Maden mendapati Jena yang diam tak berkutik setelah ia meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Pria itu mendekati dan menepuk pelan bahu Jena. Tolehan kepala Jena membuat Maden tersenyum seraya menanyakan kenapa wanita itu diam.
Jena menggeleng cepat, ia lalu kembali menyiapkan makanan pencuci mulut seraya meminta Maden kembali ke ruang makan. Jena terkejut karena ternyata Madenlah pria yang selama ini selalu mengirimkan bunga dengan kartu ucapan penyemangat dan kata-kata romantis lainnya. Reese tak mungkin berbohong, ia jauh lebih dekat dan memahami Maden. Mungkin, beberapa rahasia lain juga Maden ceritakan kepada Reese.
"Duduklah kembali ke tempatmu, Maden, aku akan membawakan es krim strawbery buatan ku, aku baru tau jika kalian memiliki alat pembuat es krim," Jena menoleh dan melemparkan senyum ke Maden. Pria itu mengangguk, lalu berjalan kembali ke ruang makan.
Jena menghela nafas manakala sosok Maden sudah tak lagi tampak di dapur, ia memejamkan mata. "Tidak-tidak, aku tak boleh canggung,"ucap Jena dalam hati. Ia lalu membawa empat mangkuk kristal berisi es krim buatannya dengan nampan perak. Setelah mengatur nafasnya, ia berjalan sambil tersenyum.
"Ini es krim starwbery buatan ku, aku melihat alat pembuat es krim di lemari penyimpanan, jadi kugunakan, silahkan menikmati," ucap Jena seraya meletakkan mangkuk es krim di hadapan masing-masing orang yang setia duduk di meja makan.
"Jena, my darling, kau akan membuat kami gemuk," tawa renyah Valery membuat semua ikut tertawa.
"Tidak nyonya, aku membuat ini dengan krim rendah lemak, potongan buah segar, dan gula diet, jadi, aman ... lagi pula, aku mendapat bisikan, kalau, kalian memiliki ruanh fitnes di belakang, dekat kolam renang, aku rasa, utu bisa dimanfaatkan," lalu, tawa menggema di ruang makan itu. James begitu bahagia, ia mengangguk setuju.
"Besok kami akan kembali menggunakan ruangan itu, betul, istriku," James melirik ke Valery yang mengangguk setuju.
Maden tersenyum lebar, ia merasakan perubahan suasana di rumah semenjak Jena bekerja dengannya di rumah itu. Tatapan Maden semakin penuh harap kepada sosok wanita cantik, manis dan mempesona di hadapannya. James, yang memperhatikan sejak awal ekspresi Maden jika Jena sedang berada di dekat mereka, ikut tersenyum. Ia senang, putranya tak lagi seperti seorang yang kaku dan antisosial, setidaknya, ada seseorang yang mampu membuatnya tersenyum.
"Jena, tinggalah di sini, kau bisa menyimpan uang sewa apartemenmu bukan?" Celetuk Valery. James lalu menimpali dengan pernyataan yang sama. Setidaknya, dengan Jena tinggal di rumah mereka, mobilisasi Jena juga singkat, tak perlu mondar mandir setiap harinya, walau tak selalu dengan taksi, bis pun bisa, hanya berjalan sepuluh menit hingga ke halte dekat perumahan elite itu.
"Maafkan aku, aku harus menolak tawaran kalian, aku ingin di apartemenku saja," Jena tersenyum.
"Baiklah, jika itu maumu, tapi, jika kau berubah pikiran, kami dengan tangan terbuka menyambutmu, Darling," Valery menggenggam jemari Jena yang berdiri di dekatnya. Anggukan kepala Jena menjadi jawabannya. Ia lalu kembali berjalan ke dapur, ia membersihkan dapur bersama salah satu Maid, tak lupa, ia membagikan es krim itu kepada para pekerja di rumah megah tersebut.
"Jena," suara Maden membuat Jena sedikit melonjak lalu berbalik badan. Ia menatap Maden sedikit ragu dan kikuk.
"Terima kasih, belum satu minggu kau bekerja dengan ku, rumah ini serasa hidup, kami makan bersama dan tertawa bersama, kebahagiaan sederhana ini, yang aku tunggu, terima kasih, Jen .... " Maden tersenyum kaku, tampak dari sudut bibirnya yang sedikit bergetar. Jena bingung, jika ia bersikap perhatian dan membalas sikap Maden dengan hangat, Maden akan seolah mendapat harapan darinya. Sedangkan Jena, ia hanya menganggap Maden teman biasa. Tak lebih.
"Iya Maden," hanya itu jawaban yang diberikan Jena.
***
Es krim cone dengan rasa rum raisin, begitu memikat lidah Jena sambil asik duduk di taman kota dekat apartemen sederhananya. Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Ia butuh sesuatu yang manis sebelum pergi beristirahat. Rambut panjang berwarna coklat tua miliknya terbang tertiup angin malam, ia tak perduli. Baginya, angin tetaplah angin, yang fungsinya memang membuat kesejukan.
Sosok pria tinggi besar dengan pakaian atasan pres body dan celana jins sobek-sobek berdiri di hadapannya. Jena diam, mulutnya menganga. Debaran jantungnya berpacu cepat, ia ingin menghilang saat itu juga rasanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa tujuan mu mengacak-ngacak makananku dan bilang kalau selera penataanku buruk." Dengan angkuh dan ketus, Drew berbicara kepada Jena yang tampak ketakukan. Es krimnya meleleh. Tatapan Drew menguncinya.
"Aku ... aku hanya," Jena melotot. Saat Drew tiba-tiba berjongkok di hadapannya dan menjilati es krim yang meleleh di jemarinya. Rasa geli bercampur desiran lain, membuat reaksi lain disekujur tubuh Jena.
BUGH
Jena menendang dada bidang dan berotot Drew yang tercetak sempurna dipakaian yang ia kenakan dengan lututnya. Ia beranjak dan menatap judes ke Drew.
"Tidak waras!" Jena bersingut dan berjalan cepat. Es krim di tangannya semakin meleleh dan ia buang ke tempat sampah. Drew terkekeh sinis. Ia bersedekap dan kembali berjalan mengikuti Jena.
Jena yang menyadari Drew mengikutinya terus mengomel hingga ia berbalik badan dan bersedekap menatap Drew yang berhenti melangkah.
"Apa maumu koki yang tak punya selera penataan yang baik?!" Pertanyaan sekaligus cemooh Jena membuat Drew semakin kesal dan menatapnya sinis.
"Apa tujuanmu. Apa karena kau food vlogger, kau bisa mengomentari penataan masakanku, huh?!" Drew menatap tajam.
"Ya! Benar. Itu pekerjaanku." Jawab Jena ketus. Drew terkekeh sinis sambil membuang pandangannya. Ia berjalan mendekat dan mengankat tubuh langsing Jena seperti karung beras. Jena meronta. Drew tak perduli, ia menekan remote mobil dan memaksa Jena masuk ke dalam mobil SUV hitam miliknya.
"KAU INGIN MENCULIKKU HAH!" Maki Jena.
"YA! Aku akan mencincang tubuhmu untuk anjing peliharaanku. Puas?!" Lalu Drew menginjak pedal gas dan membawa Jena pergi.
Jena diam. Ia terus mematung tak mau menatap bahkan melirik Drew yang fokus menyetir. Tak lama, mereka sampai di gedung apartemen mewah, Drew menarik tangan Jena saat berjalan bersamanya menuju lift.
"Buang mayatku yang jauh. Atau bakar hingga habis tak tersisa. Supaya kedua orang tua dan Kakakku tak perlu susah payah mencariku." Celetuk Jena. Drew hanya diam sambil menekan angka delapan di tombol sudut pintu lift. Menghiraukan ocehan Jena.
Jena melirik ke tubuh tinggi besar di sampingnya, ciptaan Tuhan yang semlurna, pahatan wajah, tubuh dan bibir sexy itu membuat Jena seolah lemas dan terpukau. Suara pintu lift terbuka. Kedua mata Jena terbelalak saat melihat apartemen mewah dengan nuansa hitam dan abu-abu mendominasi interiornya. Drew masih menyeret Jena. Kali ini ke arah dapur.
Drew membuka laci di sudut dapur, dan mengeluarkan beberapa pisau besar.
"Tuhan, ampuni dosaku. Jika aku harus mati ditangan bedebah gila ini, tempatkan aku di surgamu yang indah," Jena memejamkan mata seraya merapalkan doa. Drew melepas cengkraman tangannya dan bersedekap.
"Masaklah untukku. Apapun, dan hias dengan baik. Aku ingin lihat seleramu seperti apa nona food vlogger." Jena membuka mata dan ia ternganga. Sedangkan Drew berjalan ke arah lain yang sepertinya kamarnya.
"Tiga puluh menit! Hanya itu waktumu. Selesaikan. Atau aku akan benar-benar mencincang tubuhmu untuk makanan anjing-anjing ku!" Lalu pintu kamar terbanting kencang dan keras. Jena menghela nafas lega. Ia berdecak sebal, lalu membuka lemari es super besar di belakangnya dan melihat ada bahan apa saja yang bisa ia pergunakan.
***
Tepat tiga puluh menit. Jena selesai membuat hidangan sederhana. Telur orak arik, roti panggang, dan jamur yang ia tumis dengan beberapa bumbu racikannya. Tak mungkin dalam waktu singkat ia akan membuat hidangan makanan utama. Tak lupa, ia membuat es teh leci dengan campura mint yang membuat segar di mulut.
Jena bersedekap. Menatap pintu kamar Drew yang masih tertutup rapat.
'Apa ia tertidur?' ucap Jena dalam hati. Detik berganti, lalu pintu terbuka dan sosok pria itu berjalan keluar kamar dengan keadaan topless, membuat Jena tak bisa untuk tak menikmati kesegaran pemandangan untuk kedua matanya. Tubuh berotot kekar dan keras itu semakin mendekat. Jena akhirnya membuang tatapan dan menyodorkan piring serta gelas yang sudah terisi ke hadapan Drew yang duduk di meja dapur.
Drew diam. Ia mengamati penyajian Jena. Ia menelan air liurnya susah payah. Begitu menggugah selera. Ia tak mau memperlihatkannya kepada Jena. Tetap dengan kesombongannya. Ia mulai makan, dengan tubuh bagian atas yang terbuka. Jena salah tingkah, ia merasa aneh dengan dirinya. Bukan sekali ia melihat pria bertelanjang dada, namun kali ini, ia begitu tak bisa berpaling dan merasakan hal lain di dirinya.
"Kau gunakan apa di dalam telur ini?" Tunjuk Drew dengan garpu ke arah telur orak arik di atas piring.
"Krim, dan sedikit gula pasir." Jawab Jena santai.
"Dan ini, jamur ini?" Drew ganti menunjuk ke jamur yang ia makan terus menerus. Jena tersenyum. Ia punya ide jahil. Wajahnya mendekat ke wajah Drew. Lalu tersenyum, "Pakai resep cin-ta," Jena tersenyum.
Suara garpu terjatuh ke atas piring, terdengar nyaring. Drew dengan cepat menyambar bibir Jena dan memberikan ciuman yang begitu dalam. Jena mendorong dada bidang Drew dan menamparnya dengan keras.
"KURANG AJAR." ucap Jena pelan dan dalam. Jena berjalan meninggalkan Drew ke arah pintu lift. Ia diam. Disela rasa marah dan kesal, Jena juga berdebar hebat. Ia masuk ke dalam lift, ia menekan tombol menuju ke loby.
'Sialan. Ciuman pertamaku.'
Kepala Jena ia tenggelamkan diantara bantal. Kakinya menghentak-hentak kesal. Drew dengan seenaknya sudah mengambil ciuman pertamanya. Ia lalu duduk di atas ranjang dan mengacak-ngacak rambutnya begitu liar, lalu ia merebahkan kembali tubuhnya. Mencoba tenang dan memejamkan matanya. Hari sudah larut, ia tak mau bangun terlambat.Di tempat lain.Drew duduk dengan gelas wine di tangannya. Menatap keluar jendela besar apartemennya yang menyuguhkan pemandangan kota Newyork malam hari. Ia berfikir, tentang Jena yang sudah membuat masakan sederhana tapi begitu nikmat, tak rumit, dengan bahan sederhana juga.Lalu ingatan Drew berpindah ke saat di mana ia mencium bibir Jena yang membuat reaksi lain di hati dan juga tubuhnya."Sialan!" Geram Drew seraya beranjak dan meletakan gelas wine lalu menyanbar kunci mobil yang tergeletak di atas meja dapur.Apartemen
Hingga pukul tujuh pagi, Jena masih berada di apartemen Drew, ia menatap Drew yang sedang duduk santai sambil melihat televisi."Aku harus pergi, Drew. Bosku menunggu, aku harus memasak untuk keluarganya," ia menjelaskan niatannya untuk segera beranjak dari tempat itu. Drew diam, ia melirik dan kemudian mematikan televisi. Berjalan menghampiri kulkas lalu mengambil sesuatu dari sana. Drew menyerahkan yogurth yang sudah ia buka tutupnya ke tangan Jena."Minumlah, kau tidak meminum atau memakan apapun sejak datang kemari, aku tak mau kau mati kekeringan." Dengan santai, Drew berjalan ke meja dekat televisi dan mengambil kunci mobil. "Aku antar kau ke tempat mu bekerja. Baik bukan aku?" Kekehan sinis tampak dari wajah tampan dan mata indah milik Drew. Jena melangkah, ia sudah meneguk yogurth itu hingga habis setengah. "Kau haus?" Lirik Drew sambil menunjuk botol yogurth dengan dagunya. Jena menggeleng, kepalanya begitu pusing, dan p
"Tidak. Aku lebih baik bekerja di tempat lain. Kau akan menjadi bosku, dan sikap aroganmu seperti tadi akan membuatku terus memaki dan merutukimu, Drew."Jena menolak. Ia ingin tahu, apa seorang Drew bisa memohon lebih baik, tidak seenaknya sendiri. Kedua mata Drew begitu tajam menatap Jena. Ia tak akan melewati kesempatan, Jena kunci dirinya kali ini untuk mencapai tujuannya. Membuat restorannya semakin sukses dan terkenal. Juga, jam terbang dirinya sebagai koki terkenal juga akan terus meroket."Oh ya, jadi ... kau ingin aku memohon? Begitu?" tatapan itu semakin menusuk dalam ke netra indah milik Jena. Wanita itu meneguk salivanya susah payah. Ia tak akan gentar."Tentu, sombong." Jena balas menatap Drew. Pria itu terkekeh, ia lalu berjalan memutari meja dapur dan berdiri di samping Jena."Ok, aku akan memohon padamu, Jena," ucap Drew lalu memutar tubuh Jena supaya menghadap
Briefing sebelum restoran di buka sudah menjadi hal wajib bagi Drew dan semua para pekerja di restorannya. Jena berdiri sedikit memojok, ia tak siap jika menjadi sorotan para pekerja lain jika ia berdiri di samping Drew. Kedua mata Drew kelirik ke arah Jena yabg sibuk menunduk sambil memperhatikan sepatu yang ia kenakan. "Jena!" panggil Drew tegas. Jena mendongak, ia berjalan perlahan. Tak mau menoleh ke arah semua orang yang mulai berbisik. "Dia Jena, asisten khusus untukku. Jena, perkenalkan dirimu kepada semua orang," ucap Drew seraya menepuk kedua bahu Jena yang ia putar supaya menghadap ke semua orang. "Halo, aku Jena," sapa Jena sambil mencoba tersenyum. Para juru amsak diam dan menatap lekat. Sedangkan pelayan dan petugas kasir menyapa dengan ramah. Jena balas tersenyum. Lima belas menit kemudian restoran di buka, Drew sudah bersiap diposisi, dan Jena berdiri di sebelah Drew. "A
Selama perjalan pulang, Jena diam tak berbicara sepatah katapun. Drew sesekali melirik dan tersenyum. Ia tahu, wanita di sebelahnya merasa malu dan salah tingkah setelah ia mendadak mencium keningnya, juga menggandeng tangan selama berada di pasar."Bisa turunkan aku di sana saja, Drew? Kau bisa langsung ke restoran," pinta Jena sambil bersiap turun."Aku antar sampai apartemen, tenanglah," usapan di kepala Jena lagi-lagi membuat wanita itu diam, namun hanya sejenak, karena Jena mulai bersuara."Mengapa sikapmu berubah menjadi lembut kepadaku dan ... dan kau, apa tadi mencium keningku begitu saja tanpa persetujuanku! Apa kau pikir aku perempuan yang mudah kau dekati!"Napas Jena naik turun. Drew hanya melirik, ia menyalakan lampu sen kanan dan menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Jena. Ia duduk dengan posisi miring sehingga berhadapan dengan Jena.
Jena menatap Drew yang sedang berpose di depan kamera, ia begitu mudah diarahkan oleh juru foto dan para pengarah gaya. Dave datang menghampiri, ia berdiri di sebelah Jena.“Sudah berapa lama kau menjadi asisten berandal itu?”“Belum lama, sebenarnya, aku terjebak. Andai saja aku tidak mengacak-ngacak hidangan yang ia masak saat itu,” ujar Jena sambil mendengkus.“Maksudnya?” Dave menoleh.“Aku, mengomentari penataan makanan yang Drew buat di restoran, dan aku memasukan itu ke Vlog yang ku buat. Sejak saat itu, Drew terus mengikuti, hingga ya … sekarang ini, ia memintaku menjadi asistennya, tak hanya untuk di restoran, tapi hingga ke sini,” jawab Jena sambil melirik ke Dave.“Kau gila, pantas saja Drew mengejarmu. Baru dirimu yang bisa melakukan hal itu, Jen, sebelumnya tak pernah ada yang berani. Bravo!” se
“Kau pikir, semua hal yang kau inginkan bisa terjadi sesuai keingannmu?” Jena berbicara dengan sedikit kesal kepada Reese yang menghubungi sambil menangis. Jena paham, Reese selalu memiliki masalah dengan pria. Kali ini, sahabatnya itu kembali di campakan.“Kau tidak mungkin akan terus begini, Reese, fokuslah bekerja, berhenti menyukai pria muda. Anak sekolah kau dekati, ini resiko dirimu!”Reese semakin menangis. Suara isakannya justru hanya terdengar bak blender rusak. Jena menjauhkan ponsel dari telinganya. “Hei, sudah Reese, ayo kita fokus bekerja, membangun karir, jauhkan urusan asmara dari diri kita.”Seketika Jena diam, ia justru teringat dengan dirinya dan Drew. Koki seksi itu hampir saja membuatnya gila dengan sikap mendadaknya yang suka mencium dan berperilaku mesra, yang jelas membuat Jena berdebar tak karuan.“Jen, bagaimana dengan urusan huta
“Jangan asal bicara, Drew.” Jena turun dari atas meja. Ia lalu membawa mangkuk yang sudah kosong karena makanan yang dimasak Drew sudah habis ia makan, ke bak cucian. Ia lalu mencucinya. Drew masih bersandar ditempatnya sambil bersedekap.“Aku serius, Jen, bagaimana jika aku menyukaimu? Bukankah, itu tak mengapa? Kau tidak punya kekasih, bukan?”Jena menoleh. Lalu terkekeh sinis. “Bukan itu, kau akan menyesal Drew, karena sudah menyukai. Jujur saja, aku bukan perempuan yang—““DREW!” Jena terkejut karena lengan besar pria itu sudah melingkar dipinggang Jena. Membuat ia melepaskan gelas yang sedang ia cuci di bak hingga hampir pecah.“Sstt … diamlah, apa kau tahu, jika aku, benar-benar menyukaimu, sifatmu berbeda dengan wanita yang pernah bersamaku. Bahkan, mereka yang—,”“Pernah tidur denganmu?” Jena melep