Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi.
“Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi.Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah.Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi.Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang di kamar, bersiap mau pergi ke kelurahan. Tepat Bu Lurah keluar kamar akan ke dapur. Bu Lurah kaget melihat Mak Imah menangis. Pak Lurah yang mendengar itu pun keluar kamar."Aduh ... Pak, Bu ... Lintang dan Wulan ndak ada ...." Mak Imah tersedu-sedu."Ndak ada? Ndak ada gimana?" Pak Lurah kaget."Kamarnya kosong. Tasnya, bajunya …." gugup Mak Imah menjawab, di tengah tangisnya, mengatakan apa yang dia lihat di dalam kamar Lintang dan Wulan.Pak Lurah dan Bu Lurah segera ke kamar Lintang dan Wulan. Benar! Kosong. Ada sebuah amplop di meja. Bu Lurah mengambilnya, dia berikan pada suaminya. Hatinya langsung galau. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mereka pergi diam-diam? Pak Lurah membuka amplop itu dan mulai membaca surat dari Lintang. Bu Lurah ikut membacanya.*Kepada Bapak dan Ibu yang sangat baik,Lintang mohon maaf yang sangat dalam dari lubuk hati Lintang. Lintang dan Wulan pergi tanpa pamit. Kami sangat berterima kasih atas semua kasih sayang Bapak dan Ibu selama ini. Bukan maksud kami tidak tahu berterima kasih, tetapi kami tidak bisa tinggal lebih lama bersama Bapak dan Ibu.Mas Mito tidak nyaman dengan kami. Kami tidak ingin menjadi pengganggu dan membuat Mas Mito tidak betah di rumah saat pulang. Jika kami pergi, Mas Mito akan tenang di rumah. Sampaikan maaf kami pada Mas Mito.Juga buat Mak Imah, kami minta maaf. Terima kasih sudah banyak membantu dan mengajari kami selama ini.Bapak dan Ibu tidak perlu kuatir, kami pasti baik-baik saja. Kami yakin doa Bapak dan Ibu selalu menjadi penguat kami. Sekali lagi terima kasih untuk semuanya.Salam dari putrimu,Lintang*Tangan Pak Lurah gemetar memegang kertas itu. Dia merasa tubuhnya lemas. Bu Lurah sudah menangis tersedu-sedu. Tak menyangka ini yang terjadi. Hatinya sangat sedih dan cemas. Bagaimana mungkin kedua gadis itu bisa nekat begini?"Aku harus bicara dengan Mito." Pak Lurah keluar kamar, memanggil Mito. Pemuda itu baru selesai mandi dan berganti pakaian."Mito!" Suara Pak Lurah datar, agak bergetar. Wajahnya merah padam menahan marah. Sedang hatinya sangat cemas. "Aku mau bicara denganmu."Pak Lurah duduk di ruang tengah. Mito ikut duduk di sana, di depannya. Pak Lurah memberikan surat Lintang pada Mito. Membaca surat itu, dia tertegun. Kedua anak itu kabur? Mereka pergi? Dan dia penyebabnya. Mito tertunduk."Katakan, apa yang sudah kamu lakukan pada Lintang dan Wulan?!" tanya ayahnya tegas."Maafkan aku, Ayah," kata Mito. Mito tidak mengira kedua gadis itu nekat kabur. Ini benar-benar masalah."Jawab pertanyaanku!" sentak Pak Lurah."Aku memukul mereka," jawab Mito. Dia mulai ketakutan."Apa? Kamu pukul?!!" Pak Lurah kaget mendengar itu. "Apa lagi yang kamu lakukan?!"Pak Lurah memaksa Mito bicara apa saja yang dia lakukan pada Lintang dan Wulan hingga kedua gadis itu ketakutan dan memilih minggat. Berulang kali Pak Lurah bergumam karena geram. Tangis Bu Lurah makin jadi. Dia menyesal tidak peka dengan apa yang terjadi. Dia pernah memergoki Mito bertindak kasar pada keduanya. Dia bukan bertanya mencari duduk permasalahannya, malah mengira Lintang dan Wulan yang tidak bisa bersikap baik pada Mito."Mak! Mak tahu kelakuan Mito sama Lintang dan Wulan?" tanya Pak Lurah, melihat Mak Imah yang dari tadi berdiri agak jauh melihat ke arah majikannya. Mak Imah mengangguk takut-takut."Kenapa Mak Imah ndak bilang sama aku?" Pak Lurah geram sekali sampai tidak tahu apa yang terjadi di rumahnya sendiri."Lintang ndak mau saya bilang sama Bapak dan Ibu. Takut ribut sama Mas Mito," jawab Mak Imah. Dia mengusap pipinya yang basah dengan tangan gemetar.Seandainya dia berani bicara, seandainya dia tidak mengikuti permintaan Lintang. Kenapa dia tidak bisa membela kedua gadis malang itu?"Aaah ... kenapa begini???!!" Pak Lurah benar-benar merasa marah."Sebenarnya apa yang membuatmu merasa terganggu sama mereka, Mito!?" Pak Lurah kembali melihat anaknya itu. "Mereka salah apa sama kamu?!!"Dengan suara yang tidak bisa keluar dengan keras, Mito menceritakan apa yang memicu dia berbuat kasar pada Lintang, dan akhirnya Wulan pun mengalaminya. Kekasihnya sangat mirip dengan Lintang. Mereka berpacaran lebih dua tahun. Sayangnya, Mito hanya dipermainkan. Kekasihnya pergi dengan pria lain yang lebih mapan dan berduit. Mito sangat terluka, dendam, dan marah karena itu.Saat bertemu Lintang, dia terkejut karena Lintang mirip dengan mantannya. Seolah-olah ada kesempatan dia melampiaskan semua rasa marah dan kecewa pada Lintang."Ya ampun! Kamu ndak punya otak? Gara-gara dia mirip mantanmu kamu buat hidupnya menderita sampai pergi tanpa pamit?!" Pak Lurah tidak tahu bagaimana bisa anaknya punya pikiran seaneh itu. Dia ingin sekali menempeleng Mito rasanya."Seperti apa Risa, aku mau tahu," geram Pak Lurah.Mito mengeluarkan HP dan menunjukkan foto Risa. Pak Lurah melihat foto yang terpampang di layar HP itu. Dia tertegun. Memang mirip. Hanya Risa lebih putih, lebih lancip dagunya, dan rambutnya berwarna coklat terang. Semua kejadian ini benar-benar membuat Pak Lurah kalang kabut.Dia segera bergegas mencari Lintang dan Wulan. Mumpung mereka belum lama pergi.******"Bimo!" panggil wanita empat puluhan itu. Bimo keluar kamar. "Ada surat buat kamu. Dari Lintang. Ibu temukan di bawah pintu. Aneh.""Surat?" Bimo juga merasa aneh. Dia menerima amplop itu, segera membaca isinya.*Sahabatku Bimo,Aku dan Wulan pergi. Kami tidak tahan lagi lebih lama di rumah Pak Lurah. Mas Mito makin jahat. Aku ga sanggup lihat Wulan dipukul. Aku ga kuat, Bim. Wulan selalu ketakutan.Doakan kami, supaya kami baik-baik. Aku berharap kamu juga selalu baik. Aku ga mungkin lupa sama kamu. Kamu sahabat terbaik buatku. Kumohon jaga makam ibuku. Kamu ga keberatan, kan? Maafkan aku yang sering menyusahkan kamu.Sahabatmu,Lintang*Bimo terdiam. Tapi cemas segera merajai hatinya. Lintang pergi ke mana? Bimo marah sekali pada Mito. Kalau saja waktu itu dia berani berbuat sesuatu, Lintang dan Wulan tidak akan pergi. Jelas-jelas Lintang sudah mengatakan tindakan jahat Mito. Bimo merasa bodoh dan menyesali semuanya.Bimo memutuskan mencari Lintang. Dengan bersepeda dia pergi ke makam. Dia berharap Lintang masih sempat ke sana. Di sana ada seorang laki-laki berjongkok di depan nisan. Itu Pak Lurah."Bapak mencari Lintang?" tanya Bimo.Pak Lurah menoleh cepat dan berdiri. "Ya, kamu tahu di mana dia? Katakan, Nak, kamu teman sekolahnya, kan?""Ya, Pak. Saya Bimo, teman Lintang. Tapi saya tidak tahu dia di mana. Dia hanya meninggalkan surat untuk saya. Selama ini dia sangat menderita karena Mas Mito," jawab Bimo."Aku menyesal terlambat tahu semua ini," ujar Pak Lurah sedih.Pak Lurah dan Bimo berbicara memperkirakan berbagai kemungkinan di mana Lintang dan Wulan. Apakah ada teman yang dekat dengannya yang sangat mungkin menjadi tempat Lintang bersembunyi? Bimo hampir yakin tidak akan mungkin. Lintang tidak dekat dengan siapapun di sekolah. Dia memang berteman dengan semua. Tetapi teman akrab, hanya Bimo saja.Hingga muncul di pikiran Bimo, apakah mungkin Lintang ke kota. Jika dia memang memilih pergi dan tidak ingin diketemukan, Lintang akan pergi sejauh mungkin. Pak Lurah awalnya merasa pikiran Bimo terlalu jauh. Tapi dia akan simpan itu. Dia akan mencari Lintang dan Wulan di desa ini, bahkan di desa sebelah. Kota adalah pilihan terakhir.Bu Lurah menunggu suaminya di teras, waktu Pak Lurah datang. Wanita setengah baya itu tahu, suaminya tak menemukan kedua putri asuh mereka. Dia pulang sendirian dengan wajah lesu. Pak Lurah duduk di ruang tamu. Dia selonjorkan kakinya. Rasanya pegal berkeliling sepanjang hari mencari Lintang dan Wulan. Dia bahkan meminta beberapa orang untuk membantu mencari mereka. Tidak ada hasil. Bu Lurah makin galau. Hari sudah sore, sebentar lagi gelap. Lintang dan Wulan akan menginap di mana? Mereka tidak punya saudara. "Mito mana?" tanya Pak Lurah. "Dia belum pulang. Entah ke mana saja dia mencari. Kuharap dia berhasil." Bu Lurah menghela nafas. Berat sekali rasanya semua ini. Hari makin gelap waktu Mito datang. Dia juga tak berhasil menemukan Lintang dan Wulan. Wajahnya tampak kusut. Dia kelelahan. "Ndak ada?" tanya Bu Lurah, ikut lesu. Mito menggeleng. Dia pergi ke sekolah Lintang, menanyakan alamat semua temannya. Mito mendatangi setiap rumah teman Lintang satu per satu. Tak ada yang ta
Jam enam pagi. David meninggalkan rumah sakit setelah berjaga malam. Dia merasa lelah dan mengantuk. Secepatnya dia ingin segera tiba di rumah, mandi dan merebahkan badan. Jalanan mulai ramai. Orang-orang memulai aktivitas pagi. Ada yang pergi ke sekolah, kuliah, ke kantor, mungkin ke pasar, dan macam-macam urusan lainnya. Sekian banyak manusia, semua memenuhi jalanan. Ada saja keperluannya, dan tak ada habisnya. Baru sepuluh menit meninggalkan rumah sakit, saat baru melewati lampulalu lintas, David melihat seorang bapak tua di pinggir jalan. Dia kelihatan gemetar. Pucat pula wajahnya. Apa dia sakit? David berbelok, mendekati bapak itu. Dia menghentikan mobilnya dan menghampiri bapak tua yang sedang duduk di pinggir jalan itu. "Selamat pagi, Pak," sapanya. Lelaki tua itu mengangkat kepalanya. Dia terlihat heran ada seorang anak muda tampan di depannya. "Bapak baik-baik saja?" tanya David. "Aku lupa pulang," jawab bapak itu, tampak matanya berk
Jam enam pagi. Lintang terbangun. Dia menoleh ke arah Wulan yang masih tidur. Lintang duduk. Dia tidak melihat Praja dan Rasti. Ke mana mereka?Saat itu pintu terbuka. Praja masuk, menyapa Lintang sambil tersenyum."Dari mana?" tanya Lintang."Dari mandi di kali," jawab Praja. Dia menyimpan ember kecil peralatan mandinya."Bu Rasti?" Lintang menanyakan Rasti."Di belakang, memasak. Buat sarapan." Praja mengambil sepatu dan memakainya.Dia bersiap akan berjualan. Mumpung liburan sekolah, dia punya waktu bekerja lebih banyak, menyisihkan uang untuk keperluan sekolah nanti. Jika sudah kembali sekolah, waktu bekerja akan terbatas. Rasti masuk membawa masakan yang baru selesai dia masak."Ini sarapan sudah siap." Diletakkannya makanan itu di tengah ruangan."Tapi saya belum mandi, Bu. Wulan malah belum bangun," kata Lintang."Ga apa-apa, mandi nanti saja. Cuci muka situ di belakang. Baru ke kali mandi," sahut Praja.Li
Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai. Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali. Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari. Di rumah itu juga ada ayah mertu
Malam itu Praja dan Rasti berusaha membujuk Lintang dan Wulan agar mau memaafkan Mito dan bersedia pulang. Tapi tetap saja tidak berhasil. Kedua gadis itu kekeh, tidak akan pulang. Mereka terlanjur luka dan sakit dengan perlakuan Mito selama ini.Pagi-pagi sekali Lintang dan Wulan bangun. Mereka berniat akan pergi dari gubuk itu. Uang yang Lintang punya sekarang mungkin cukup untuk mencari kamar kos yang kecil saja. Kalau makan mereka pasti bisa berhemat. Dengan tas di pundak, mereka cepat-cepat pergi."Kak, kita mau ke mana?" tanya Wulan."Kita lihat saja nanti. Yang penting kita pergi. Mas Mito pasti akan kembali mencari kita," jawab Lintang.Mereka pergi ke mana saja kaki membawa, pergi beli mie ayam untuk sarapan, lalu berjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai ramai.*****Pagi jam tujuh jalanan memang padat. Orang-orang berjejalan di atas aspal ingin segera tiba di tempat tujuan masing-masing. Hari ini cerah, matahari tid
Lintang dan Wulan terus saja berjalan masuk gang demi gang. Sejauh mungkin dari rumah Fani. Entah sudah belok berapa kali, sudah berapa gang mereka lewati. Sampai mereka tiba di sebuah rumah kosong. Terlihat rumah itu sudah lama ditinggalkan. Banyak bagian rumah yang rusak. Atapnya bolong-bolong, temboknya beberapa bagian retak, dan terlihat rapuh. Mereka bersembunyi di sana. Mereka takut jika mereka ada di jalan, sangat mungkin Mito akan menemukan mereka. "Kak, kita mau ke mana lagi? Kita gak ada tempat," kata Wulan. Dia hampir menangis. "Lan, maafkan Kakak." Lintang memegang tangan adiknya. Hatinya sedih sekali Wulan harus menderita seperti ini. "Kenapa ibu harus mati, Kak? Sekarang kita jadi gelandangan. Kita ga punya rumah. Ga bisa sekolah. Kenapa kita ga seperti Mas Bimo? Punya ibu dan ayah yang baik dan sehat yang sayang sama dia. Kenapa, Kak?" Wulan tak tahan lagi. Dia benar-benar menangis. Bahunya sampai berguncang-guncang karena rasa pedih yang begitu dalam. Lintang seketi
Lintang berjalan cepat masuk gang di depannya. Rumah-rumah sudah gelap. Hanya satu atau dua rumah yang lampunya menyala. Itu pun hanya di satu ruangan. Di mana Wulan? Pria itu tinggal di rumah yang mana? Dengan rasa cemas Lintang memperhatikan satu per satu rumah yang masih menyala lampunya. Tapi rumah yang mana? Apa Lintang harus mengetuk setiap pintu rumah? Ini tengah malam!!Rasa cemas dan takut makin mendera Lintang. Tapi dia harus menemukan Wulan. Tak peduli jika itu Mito sekalipun ternyata yang membawa Wulan. Dia harus menemukan adiknya. Dingin terasa menusuk kulit. Jaket tipis Lintang tidak terlalu menolong mengatasi dingin dan angin malam. Dengan kebingungan, Lintang memandang ke sekeliling pada rumah-rumah dengan lampu menyala."Uhuukk ... uuhukk ...." Terdengar suara batuk."Wulan?" bisik Lintang. Itu seperti suara batuk Wulan. Lintang menghentikan langkah, memasang pendengarannya. Lintang berdiri di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar. Lampunya
Wajah gadis ini cantik, tapi lusuh, dan terlihat begitu sedih. Matanya indah meskipun sayu. Itu yang tampak di mata David. Lintang menghiba memohon belas kasihan padanya. Yang ada dalam pikiran Lintang tidak lain adalah kesembuhan Wulan. Hanya itu. Dokter tampan ini harapannya. Dia akan lakukan apa saja agar Wulan bisa sembuh kembali. "Dokter, kekurangan biaya akan saya bayar dengan bekerja. Saya bisa kerjakan apa saja. Menyapu, mengepel, memasak, mencuci. Apa saja. Tolong, Dokter," kata Lintang lagi. Suaranya terdengar pedih dan memilukan. David merasa begitu iba melihat Lintang sangat kacau. Tampak jelas Lintang sangat takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Wulan. "Tentu. Aku akan mengobati Wulan. Tugas dokter menolong orang sakit. Aku yang membawa Wulan ke sini. Jadi aku tidak akan meminta bayaran apa-apa. Simpan saja uang kamu." David mengatakan itu dengan tulus, bukan hanya karena ingin menenangkan Lintang. "Tapi, saya dan Wulan ... kami tidak punya tempat tinggal. Saya mi