"Mmh, yah tentu. Aku akan fokus pada rapat. Kenapa?"
"Baguslah klo begitu. Berikan HP mu, biar aku yang bawa"
"Buat apa?" katanya menarik raut tenangnya mundur seketika, "Bagaimana klo aku butuh sewaktu-waktu? Untuk menghitung atau mencatat mungkin?" tambahnya mencoba bersikap wajar seperti tak terganggu. Tapi sangat terganggu.
Aku mengeluarkan ponselku dari saku.
"Bawa punyaku. Tukeran" aku mencoba menghentikan elakannya. Itu membuat dia meragu menyerahkan ponselnya padaku. Seperti permintaan simpelku ini juga merupakan hal yang sulit baginya. Seperti biasanya, dia selalu memandang berat akan permintaan-permintaanku. Namun dia juga tak mampu mengelak, karena takut aku mencurigainya.
"Jangan macam-macam, ok
"...Cinta bisa membuat kita patah hati dengan banyak rupa... "~ Ara ~"Sya..." aku kirim pesan itu ke Tasya"Hei say..." balas Tasya, "What is up?" lanjutnya, "Kalian bertengkar lagi?""Ya begitulah""Apa ini berhubungan dengan statusnya? Do you love? Love me? love me not?""Sepertinya begitu""Kenapa lagi sekarang?" tanya Tasya,"Just don't bottle up your feeling, Ara. Kau bisa cerita apapun padaku, kau tahu itukan? I'm here, bebby" dia mencoba memberikan ketenangan padaku, "Want me to call you?" lanjutnya membalas."Please!"Tidak lama kemudian kita sudah tersambung dalam panggilan."Jadi?""Aru ngeselin juga NYEBELIN!""OKAY. Terus?""Terus aku marah, dia lalu pergi. Sudah berjam-jam dan belum juga pulang""Kau menyesal karena telah memarahinya atau sudah merasa merindukannnya?""Aku hanya..., jadi kepiki
“...Kau nikahi dulu aku, baru boleh tidur bersamaku...” ~ ARA ~ Aku tak bisa tidur meski sudah membolak-balik posisi tidurku. Pikiran dan batinku masih tidak tenang memikirkan Aru. Dia belum juga pulang, padahal waktu sudah semakin larut. Dia biasanya mengirimiku pesan singkat jika tidak akan pulang, hanya untuk sebatas informasi agar aku tidak cemas mencarinya. “Jangan ganggu. Aku ditempat Zein” Atau, “Aku tak akan pulang” atau, “Aku pulang besok. Tak usah menunggu” dan sebagainya. Tapi kali ini tidak. Dia tidak mengirimiiku satu pesanpun, atau mungkin belum. Tapi ini sudah terlalu larut. Aku memberanikan diri menghubungi Zein, sebatas text, aku tidak berani jika harus bicara lewat telepon. “Hai, Zein. Maaf aku menghubungimu malam-malam begini” kirim. Semoga dia belum tidur. “?” Zein hanya membalasku sesingkatkat itu.
“...Aku percaya hal yang biasapun adalah kejutan dari bagian takdir yang sudah digariskan...”~ ARU ~Aku tidak tahu apa yang membuatku seberani ini untuk menenggak minuman yang selama ini ku jauhi, hingga membuaku tak berdaya seperti ini. Aku memang tidak suka, baunya saja sudah membuat pusing kepala, sedangkan rasanya menyakiti tenggorokan, membakarnya dengan menyakitkan. Heran, kenapa juga banyak yang mencari dan membelinya, kurasa itu karena mereka butuh teman. Teman yang tak bisa memprotesmu, tapi bisa membuatmu lupa pada beban berat yang tengah kau hadapi. Tapi apa itu sepadan?Mengapa aku juga harus merasakan ini? Beban berat ini, sekali lagi? Apa ini hukuman untukku karena dulu pernah berjalan bersama Quin tanpa sepengetahuan Ara?Jika benar begitu, tapi mengapa juga balasannya harus bertubi-tubi seperti ini? Menyiksa tanpa akhir.Aku jadi terin
“...Kita tahu tersesat, namun jalan keluar untuk menyudahi ini belum terlihat ada...”~ ARA ~Aku terbangun karena mendengar suara benda terjatuh. Dan saat aku keluar itu Aru. Dia tersungkur tak berdaya di lantai dengan beberapa kaleng kosong berserakan.“Kenapa kau bisa begini?” gumamku.“ARRU BANGUN! BANGUN!!”“HAI NYONYA ARU” dia bahkan masih memanggilku begitu.“Kau mengingatkanku pada masa lalu” gerutuku.Aku menyandarkannya di kursi ruang televisi. Aku meraih kaleng yang masih utuh dan membukanya. Tanpa ragu akupun menenggaknya. Setelah itu aku melirik pada manusia disebelahku.Sebegitu terlukanyakah dirimu, hingga berani bertindak begini? Atau apa aku terlalu membuatmu stress hingga kau mencari teman lain untuk mendamaikan danmenyembuhkan lukamu?Aku mas
“...I'm happy with you, we are happy with us...”~ ARA ~ . . . - DALAM INGATAN ARA - Aru membuka pintu belakang untuk menaruh tas bawaannya, dia pindah duduk dibalik kemudi, sementara aku masuk dan duduk disamping kursi kemudi. Kami menarik sabuk pengaman dan mengkaitkannya bersamaan. “Ready Nyonya Aru?“ ujarnya. Aku seketika meliriknya dengan wajah ketidak sukaan ku akan panggilan itu. “Kenapa? Kau tidak suka?” Aru bertanya seraya melajukan mobil ini tanpa menunggu ku menresponnya. "A..hmm" “OH COMEE ON, ARA. It's just for having fun though. Tidak bisakah, hah?” “Is that fun for you? Itu tidak terdengar lucu, Aru. Itu justru terdengar sedikit gila, kau tahu itukan?” “Kenapa begitu? Apa karena itu terdengar tidak nyata bagi kita, begitu?" Aku meninggikan alis. Iya! "Yah, yah, yah aku tahu itu. Tapi
“... Kita tanggung saja semuanya esok hari, bersama ...”~ ARU ~...- DALAM INGATAN ARU -Sejak masih ditempat karaoke tadi, aku memang sudah beberapa kali menguap-nguap karena kantuk, mungkin juga lelah. Tapi sekarang rasanya tak lagi bisa ditahan walaupun aku berusaha keras agar terus terjaga. Tiba-tiba saja mataku memejam dengan sendirinya, dan aku tak lagi bisa melihat jalan walaupun pikiranku masih sadar jika aku sedang mengemudikan mobil ini di jalan raya."ARU... AWASSS!!!"Teriakan itu begitu lantang seperti suara geledek menyambar telingaku.Aku tersadar dan menginjak rem cepat. Untung saja refleksku masih bagus dan tidak salah injak. Suara rem mobil berdecit, dan suara benturan juga terdengar. Kami berdua terhening dalam shock."Kau tida
"... Mudah bagi orang salah paham dengan ucapan yang tak dipahami secara menyeluruh ... " ~ Ara ~ Aku terbangun dengan kepala yang sedikit berat dan Aru tertidur disamping ku tanpa mengenakan bajunya. "Apa yang terjadi semalam?" aku berusaha mengingat apa saja yang telah terjadi semalam. Aku melihat diriku sendiri lalu melihat kearah pending ruangan dan menghela nafas lega. "Tidak terjadi apa-apa dengan kami" Aku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi semalam dengan jelas dan kenapa aku bisa berakhir tertidur di kamar Aru ini. Tapi aku yakin, tak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan. "Apa karena perasaan nostalgia itu lantas aku berujung ditempat ini?" tanyaku monolog, "Ahhh entahlah" Aku segera bangkit dan mengambil bajuku. Perlahan mengendap keluar dari kamar ini. Berharap dengan begitu aku tidak akan membangunkan Aru. Jadi dia tidak tahu
"...Kita berdua terluka justru karena kita saling mencintai... "~ Ara ~Hari ini sepi. Tasya tengah melakukan pemotretan, dia pergi dari tadi pagi dan belum kembali. Mungkin sebentar lagi atau mungkin dia sedang menghabiskan weekend bersama pacarnya. Hanya menyisa aku dan Aru disini, tapi akupun sibuk menatap ponsel karena harus membalas beberapa chat yang masuk."Nonton movie yuk, Ra?" ajak Aru dalam kejenuhan karena kami hanya duduk diam-diam saja sedari tadi."Tentang?""Kamu pengennya apa? Yang sedih, humoris, drama, atau yang romantis?""Kenapa horor tidak masuk dalam kategori?""Aku tidak sedang ingin nonton horor""Bilang aja klo kau takut?!""Nope. Yang romantis aja yah? Atau heroik?""Terserah kamu saja""Oke. Klo begitu yang percintaan saja"Aku mengiyakan.Dipertengahan cerita aku mulai hilang foku