~ Ara ~
Aku terkejut saat Zein mengirimiku pesan jika dia akan berkunjung ketempat ku tapi bukan untuk menemui Aru, melainkan untuk berbicara empat mata denganku. Itu tidak biasanya. Sangat tidak biasanya. Dan yang semakin membuatku bertanya-tanya ialah apa kira-kira topik obrolan yang akan dia bawa diantara kami. Sejak kami tidak lagi saling akrab, rasanya jadi canggung berbicara dengannya.Aku segera membukakan pintu saat bell di rumah ini berbunyi.
"Hai, Ra"
"Hai. Masuklah" aku Mempersilahkan.
Tanpa canggung Zein masuk begitu saja dan memilih tempat duduknya.
"Everything looks same here, yah. Kau dan Aru tidak banyak merubahnya, ternyata"
"Yah, memang begini sejak lama. Anggaplah kami tak punya waktu untuk melakukan perubahan. Kami berdua terlalu sibuk, kurasa"
"Yah,
"... Bukan akulah pemilik hati dan cintanya ... " ~ Aru ~ Udara pagi di Singapura sangat sejuk. Ohh kurasa tidak hanya disini saja, tapi semua udara pagi memang sejuk. Itulah kenapa aku suka bangun pagi, untuk menikmati kesejukan ini atau hanya untuk sekedar melihat kearah langit, mengamati bintang atau bulan yang masih tertinggal dibiru pekat, maupun biru terangnya langit pagi, atau untuk sebetas melihat mentari lahir dengan sinar-sinar cerahnya. Itu saja sudah memberikan ku rasa bahagia dan nyaman. Namun pagi ini berbeda. Aku memilih melewatkan semuanya karena tubuhku merasa butuh istirahat lebih, setelah aku melalui banyak shift malam beberapa hari terakhir ini. Bahkan akupun melewatkan beberapa rutinitas pagiku bersama Ara. Dia juga sepertinya mengerti kondisiku, jadi dia membiarkan ku tidur lebih panjang tanpa membangunkan ku untuk sekedar sarapan bersama, baiknya lagi setiap kali aku t
"... Cinta mendorongku mengenakan banyak riasan topeng diwajah ... "~ Aru ~ "Apa yang Tia pikiran tentang tunangannnya itu? Putriku pasti bercerita padamu tentang itu juga, kan?"Aku tahu pertanyaan itu menrusak perasaanku, tapi tak ada yang bisa ku tunjukkan selain senyum kepalsuan untuk menguatkan rapuhnya hatiku."Selama ini Tia jarang mengeluh tapi, dia juga tak pernah terbuka dengan Tante maupun papanya soal asmara dan hatinya. Memang dia selalu jadi anak penurut, tapi firasat hati seorang Ibu juga tidak bisa diabaikan begitu saja bukan, Ru?"Aku mengangguk lagi."Firasat seorang Ibu memang luar biasa Tante. Itulah kenapa orangtua dan anak selalu punya koneksi, meskipun mereka jauh"Dan itu yang mulai ku khawatirkan juga. Firasat seorang ibu.Kini aku bisa melihat senyum tulus, lembut, juga anggunnya muncul. Bahkan kini Ibu ara menatapku dengan hangat juga t
"... Aku melihat ada gajah bersandar malas di punggung mu ... "~ Ara ~Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Aru. Tapi beberapa minggu belakangan ini dia begitu perhatian. Aku sangat suka sikapnya yang begitu dewasa dan pengertian. Setiap kali aku pulang kerja dan merasa sangat lelah, dia selalu menawarkan diri untuk memijatku, atau sekedar membuatkan minuman hangat untukku, terkadang dia juga memasak untukku. Bukan hal sepesial memang. Tapi itu membuatku dispesialkan.Sama halnya seperti hari ini. Aku baru saja pulang lembur dan dia yang biasanya sedang main game saat aku pulang, kini sudah menungguku dengan senyum manisnya, menyapa dengan lembutnya."Kau pulang? Bagaimana harimu di kantor?""Sama seperti biasanya. Melelahkan"Aru lantas menghampiri ku, mengambil tas dari bahuku, menarikku menuju sofa dan mendudukkan ku disana. Dia juga membantuku melepas kardigan dan kaos kaki yang ku ken
"... Kau berubah pikiran begitu cepat hanya karena seorang ..."~ Aru ~ Aku sampai di Condo bersama Tasya saat Ara sedang menonton acara televisi namun fokusnya tetap ke ponselnya. Wajahnya berseri-seri senang, namun seketika hilang karena tercuri oleh kedatagan kami. "Kalian pulang juga akhirnya. Jadi bagaimana hari ini? Menyenangkan? Ada cerita serukah? Kenapa wajah kalian malah jadi beté gini, sih? Kenapa?" Ara langsung memberondong kami dengan banyak pertanyaan. Setelah melepas sepatuku, aku langsung akan berbaring malas-malasan dipangkuan Ara, tapi tiba-tiba Tasya menyerobotnya lebih dulu. "Kau bisa duduk di kursi lainnya kan?" protesku pada Tasya. "Aku sudah lelah, Aru. Aku malas berdebat denganmu. Aku hanya butuh kenyamanan dari sahabat ku. Kau bisa mengertikan? Lagipula, besok aku sudah harus kembali ke KL, tidak bisakah hari ini dia bersamaku, sebentaaarrr saja?!" "TIDAK BISA
"... Aku tidak bisa jujur karena, kata jujurku akan jadi luka baru ditempat mu ..." ~ Ara ~ Beberapa hari lalu Tasya mengirimiku pesan aneh yang tidak ku pahami maksudnya, dia menyuruh ku agar berhati-hati dengan Aru, sementara aku sendiri tidak merasa ada yang aneh dari Aru, kecuali satu hal saja. Dia hanya memutar satu lagu galau saja sepanjang hari lalu, itu lagu hit ditahun 2000-an. Padahal biasanya dia mendengarkan banyak lagu dalam sehari. Selebihnya dia masih baik-baik saja, dia masih memperhatikan ku sama, walau yah kadang memang ada komunikasi yang slip diantara kita. Tapi kita masih baik-baik saja. Ini hari libur nasional, baik aku maupun Aru sama-sama berada di rumah. Tapi nanti rencananya kami akan keluar bersama. Sejak liburan kami gagal waktu itu. Kami belum sempat lagi kemana-mana. Jadi aku mengusulkan ulang padanya agar dia membawaku pergi berlibur, sejanak memenggal semua urusan sibuk kami ka
"... Kau meninggikan bukan untuk menyanjung melainkan untuk menjatuhkan ... "~ Aru ~"Ra..." aku memanggil namanya tapi kemudian merasa ragu menunjukkan kalimat lanjutannya.Aku hanya ingin semua masalah ini terselesaikan hari ini, tanpa perlu menundanya terus menerus. Tapi aku juga takut semua kalimatku akan membebaninya seperti hari lalu, hingga membuatnya tak sadarkan diri. Jadi aku membuat gerakan peralihan dengan menyuapinya sepotong buah yang ada dihadapanku.Hening. Sepi kembali mengisi diantara kami, bukan karena aku tak punya kalimat untuk dikeluarkan. Bukan!Ada ratusan kalimat yang mengganggu dipikiranku, hanya saja aku tidak bisa mengeluarkan semuanya begitu saja. Mungkin bisa, sangat mudah bagiku mengeluarkannya begitu saja apalagi saat kepalaku dibanjiri dengan begitu banyak pemikiran campur aduk seperti ini.Hanya saja, yang membuat ini semua jadi sulit diutarakan, itu kar
"... Kau bukan orang asing bagiku, Kau juga berharga untukku ... " ~ Ara ~ "Leave him!" "Wha...t? Leave...?" Aku tidak menyangka dia akan memintaku untuk melakukan hal semacam itu. Tentu saja ini tidak semudah itu, Aru. Ini tidak se-simpel seperti ucapan mu itu juga. Bagaimana bisa kau mengatakan dan meminta itu padaku? Aru, aku memang lebih menyukaimu dari pada Arnold untuk saat ini. Tapi bukan berarti aku bisa dengan mudah meninggalkan dia. Itu terlalu berat untuk ku. Itu akan memicu banyak kekacauan dalam keluargaku. Dan aku tidak yakin bisa mengatasinya, jika itu sampai terjadi. Namun, mengatakan semua itu pada Aru juga percuma saja. Dia tak bisa melihat posisi rumitku disini. Dia hanya melihat dirinya, cintanya juga luka-lukanya karenaku. Aku tidak yakin dia akan paham dengan keadaan ku, karena akupun tidak sepenuhny
"... Waktu tidak merubah kalian menjauh, tak juga merubah wajah asyik kalian ... "~ Aru ~Seperti biasanya, Zein berdiri di depan pintu setelah pintunya terbuka, namun tidak segera menyuruhku masuk kedalam rumahnya. Dia menatapku curiga, seperti menduga ada yang tak biasanya darinya."Sepertinya ada yang diusir dari rumah. Kalian bertengkar lagi, ya?" ujarnya saat melirik tangan kananku yang menjinjing tas lebih besar dari biasanya."Tidak""Kenapa bajumu basah? Hujan huh, disuatu tempat?" aku ikut melirik bajuku.Benar. Karena buru-buru mengemas baju-bajuku, aku sampai lupa belum mengganti bajuku yang basah karena disiram Ara tadi."Kenapa pipimu juga merah sebelah? Tidak mungkinkan itu karena blush on?" tanyanya menyindir juga ingin tahu."Hufft, tidak bisakah kau membiarkan teman mu ini masuk lebih dulu? Baru interogasinya belakangan"Zein terkekeh sej