Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Jaxon.
Dia melirik isi pesan tersebut sebentar sebelum akhirnya menatap ke arah Rey yang sedang menarik sebuah mayat dari ruang bawah tanah Red Cage yang biasanya digunakan untuk tempat penyiksaan.
“Apa ada sesuatu?” tanya Rey.
Dia melirik Jaxon sebentar sebelum akhirnya kembali sibuk dengan seorang pria tidak bernyawa berusia sekitar tiga puluh yang sedang dia bungkus dalam kantung plastik berwarna hitam.
Jaxon mengangkat bahu sedikit dan menaruh ponsel itu kembali ke saku celana.
“Hanya laporan dari Fritz yang mengatakan mereka sedang bersama Mia di Kafe Biji Kopi,” jelas Jaxon sembari mendekati Rey yang sedang mengelap tangan berlumur darah dengan serbet putih.
“Apa kau sudah menghubungi Fontana?” Rey melemparkan serbet berdarah tersebut ke dalam tong sampah di sudut ruangan.
“Untuk apa?” tanya Jaxon dengan sebelah alis naik mendekati dahi.
Suara sirine mobil polisi memenuhi seluruh udara di sekitar jalanan Kafe Biji Kopi, dan tampak polisi mendatangi tempat tersebut dengan garis kuning yang mulai dipasang di sekitar parkiran.Rey yang datang lebih dulu dari teman-temannya ke lokasi kejadian melihat sekitar dengan pandangan marah. Matanya menangkap pergerakan Dane Loren yang menutup akses jalan di sekitar.Setelah menutup pintu mobil, Rey berjalan mendekat ke depan bangunan Kafe, namun dia dihalangi oleh Noel Kendrick, polisi muda yang masih tidak mengerti bahwa polisi tidak memiliki otoritas berarti di hadapan Anggota Red Cage.“Menyingkir,” desis Rey dengan intonasi rendah.Noel mengangkat dagu dengan pandangan menantang.“Kami sedang melakukan pemeriksaan, kau yang tidak berkepentingan dilarang merusak tempat kejadian perkara,” ucap Noel dengan bahu tegak, postur yang menunjukan bahwa Rey jauh di bawah otoritasnya.Dengan gerakan cepat Rey menarik ker
Setelah meletakkan Mia di atas ranjang, Jaxon pun menatap wanita itu beberapa saat. Dia mengusap wajah dengan gusar dan berlalu menuju keluar kamar.“Aku ingin kau memanggil Thomas dan menyuruhnya ke Aurelia sekarang,” perintah Jaxon pada Snow yang berdiri di depan pintu.“Baik, Sir.”Snow bergegas hendak menghubungi Thomas saat Jaxon lagi-lagi memanggil.“Apa Dokter Timothy sudah tiba?”“Sebentar lagi dia akan tiba, Sir,” jawab Snow sembari memfokuskan diri pada Jaxon, karena pria itu biasanya tidak akan siap hanya dengan satu pertanyaan.“Selagi menunggu kedatangannya, aku ingin kau mengumpulkan semua pekerja di Aurelia. Ada yang ingin kukatakan pada mereka.”Melihat wajah Jaxon yang tidak bersahabat, Snow tahu diri untuk tidak bertanya mengenai hal apa.Setelah mengundurkan diri, Snow pun melaksanakan semua perintah Jaxon saat itu juga.Ada puluhan pekerja di
Mia mengintip dari jendela kamar setelah melihat mobil yang Jaxon kendarai meninggalkan pintu gerbang Aurelia. Dia menutup kembali gorden jendela, lalu berjalan keluar dari kamar dan mencari keberadaan Emily, Piper, Allana, atau mungkin Greta.Setelah mencari-cari di dalam kastil yang luas, Mia menemukan Allana serta Emily yang tampak sibuk membersihkan sebuah kamar di lantai tiga. Sebelumnya Mia tidak pernah naik ke tempat ini sehingga dia pun tersesat beberapa saat yang lalu.Emily yang lebih dulu melihat kedatangan Mia menatap penasaran.“Apa ada yang kau butuhkan?” tanya Emily heran karena Mia langsung menutup pintu kamar rapat-rapat sembari melirik keluar, memastikan tidak ada siapa-siapa di sekitar dengan gerakan yang mencurigakan, membuat Emily serta Allana kebingungan dengan sikap Mia barusan.“Aku memiliki beberapa pertanyaan,” ucap Mia sembari menyuruh Allana dan Emily untuk duduk di atas ranjang yang belum sempat dibersi
Suasana di Denver Park terlihat sepi, hanya tampak bebek-bebek yang berkeliaran di sekitar.Mia yang sejak tadi menatap Danau di taman terlihat termenung dengan pikiran penuh. Dia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar. Mengapa rasanya semua orang memperlakukannya seperti kaca rapuh yang slelalu dibungkus sarung sutera. Begitu hati-hati seolah takut dia terluka.“Apa kau juga berpikir aku hanya gadis berkepala kosong dan lemah?” tanya Mia pada seekor bebek yang sejak tadi memperhatikannya dengan kepala miring ke kenan-kiri bergantian.“Kau seharusnya lihat bagaimana Jaxon memperlakukanku. Dia benar-benar menutupi sesuatu!” sungut Mia pada bebek itu lagi dan dibalas dengan wek wek tanpa jeda.Mia menganggukan kepala. “Benar, perkataanmu benar sekali. Dia memang pria keras kepala, sedikit arogan dengan sikap tertutupnya dan suka menyiksa menggunakan tubuh sempurna dan wajahnya yang tampan! Benar-benar tidak adil! Men
Setelah mencari Mia ke seluruh Denver, Jaxon pun meminta teman-temannya untuk berkumpul di Red Cage, dan menyuruh bawahan mereka untuk terus melanjutkan pencarian.Rey melihat Jaxon yang tampak menunggu kabar dengan gelisah. Pria itu memutar gelas kristal di tangan sejak tadi, sedangkan tatapannya kosong menatap ke lantai. Beberapa kali Jaxon juga terlihat meremas gelas dalam genggaman seolah hendak menghancurkan gelas kaca tersebut hingga berkeping.Nicko, Gideon, dan Rey saling lirik, mengerti bagaimana perasaan Jaxon saat ini.Jelas sekali sahabat mereka sedang cemas namun berusaha menutupi.“Apa kau sudah mendapatkan kabar?” tanya Jaxon tiba-tiba entah pada siapa dalam ruangan.Serentak mereka semua menggelengkan kepala sembari mengecek ponsel di tangan masing-masing.“Tunggulah sebentar lagi, aku yakin Mia masih berada di Denver,” ucap Rey dengan nada tenang.Jaxon melemparkan tatapan tajam sembari m
Mia tidak mau melepas kedua lengannya yang melingkar di leher Jaxon, sehingga pria itu terus mendekapnya lama hingga mereka duduk di atas ranjang, dengan diisi suara sisa-sisa isakan tangis Mia yang perlahan mereda.Kedua tangan Jaxon melingkar erat di tengah tubuh gadis itu, sembari membisikan kata-kata lembut yang menenangkan.“Ular itu tidak berbisa, kau tidak perlu takut.”Namun kepala Mia menggeleng cepat.“A-aku … ta-takut u-ular,” isak Mia terbata.“Ssssttt … ular itu sudah dibawa pergi,” ucap Jaxon yang merasa yakin teman-temannya telah mengurus ular tanpa akhlak tersebut. “Biasanya dia sangat tenang berada di sangkar, mungkin Gavin lupa menutup pintunya dan membuat Blacky keluar begitu saja.”Mia mengangkat kepala dan menatap Jaxon dengan mata berkaca-kaca.“B-Blacky …?” tanya Mia di tengah sesenggukan.Jaxon yang gemas mendaratkan kecupan
Mia menatap bingung pada rumah sakit di hadapannya. Beberapa kali dia mengerjabkan mata dan meyakinkan diri bahwa Jaxon membawanya ke rumah sakit, bukan ke Kastil Aurelia.Dia menoleh pada pria yang sejak tadi duduk tenang di sebelah sambil mengobservasi Mia lekat-lekat, seolah tidak ada yang lebih menarik dibanding dirinya.“Kenapa kita ke rumah sakit?” tanya Mia dengan dahi berkerut.Sebelah sudut bibir Jaxon tertarik sedikit ke atas sedangkan matanya tidak lepas menatap.“Aku ingin meyakinkan saja tubuhmu tidak perlu perawatan lanjutan,” jelas Jaxon sembari membuka pintu dan berjalan memutari mobil, menuju ke sisi Mia berada.“Aku baik-baik saja Jaxon, bahkan aku tidak lagi merasakan sakit di kepala,” ucap Mia mencoba bernegosiasi, dia benar-benar tidak ingin mati bosan bila Jaxon akhirnya memutuskan untuk merawat inap Mia kembali.“Bisa saja ada sesuatu yang tidak bisa dilihat mata dan butuh peme
Mia memasuki Aurelia dengan wajah merah padam bagai kulit goji berry.Snow yang melihat kedatangannya menatap Mia keheranan, terutama ketika gadis itu berbicara sendiri seperti menggumamkan hal-hal yang membingungkan.“Manis katanya? Caranya itu membuatku bisa gila!” sungut Mia saat melintas di sebelah Snow yang berdiri membukakan pintu. “Pria licik itu membuatku ingin mengubur kepala di dalam pasir! Bisa-bisanya dia melakukan itu di tengah-tengah lorong rumah sakit!”Gadis itu terus berjalan menuju lantai dua, tanpa menoleh ke sekitar. Dia bahkan tidak sadar jika Gia Leonore tengah duduk di ruang tamu, memperhatikan Mia yang melintas sembari berbicara sendiri tanpa konteks yang jelas.Setelah tubuh Mia menghilang dari pandangan begitu menaiki tangga, Gia pun menoleh ke arah pintu, melihat cucunya yang berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana sedangkan pandangannya ke lantai dua, dimana Mia berada.Tampak sudu