan dan nama lengkapnya.Ibu panti tidak mengganti namanya, ia tetap memakai nama yang tertulis di surat. Kemungkinan, orangtuanya nanti akan menjemputnya bila saatnya tiba. Itulah yang dipikirkan oleh ibu panti. Namun sampai saat sekarang ia sudah 19 tahun hidup, belum pernah ada yang menjemputnya dan mengaku sebagai orangtuanya.
Dulu Luna sangat berharap orangtuanya datang menjemput, namun harapan itu kandas seiring dengan waktu. Saat usianya 15 tahun, ia sudah mengubur harapan itu jauh. Luna mulai berhenti berharap akan kedatangan mereka.
Toh ia juga sudah bahagia dengan keluarganya di Panti.
Itu yang ia pikirkan.
Saat ini, ia sedang bersiap-siap untuk bekerja di kedai kopi. Sejak setahun lalu Luna sudah mulai bekerja disini. Ia sudah tidak tinggal di panti.
Sebenarnya, Ibu panti tidak keberatan jika ia tetap tinggal disana. Hanya saja peraturan panti, anak yang sudah berusia 17 tahun diharuskan tinggal terpisah. Karena dianggap sudah dewasa.
Dan ia memilih menyewa sebuah kamar kost yang terdapat kamar mandi didalam. Sepetak kecil. Tidak apa, yang penting nyaman dan murah. Untuk memenuhi kebutuhannya, ia mengandalkan pekerjaan di kedai kopi ini.
Kebetulan bosnya baik hati."Luna, kamu shift pagi hari ini ya?" Tanya Devi, rekan kerja di kedai kopi tersebut.
"Iya," Luna menaruh tasnya diloker dan mengambil apron hitamnya.
Luna bekerja sebagai pelayan di kedai kopi. Saat ini ia sudah disibukkan oleh banyaknya orang yang datang ke kedai ini. Kedai ini tepat berada di kelilingi gedung perkantoran. Yang datang kesini pun rata-rata adalah para pekerja dari sekitaran gedung ini.
"Hai Luna!" Sapa seorang pria tampan dengan setelan kemejanya.
"Halo Mas Andre. Pesan yang biasa?" Tanya Luna dengan penuh senyum ramah nan manis.
Pria tersebut mengangguk masih dengan senyumannya.
Setelah ia membayar pesanannya, ia duduk di kursi.Lalu namanya dipanggil oleh Luna dan ia segera menghampiri Luna untuk mengambil kopinya.
"Jam kerja kamu selesai kapan, Na?" Tanya Andre.
"Jam 5 sore Mas. Kenapa?" Luna.
"Nanti pulang bareng sama aku ya?" Andre.
"Repot ah Mas. Luna biasa pulang sendiri kok."
"Ya sudah, pokoknya nanti tunggu aku ya kalau aku belum datang. Kita pulang bareng. Aku enggak terima bantahan. See you Luna," Andre mengambil kopinya dan bergegas meninggalkan kedai kopi tersebut. Luna hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Andre.
"Udah sih, terima aja ajakannya Mas Andre. Dia itu direktur loh. Bukan orang sembarang," Devi menyenggol lengan Luna.
"Bukan seperti itu," Luna.
"Dia udah kasih kode ke kamu loh, kalau dia suka sama kamu Luna," Devi.
"Aku belum mau menjalin hubungan. Aku mau serius bekerja dulu, buat mencukupi kebutuhanku dan juga panti."
"Kamu tuh ya! Sekali-kali nikmati hidup lah. Manusia itu butuh pasangan. Siapa tahu dia juga bisa menyokong biaya hidup kamu dan panti," Devi masih tidak mau kalah.
"Aku belum tertarik kesitu Devi. Udah ah! Ayo kerja, itu pelanggan datang lagi," Luna meneruskan pekerjaannya dan Devi hanya mendengus kesal melihat sikap Luna.
Ia kasihan melihat Luna banting tulang untuk kebutuhannya dan juga membantu biaya kehidupan di panti. Sebenarnya Luna tidak wajib membantu panti, hanya saja, gadis itu merasa sangat berhutang Budi pada Bunda Ria, ibu panti yang mengurusnya sekaligus penanggung jawab panti.
Jadi, setiap bulan pasti Luna memberikan sebagian gajinya untuk panti.
Pukul 16.15 p.m
"Luna, dipanggil Pak Raka. Sekarang ya," Dion, pegawai lainnya memberitahu Luna.
Luna mengangguk dan segera menuju lantai atas, ruangan Pak Raka. Bos dan pemilik cafe ini.
Luna mengetuk pintu ruangan bosnya dan terdengar dari dalam suara Pak Raka yang menyuruhnya masuk.
"Ada apa Pak memanggil saya?" Luna.
"Panggil biasa saja Luna, kita hanya berdua. Duduklah dulu," Raka.
"Baik Kak."
"Rani hari ini tidak bisa masuk shift sore. Kamu bisa menggantikan dia?" Raka mulai bertanya saat Luna sudah duduk.
"Bisa Kak."
"Kamu yakin? Besok kamu kan masih shift pagi."
"Yakin Kak. Lagipula kalau saya bisa double shift hari ini, kan lumayan biar bisa secepatnya bayar kasbon di Kakak. Hehehe..." Luna nyengir dengan polosnya.
"Masalah kasbon saya enggak masalah Luna. Saya takutnya kamu terlalu lelah. Jangan abai sama kesehatanmu, kasbon tenang saja," Raka.
"Iya Kak, makasih perhatiannya. Tapi saya enggak masalah kok kalau double shift hari ini, saya sanggup," Luna masih tersenyum.
"Okay! Kamu istirahat dulu kalau gitu sebelum lanjut," Raka.
"Baik Kak Raka. Saya pamit dulu," Luna beranjak dari kursinya dan segera keluar ruangan Raka.
"Luna!" Teriak seseorang saat Luna sampai dibawah. Ia menoleh kearah suara dan ternyata Mas Andre.
"Mas Andre, sudah pulang ya?" Luna menghampirinya.
"Ayo Na. Kamu sudah selesai kerjanya?" Andre sangat bersemangat mengajak Luna pulang.
"Maaf Mas Andre, hari ini Luna gantiin teman Luna yang sakit. Jadi Luna kerja sampai nanti jam 12 malam," Luna merasa tidak enak pada Andre.
Andre mendengarnya merasa kecewa. Terlihat dari wajahnya, senyumnya langsung hilang.
"Ya ampun, kamu enggak capek?" Andre.
"Enggak Mas. Lagipula ini sudah biasa kok Mas. Maaf ya, Mas Andre jadi repot kesini tapi sayanya yang enggak bisa," Luna sangat merasa bersalah pada Andre.
"It's okay Luna! Lain kali tidak boleh gagal lagi. Kamu hati-hati nanti pulangnya," Andre pamit.
"Mas Andre juga hati-hati," Luna hanya tersenyum melihat kepergian Andre.
Pukul 00.23 a.m
Luna sekarang sedang duduk di halte bus. Ia sedang menunggu taxi lewat. Ponselnya mati akibat kehabisan daya. Jadi ia tak bisa memesan taxi online.
Dari tadi mengapa tidak ada taxi yang lewat. Jalanan sudah sepi sekali, ini sedikit menyeramkan.
Bukan takut hantu, tapi yang Luna takutkan adalah manusia.
Ya, manusia lebih menyeramkan daripada hantu. Tepatnya hati manusia yang tamak.Tiba-tiba ada sebuah mobil Pajero hitam berhenti didepan halte tempat Luna duduk.
Lalu kaca mobilnya dibuka oleh si pengemudi."Nona, maaf bisa beritahu tempat ini dimana?" Pria dibalik kemudi Pajero hitam tersebut bertanya tanpa turun dari mobilnya.
Luna menghampirinya."Alamatnya dimana Mas? Bisa saya lihat?" Luna mendekat kearahnya.
Pria tersebut mengambil sesuatu,lalu ia turun dari mobil. Tanpa aba-aba, pria tersebut membekap mulut Luna dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Luna berontak, namun nihil.
Pria tersebut dengan cepat memasukkan tubuh Luna di jok belakang, dibantu oleh temannya yang ada didalam. Kaca mobil tersebut sangat gelap, sehingga Luna mengira hanya pria tadi sendirian.
Masih setengah sadar, Luna mendengar percakapan mereka."Kita dapat tangkapan bagus malam ini. Bos pasti suka," pria tersebut seraya tertawa penuh kemenangan.
Selanjutnya entah apa yang akan terjadi pada diri Luna. Luna hanya bisa berdoa sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
"Cepat dimakan!" Ucap wanita dengan pakaian seksi. Ia melempar bungkusan nasi itu kearah Luna.Lalu wanita itu keluar kembali dan mengunci pintu tersebut dari luar.Saat ini Luna berada disebuah ruangan kecil, tanpa jendela. Jalan keluar masuk hanya satu, yaitu pintu tadi yang dikunci oleh wanita seksi itu.Luna mengambil bungkusan nasi tersebut, dengan lahap ia memakannya.Walau bagaimanapun ia tetap merasa lapar. Sejak kemarin ia memang belum sempat makan karena kesibukan kerjanya di cafe.Setelah selesai, ia hanya mencuci tangannya dengan air yang ada di botol yang diberikan oleh orang-orang tadi.Entah kenapa, Luna harus mengalami ini. Nasibnya sial sekali.Pintu terbuka kembali, kini sosok pria tua dengan setelan jas lengkap masuk. Ia pegang pipi Luna dengan kencang.
Di tempat lain...."Vin, siapkan mobil sekarang juga. Aku mau ke hotel The Empress," perintah Abimana pada Vino, asisten pribadinya.Vino mengangguk dan segera mengeluarkan mobil dari garasi. Ia mengeluarkan Mercedes Benz kesayangan bos nya.Lalu Abimana terlihat keluar dari pintu depan mansion-nya dengan menggunakan tuxedo hitamnya. Sangat elegan, berkelas.Ya, Abimana memiliki aura berkuasa yang tidak bisa diabaikan. Tubuhnya yang tinggi, tegap, hidung mancung dengan wajah penuh dengan jambangnya, semakin terlihat manly. Kaum hawa tidak ada yang bisa menolak pesonanya.Vino segera membukakan pintu penumpang dibelakang untuk Abimana duduk. Lalu mereka pun segera menuju tujuan mereka malam ini. Abimana duduk tenang dibelakang sibuk dengan Ipad-nya.Akhirnya mereka sampai di lobby
Abimana segera menggendong gadis tersebut dan menuju kamar dilantai dua yang sudah disiapkan oleh pelayan.Gadis itu dibaringkan diranjang dengan perlahan. Abimana menatap bibir ranum gadisnya, sangat menggoda.Abimana melepas dasi kupu-kupunya dengan kasar. Ia tak tahan melihat tubuh polos gadis didepannya. Entah namanya siapa, namun wajahnya memang sangat cantik. Apalagi ketika ia tertidur seperti bayi sekarang ini.Sangat menggemaskan.Abimana mengecup bibir manis itu sekilas. Ia harus menahannya sampai besok. Ia ingin meniduri gadis ini saat ia sadar. Agar ia bisa mendengarkan gadis ini mendesah seraya menyebut namanya.Abimana menyeringai , lalu keluar dari kamar itu.Ia memanggil kembali pelayan."Maya, gantikan pakaian gadis itu dan sekalian tubuhnya dilap saja dengan air hangat," perintah Abimana.Maya, hanya mengangguk dan menunduk hormat. Den
Pukul 01.15 a.mLuna merasakan tubuhnya berat, ia melenguh. Namun ia tetap merasa ada yang aneh ditubuhnya, ia sentuh bagian pinggangnya namun ada tangan kekar berada diatasnya. Ia langsung membuka matanya dan berbalik.Ternyata Abimana.Pria itu, kenapa bisa masuk kesini?Bukankah pintunya sudah ia kunci?"Tidurmu nyenyak sekali, Luna," Abimana memutar tubuhnya menatap langit-langit kamar."Kau__kau mau apa disini?" Tanya Luna terbata. Ia sudah duduk diranjang dengan sedikit menjauh dari Abimana."Mau apa lagi? Tentu saja, aku mau kamu Luna. Malam ini," Abimana bangun dan melepas kancing kemejanya.Luna sudah bergetar takut. Dia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi, namun jangan secepat ini. Ia belum siap."Jangan! A__aku belum siap!" Luna beranjak dari ranjangnya dan akan menuju pintu.
Pukul 10.00 a.mLuna mengerjap-ngerjapkan matanya yang terkena sorot sinar matahari dari jendela kamarnya yang sudah dibuka tirainya.Tubuhnya masih telanjang, hanya berbalut selimut tebal hingga batas dadanya. Ia susah bergerak.Pergelangan tangannya memerah akibat ikatan dari ikat pinggang Abimana.Terlebih intinya sangat perih. Rasanya susah sekali ingin berjalan.Lalu pintu kamar terbuka, muncullah Maya. Maya melihat kamar Luna sangat berantakan. Piyama tidur Luna yang robek teronggok dilantai beserta dalamannya. Ada kemeja Tuan Abimana juga yang berserakan di lantai. Seperti sehabis bertempur hebat.Maya segera merapikan pakaian yang berserakan itu. Ia masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia melihat Luna diranjang tengah duduk bersandar pada kepala ranjang, sedang menatap kearah luar jendela. Tampilannya sangat berantakan. Rambut yang acak-acakan. Waj
Sudah tiga hari ini Abimana tidak pulang ke mansion. Ia tidur di apartemennya. Ia menghindari Luna untuk sementara waktu. Sejujurnya, ia merindukan gadis itu. Tidak! Bukan rindu, melainkan merasa bosan. Ia merasakan sepi, tidak ada 'mainan' untuk mengurangi kepenatannya.Biasanya ia akan mendengar makian dari mulut gadis itu dengan sorot mata tajam yang menantang.Namun sejak melihat gadis itu bertekad untuk mengakhiri hidupnya, hati Abimana seperti tergelitik. Ada sesuatu yang mengganggu, namun ia tidak tahu apa. Ia benci melihat Luna dengan berani melukai tangannya. Itu menyentil ego seorang Abimana.Abimana tersinggung. Bahkan, pelacur saja tidak keberatan ia perlakukan seperti itu.Abimana menenggak kembali cairan alkoholnya, selama disini ia hanya ditemani Vodka, Vino dan bodyguardnya. Selesai bekerja, biasanya ia akan mampir ke club. Menghabiskan waktu, menikmati musik,
"Cepat makan sarapan mu!" Abimana membentak kembali Luna.Saat ini mereka sudah duduk berhadapan diruang makan."Aku tidak lapar!" Luna membuang wajahnya, melihat kearah lain dengan beraninya.Abimana berhenti mengunyah rotinya. Ia melempar roti milik Luna kelantai."Mayaaaa!" Abimana berteriak keras memanggil Maya.Maya tergopoh-gopoh menghadap tuannya. Ia tahu, pagi ini sepertinya suasana hati tuannya sedang tidak baik."I__iya Tuan. Ada apa?" Maya menunduk takut."Makan roti itu!"Maya mendongak menatap Abimana tak percaya. Kesalahan apa yang ia buat, sehingga ia dipaksa memakan roti berserakan dilantai?"Tu__tuan?" Maya tidak yakin.Luna sudah melotot kearah Abimana. Sedangkan iblis didepannya hanya tersenyum jahat."Kau tuli?! Makan cepat! Habiskan!" Abimana melotot kearah Maya.Maya gugup dan takut, ia berjongkok mengambil roti tersebut."Jangan Maya!" Luna bangun dari duduknya.
"Luna!" Suara penuh penekanan menggelegar diruang tengah.Dokter Syam sangat terkejut mendengarnya. Sedangkan Luna?Wow, Luna sampai tersedak dibuatnya. Ia tengah meminum teh hangatnya.Luna segera menepuk-nepuk dadanya yang agak sakit karena tersedak air teh.Dokter Syam yang melihat itu segera mengambil tissue dan mengelap tangan dan paha Luna yang terkena air teh.Abimana melihat gerakan Syam, segera melototkan matanya dengan tajam mengarah pada Syam dan Luna. Ia mendekat."Sedang apa kalian, hah?!" Abimana memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya, ia masih berdiri melihat kearah mereka berdua."Kami hanya berbincang saja Bima, ada apa denganmu?" Dokter Syam masih sibuk mengelap paha Luna yang basah, ia belum melihat kearah Abimana."Singkirkan tanganmu, Syam!" Desis Abimana