Aruni menghela napas panjang setelah Dimas pergi. Mengalihkan seluruh atensi pada suaminya dan Andrea. Danu sudah berjalan mendekati gadis yang sebenarnya adalah nona muda mereka. Gadis malang yang sudah tinggal bersama mereka di desa ini lebih dari tiga tahun lalu. Gadis malang yang terpaksa tinggal di desa ini karena keegoisan dan keserakahan beberapa orang. Netranya terus mengamati dua orang yang berdiri menghadap jendela itu. Tidak berniat untuk mendekat ataupun pergi. Memilih menjadi pendengar dengan duduk di tempat yang tadi diduduki Dimas.
Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan keduanya. Dibandingkan dengan dirinya dan Ratih. Danu dan Galang yang lebih dekat dengan Andrea. Mengingat Danu dan Galang-lah yang tetap bekerja pada keluarga Chandrawijaya dan mengikuti keluarga majikan mereka itu pindah ke Jepang lima belas tahun yang lalu, sedangkan ia dan Ratih memilih kembali ke desa mereka bersama anak-anak.
Awalnya ia dan Ratih mengira semua baik-
"Kau sudah mendengarnya sendiri bukan? Andrea teguh dengan keputusannya untuk menikahimu. Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, terlebih Andrea," tutur Aruni sembari menatap lekat ke dalam mata Dimas. Awalnya ia ingin meninggalkan suaminya dan Andrea bicara berdua, tapi saat hendak pergi dari ruang keluarga, ia mendapati Dimas masih berdiri di lorong yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niat untuk pergi. Memilih tetap tinggal dan mendengar pembicaraan suaminya dengan Andrea.Dimas yang sedari tadi memperhatikan Andrea dan Danu, mengalihkan pandangannya ke arah Aruni. Membalas tatapan wanita paruh baya di hadapannya. Ia akui ia sempat ragu akan keputusannya, tapi setelah mendengar pembicaraan antara Danu dan Andrea membuatnya lebih yakin. Jika Andrea bisa seyakin itu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihannya di masa mendatang, ia pun bisa. Ia tidak boleh goyah lagi, terlebih keputusannya ini menyangkut hidup seseorang.
"Kau sudah siap?"Andrea sempat tertegun sebelum mengangguk. Danu yang bertanya hanya mampu memberikan senyumnya melihat reaksi Andrea. Sekalipun Andrea mengatakan baik-baik saja, tapi ia yakin itu hanya di bibir saja. Jauh dalam hatinya, gadis yang sudah seperti anaknya ini pasti merasa sedih. Siapa pun akan merasakannya saat harus menikah tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang mendampingi, terlebih untuk Andrea yang seorang gadis.Danu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Andrea. Keduanya keluar dari ruang tunggu, berjalan perlahan menuju ruangan tempat pernikahan akan dilaksanakan. "Kau cantik, Andrea. Sangat! Andai tuan dan nyonya besar masih ada, mereka pasti akan bahagia melihatmu menikah," ujar Danu pelan diiringi dengan hela napas. "Dan seharusnya bukan paman yang berada di sampingmu kini, tapi tuan Keenan."Andrea menghentikan langkahnya mendengar perkataan Danu. Tidak dipungkiri ada rasa sedi
"Kalian beristirahatlah! Pasti lelah setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan.""Benar yang dikatakan oleh pamanmu. Kalian istirahat saja, sisanya biar kami yang mengurusnya," imbuh Ratih menimpali perkataan suaminya.Dimas dan Andrea saling berpandangan sebelum mengiyakan perkataan paman dan bibi mereka. Tidak dipungkiri, mereka lelah setelah seharian mengikuti prosesi pernikahan. Terlebih mereka juga menerima kehadiran warga desa yang datang untuk memberi selamat dan doa untuk mereka. Keduanya beranjak menuju kamar masing-masing tapi baru beberapa langkah, celetukan Ratih menghentikan niat mereka."Kalian sudah menikah, apa kalian sudah lupa?"Baik Dimas dan Andrea berbalik dan menoleh. Keduanya tersenyum malu sembari menggeleng. Tentu saja mereka tidak lupa.Ratih bersedekap sembari menatap geli ke arah pasangan pengantin baru di depannya. Senyumnya mengembang melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan oleh Dimas dan Andrea. "Lantas? Jika begitu kenapa kalian menuju ke kamar y
"Tidak Ma. Aku tidak ingin dijodohkan. Aku akan menikah dengan orang yang aku cintai." Pria tampan bermata serupa mata elang itu menghela napas lelah. "Aku pergi. Aku lelah dengan pembicaraan ini," lanjutnya lalu beranjak pergi meninggalkan sang ibu."Mama belum selesai bicara. Dimas kembali!" teriak Sarah tapi Dimas tidak mengacuhkannya. Ia cukup lelah dengan sikap ibunya yang selalu memaksanya untuk menikah dengan gadis yang menurut ibunya baik. Bukan berarti pilihan ibunya buruk atau tidak sesuai dengan keinginannya. Hanya saja sudah beberapa kali menuruti ibunya untuk mengenal dan bertemu dengan mereka, tapi tidak satu pun di antara mereka yang bisa membuat hatinya bergetar. Tidak satu pun di antara mereka yang membuatnya merasa nyaman.Sikap yang mereka tunjukkan
"Terima kasih, Rea. Makananmu ini yang terbaik," puji Yudi setelah menikmati makanan yang dihidangkan oleh Andrea. Perkataan pria paruh baya itu diangguki oleh semua yang ada di halaman rumah Andrea yang cukup luas. Warga desa memang acap kali mengadakan makan bersama setelah mereka selesai memanen hasil pertanian yang mereka tanam. Kali ini mereka memilih halaman rumah Andrea karena gadis itu yang ingin menyajikan makanan utamanya dibantu beberapa warga. Ya setidaknya lebih meringankan beban gadis malang itu. Lagi pula di antara rumah mereka, rumah Andrea yang paling luas."Kembali kasih, Paman. Aku senang jika paman menyukai makanan yang aku sajikan," balas Andrea sambil mengulas senyum pada Yudi dan yang lainnya ada di sana. Tangannya masih sibuk menyajikan beberapa makanan untuk warga desa. Bibirnya tidak henti mengulas senyum mendengar jika makanan yang
"Galang! Bantu aku!" seru Danu sambil berusaha berdiri dengan tegak sambil memapah seseorang di bahunya. Tadi ia terjatuh dan terguling saat mendorong mobil yang ditumpanginya untuk kembali ke badan jalan karena mobil tersebut terperosok ke sisi jalan yang miring dan berlumpur. Tadi, saat akan berdiri, matanya menangkap seseorang pingsan tidak jauh dari tempatnya dengan luka yang cukup membuatnya bergidik ngeri saking banyaknya luka yang orang ini derita."Siapa yang kau bawa?" pekik Galang. Ia kembali ke bawah untuk membantu temannya ini karena tadi dari arah kaca mobil ia melihat Danu terjatuh saat mendorong mobil mereka yang terjebak di lumpur. Namun, siapa sangka saat ia kembali setelah berhasil membawa mobilnya ke badan jalan, ia menemukan Danu sudah berjalan pelan sambil memapah seorang pria muda yang terluka cukup parah.
"Ck! Dimas! Ke mana kau? Kenapa ponselmu mati?"Revan berdecak dan menghela napasnya. Sungguh ia lelah, tapi kekhawatirannya pada Dimas tidak membuatnya berhenti untuk menghubungi sahabatnya itu. Seharusnya Dimas sudah ada di Jakarta beberapa jam yang lalu, tapi kenyataannya, sahabatnya itu tak kunjung sampai dan tentu saja hal itu membuatnya khawatir. Terlebih orang tua Dimas terus menghubunginya untuk memastikan Dimas bersamanya atau tidak.Ia yakin Dimas sudah di jalan karena tidak sampai satu jam setelah ia bicara dengan Dimas siang tadi, sahabatnya itu menghubunginya. Mengatakan jika akan kembali karena tuntutan sang ibu. Niat Dimas menenangkan diri dari kehidupannya di Jakarta harus berakhir lebih cepat dan jika dihitung-hitung Dimas seharusnya sudah sampai Jakarta, tapi hingga sampai hari menjelang malam Dimas belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sekadar menghubunginya pun tidak. Dihub
"Sekarang katakan! Di mana Dimas sekarang? Dia mengatakan akan kembali, tapi sudah empat hari berlalu dia belum juga pulang. Tante tahu, Dimas sudah kembali ke Jakarta. Biasanya jika tidak pulang, Dimas akan berada di apartemennya tapi kali ini Dimas tidak ada di sana. Sebenarnya di mana Dimas?Tante yakin kau tahu di mana Dimas. Kalian pasti bersekongkol."Revan memutar bola matanya malas sebelum memandang sinis ke arah ibu sahabatnya. "Bukahkah memang itu gunanya sahabat. Terlebih Dimas sudah seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku tidak membantunya jika dia minta tolong kepadaku?" balasnya dengan sinis.Ibu dari Dimas ini benar-benar memancing emosinya. Jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih dengan ibu dari sahabatnya, ia mungkin sudah meninggikan suaranya untuk membalas perkataan Sarah. Namun, ia masih punya sopan santun dan menghormati wanita yang sedang memandang angkuh ke arahn