Share

5. Surat dari Lintang

Sudah lewat jam enam pagi. Lintang dan Wulan belum keluar kamar. Mak Imah jadi heran. Biasanya setengah enam paling siang mereka bangun. Mak Imah pergi ke kamar kedua anak itu. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Mak Imah memanggil keduanya beberapa kali, tetap tak terdengar apa-apa. Sepi.

“Lintang! Wulan!” panggil Mak Imah lagi.

Mak Imah membuka pintu kamar. Kamar masih gelap. Tapi bisa terlihat tidak ada siapa-siapa di ranjang. Tempat tidur rapi. Lalu ke mana mereka? Mak Imah membuka pintu lemari pakaian. Masih ada, tapi ... tas mereka tidak ada. Buku-buku ada di meja. Ini masih libur sekolah, tidak mungkin mereka ke sekolah.

Mak Imah memastikan lagi lemari pakaian. Coba dia ingat pakaian anak-anak itu. Ya ... berkurang. Beberapa pakaian mereka tidak ada. Mak Imah menoleh lagi ke kasur. Boneka beruang besar Wulan tergeletak di sana. Tapi Mak Imah sudah menangis. Dia tahu dua anak manis itu pergi.

Mak Imah lari keluar kamar, menemui majikannya. Pak dan Bu Lurah sedang di kamar, bersiap mau pergi ke kelurahan. Tepat Bu Lurah keluar kamar akan ke dapur. Bu Lurah kaget melihat Mak Imah menangis. Pak Lurah yang mendengar itu pun keluar kamar.

"Aduh ... Pak, Bu ... Lintang dan Wulan ndak ada ...." Mak Imah tersedu-sedu.

"Ndak ada? Ndak ada gimana?" Pak Lurah kaget.

"Kamarnya kosong. Tasnya, bajunya …." gugup Mak Imah menjawab, di tengah tangisnya, mengatakan apa yang dia lihat di dalam kamar Lintang dan Wulan.

Pak Lurah dan Bu Lurah segera ke kamar Lintang dan Wulan. Benar! Kosong. Ada sebuah amplop di meja. Bu Lurah mengambilnya, dia berikan pada suaminya. Hatinya langsung galau. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa mereka pergi diam-diam? Pak Lurah membuka amplop itu dan mulai membaca surat dari Lintang. Bu Lurah ikut membacanya.

*

Kepada Bapak dan Ibu yang sangat baik,

Lintang mohon maaf yang sangat dalam dari lubuk hati Lintang. Lintang dan Wulan pergi tanpa pamit. Kami sangat berterima kasih atas semua kasih sayang Bapak dan Ibu selama ini. Bukan maksud kami tidak tahu berterima kasih, tetapi kami tidak bisa tinggal lebih lama bersama Bapak dan Ibu.

Mas Mito tidak nyaman dengan kami. Kami tidak ingin menjadi pengganggu dan membuat Mas Mito tidak betah di rumah saat pulang. Jika kami pergi, Mas Mito akan tenang di rumah. Sampaikan maaf kami pada Mas Mito.

Juga buat Mak Imah, kami minta maaf. Terima kasih sudah banyak membantu dan mengajari kami selama ini.

Bapak dan Ibu tidak perlu kuatir, kami pasti baik-baik saja. Kami yakin doa Bapak dan Ibu selalu menjadi penguat kami. Sekali lagi terima kasih untuk semuanya.

Salam dari putrimu,

Lintang

*

Tangan Pak Lurah gemetar memegang kertas itu. Dia merasa tubuhnya lemas. Bu Lurah sudah menangis tersedu-sedu. Tak menyangka ini yang terjadi. Hatinya sangat sedih dan cemas. Bagaimana mungkin kedua gadis itu bisa nekat begini?

"Aku harus bicara dengan Mito." Pak Lurah keluar kamar, memanggil Mito. Pemuda itu baru selesai mandi dan berganti pakaian.

"Mito!" Suara Pak Lurah datar, agak bergetar. Wajahnya merah padam menahan marah. Sedang hatinya sangat cemas. "Aku mau bicara denganmu."

Pak Lurah duduk di ruang tengah. Mito ikut duduk di sana, di depannya. Pak Lurah memberikan surat Lintang pada Mito. Membaca surat itu, dia tertegun. Kedua anak itu kabur? Mereka pergi? Dan dia penyebabnya. Mito tertunduk.

"Katakan, apa yang sudah kamu lakukan pada Lintang dan Wulan?!" tanya ayahnya tegas.

"Maafkan aku, Ayah," kata Mito. Mito tidak mengira kedua gadis itu nekat kabur. Ini benar-benar masalah.

"Jawab pertanyaanku!" sentak Pak Lurah.

"Aku memukul mereka," jawab Mito. Dia mulai ketakutan.

"Apa? Kamu pukul?!!" Pak Lurah kaget mendengar itu. "Apa lagi yang kamu lakukan?!"

Pak Lurah memaksa Mito bicara apa saja yang dia lakukan pada Lintang dan Wulan hingga kedua gadis itu ketakutan dan memilih minggat. Berulang kali Pak Lurah bergumam karena geram. Tangis Bu Lurah makin jadi. Dia menyesal tidak peka dengan apa yang terjadi. Dia pernah memergoki Mito bertindak kasar pada keduanya. Dia bukan bertanya mencari duduk permasalahannya, malah mengira Lintang dan Wulan yang tidak bisa bersikap baik pada Mito.

"Mak! Mak tahu kelakuan Mito sama Lintang dan Wulan?" tanya Pak Lurah, melihat Mak Imah yang dari tadi berdiri agak jauh melihat ke arah majikannya. Mak Imah mengangguk takut-takut.

"Kenapa Mak Imah ndak bilang sama aku?" Pak Lurah geram sekali sampai tidak tahu apa yang terjadi di rumahnya sendiri.

"Lintang ndak mau saya bilang sama Bapak dan Ibu. Takut ribut sama Mas Mito," jawab Mak Imah. Dia mengusap pipinya yang basah dengan tangan gemetar.

Seandainya dia berani bicara, seandainya dia tidak mengikuti permintaan Lintang. Kenapa dia tidak bisa membela kedua gadis malang itu?

"Aaah ... kenapa begini???!!" Pak Lurah benar-benar merasa marah.

"Sebenarnya apa yang membuatmu merasa terganggu sama mereka, Mito!?" Pak Lurah kembali melihat anaknya itu. "Mereka salah apa sama kamu?!!"

Dengan suara yang tidak bisa keluar dengan keras, Mito menceritakan apa yang memicu dia berbuat kasar pada Lintang, dan akhirnya Wulan pun mengalaminya. Kekasihnya sangat mirip dengan Lintang. Mereka berpacaran lebih dua tahun. Sayangnya, Mito hanya dipermainkan. Kekasihnya pergi dengan pria lain yang lebih mapan dan berduit. Mito sangat terluka, dendam, dan marah karena itu.

Saat bertemu Lintang, dia terkejut karena Lintang mirip dengan mantannya. Seolah-olah ada kesempatan dia melampiaskan semua rasa marah dan kecewa pada Lintang.

"Ya ampun! Kamu ndak punya otak? Gara-gara dia mirip mantanmu kamu buat hidupnya menderita sampai pergi tanpa pamit?!" Pak Lurah tidak tahu bagaimana bisa anaknya punya pikiran seaneh itu. Dia ingin sekali menempeleng Mito rasanya.

"Seperti apa Risa, aku mau tahu," geram Pak Lurah.

Mito mengeluarkan HP dan menunjukkan foto Risa. Pak Lurah melihat foto yang terpampang di layar HP itu. Dia tertegun. Memang mirip. Hanya Risa lebih putih, lebih lancip dagunya, dan rambutnya berwarna coklat terang. Semua kejadian ini benar-benar membuat Pak Lurah kalang kabut.

Dia segera bergegas mencari Lintang dan Wulan. Mumpung mereka belum lama pergi.

******

"Bimo!" panggil wanita empat puluhan itu. Bimo keluar kamar. "Ada surat buat kamu. Dari Lintang. Ibu temukan di bawah pintu. Aneh."

"Surat?" Bimo juga merasa aneh. Dia menerima amplop itu, segera membaca isinya.

*

Sahabatku Bimo,

Aku dan Wulan pergi. Kami tidak tahan lagi lebih lama di rumah Pak Lurah. Mas Mito makin jahat. Aku ga sanggup lihat Wulan dipukul. Aku ga kuat, Bim. Wulan selalu ketakutan.

Doakan kami, supaya kami baik-baik. Aku berharap kamu juga selalu baik. Aku ga mungkin lupa sama kamu. Kamu sahabat terbaik buatku. Kumohon jaga makam ibuku. Kamu ga keberatan, kan? Maafkan aku yang sering menyusahkan kamu.

Sahabatmu,

Lintang

*

Bimo terdiam. Tapi cemas segera merajai hatinya. Lintang pergi ke mana? Bimo marah sekali pada Mito. Kalau saja waktu itu dia berani berbuat sesuatu, Lintang dan Wulan tidak akan pergi. Jelas-jelas Lintang sudah mengatakan tindakan jahat Mito. Bimo merasa bodoh dan menyesali semuanya.

Bimo memutuskan mencari Lintang. Dengan bersepeda dia pergi ke makam. Dia berharap Lintang masih sempat ke sana. Di sana ada seorang laki-laki berjongkok di depan nisan. Itu Pak Lurah.

"Bapak mencari Lintang?" tanya Bimo.

Pak Lurah menoleh cepat dan berdiri. "Ya, kamu tahu di mana dia? Katakan, Nak, kamu teman sekolahnya, kan?"

"Ya, Pak. Saya Bimo, teman Lintang. Tapi saya tidak tahu dia di mana. Dia hanya meninggalkan surat untuk saya. Selama ini dia sangat menderita karena Mas Mito," jawab Bimo.

"Aku menyesal terlambat tahu semua ini," ujar Pak Lurah sedih.

Pak Lurah dan Bimo berbicara memperkirakan berbagai kemungkinan di mana Lintang dan Wulan. Apakah ada teman yang dekat dengannya yang sangat mungkin menjadi tempat Lintang bersembunyi? Bimo hampir yakin tidak akan mungkin. Lintang tidak dekat dengan siapapun di sekolah. Dia memang berteman dengan semua. Tetapi teman akrab, hanya Bimo saja.

Hingga muncul di pikiran Bimo, apakah mungkin Lintang ke kota. Jika dia memang memilih pergi dan tidak ingin diketemukan, Lintang akan pergi sejauh mungkin. Pak Lurah awalnya merasa pikiran Bimo terlalu jauh. Tapi dia akan simpan itu. Dia akan mencari Lintang dan Wulan di desa ini, bahkan di desa sebelah. Kota adalah pilihan terakhir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status