“Ti—Tidak mungkin...” Darah mengalir keluar melalui sudut bibir Eins Stewart. Desperia, senjata yang selama ini paling ia banggakan tampak terempas lepas dari genggaman tangan, sementara sepasang matanya menatap tak percaya pada transformasi sosok yang tengah mencekik erat lehernya.
Claudia En Lacia Ishlindisz memenangkan pertarungan dengan Eins Stewart. Lapisan zirah putih bersih yang melindungi, membuat fisik anak perempuan itu tampak seperti sesosok makhluk asing menyerupai kerangka manusia namun dengan ukuran tulang yang lebih besar, lebih tinggi dan lebih tebal. Duri-duri tulang dengan berbagai macam ukuran terlihat mencuat keluar dari punggung serta sepanjang lengan, menciptakan kesan mengintimidasi yang teramat sangat.
Tepat di samping mereka, tampak sebuah kawah raksasa yang terbuka akibat benturan dua energi yang begitu besar beberapa
“KIRRA!!!” pekik marah Vania menggelegar memenuhi setiap sudut istana.Kirra Anggriawan tak mampu menyembunyikan senyum gembira sewaktu menyambut tamu utama di puncak pestanya itu. Ia membungkuk rendah mengambil Desperia yang tergeletak di atas tanah. Sekejap saja senjata tersebut berubah wujud menjadi sebuah pedang kristal hitam. Kilap sebening kaca tampak di sepanjang mata pedang. Sedangkan warna hitam yang lebih pekat dan padat terlihat di gagang.Di sisi lain, Alvi Veenessa Endley telah siap dengan Vanishia. Senjata berwujud sabit besar itu tak kalah mengintimidasi. Bilahnya yang melengkung tajam siap merobek siapa pun yang menjadi lawannya.“Vania, kendalikan emosimu,” ujar Alvi dalam hati memperingatkan jiwa sang senjata.Vania tidak m
Vice menarik tubuh kecil Claudia ke dalam dekapannya. Dengan tangan kiri yang masih bergelantung pada sebuah rantai besi hitam, ia tampak begitu terampil di setiap pergerakan.Rangkulan lembut sekejap terasa melingkari erat di pinggang Claudia sekaligus memaksa anak perempuan itu untuk membalas dengan hal serupa. Claudia tidak punya pilihan lain selain melingkarkan kedua tangan pada Vice.“Pegang yang erat.” Vice berkata sebelum dirinya melompat menjauhi dinding kawah.Tindakan ekstrem ini tidak pernah diduga Claudia. Anak perempuan itu refleks mengeratkan pelukan sampai-sampai meremas pakaian Vice. Terlebih saat ujung rantai yang satunya lagi melepaskan diri dari tancapan. Namun sebelum mereka sempat jatuh semakin jauh, ujung sang rantai telah bergerak luwes ke titik lain dan mendaratkan &ls
“Selamat datang, Penguasa Kematian.” Kirra menyambut kehadiran sosok baru di hadapannya.Wujud mengerikan setinggi dua setengah meter dengan tubuh yang hanya berlapis kulit kering busuk tanpa daging itu menggeram pelan. Sebuah tanduk yang hanya mencuat di sisi kiri dahi menambah kesan mematikan yang memang sudah secara alami terpancar di wajahnya.Alvi Veenessa Endley dalam kondisi sangat sadar saat perubahan itu terjadi. Darah Kaum Ifrit yang mengalir di tubuhnya menderu deras dan mengubah total seluruh tampilan fisiknya hingga tampak seperti iblis sungguhan. Tidak hanya itu, kekuatan korosif yang merupakan kekuatan murninya sekaligus menjadi satu dari dua kekuatan kematian yang ia miliki pun ikut meluap-luap keluar menyambut kemarahan wanita itu pada sosok Kirra Anggriawan.“Terimalah persembahan
Vice Kyle jatuh berlutut dengan napas tersengal-sengal. Sesuatu yang sepintas terjadi barusan hampir menguras habis seluruh tenaga dan kekuatannya. “Sial, mau sampai kapan kau keras kepala seperti ini?” gumamnya setengah kesal, setengah lega.Mayat hidup yang tersisa di kawah tinggal kurang dari tiga puluh. Seharusnya Vice bisa menyelesaikan dengan lebih cepat seandainya hal mendadak itu tidak terjadi.Satu gerakan melingkar secara horizontal dari senjata rantai panjang mengakhir pertarungan tak seimbang di dasar kawah ini. Senjata berwarna hitam keseluruhan itu menyusut menjadi lebih pendek dan tampak seolah-olah hidup karena bergerak luwes kembali pada Vice. Tingkahnya seperti anak kecil yang meminta pujian setelah melakukan tugasnya dengan sangat baik.Vice mengusap lembut puncak mata rantai yang berb
Sambut tak menyenangkan yang diberikan oleh naga-naga Waldermar disaksikan secara diam-diam oleh raja Kaum Naga itu sendiri. Laki-laki yang terlihat masih sangat muda itu menatap datar menyaksikan perlakuan Kaumnya pada para tamu asing. Bahu kirinya bersandar rileks pada sebatang pohon, sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.“Aku akan menghentikan mereka.” Julius Aditya Kane tak kuasa menahan diri melihat perbuatan para Waldermar. Ia telah maju selangkah ketika tangan kanan Raka Gilbert Vaiskyler menghentikannya.“Tunggu sebentar,” pinta sang raja Kaum Naga tanpa melepas pandangan. Ada suatu hal yang ingin ia pastikan, dan momen ini adalah kesempatan satu-satunya.Dari jauh Alvi tampak bangkit dan melesat sangat cepat hingga Raka sendiri spontan mengernyit takjub. Laki-laki itu ham
Suara pertarungan. Jeritan frustrasi Alvi.Tawa Kirra Anggriawan.Semua itu bersahut tak karuan di dalam kepala Vania mengiringi sisa-sisa kesadaran yang ia miliki. Tubuhnya mati rasa. Luka fatal yang membelah dadanya tak lagi terasa sakit. Bahkan hangatnya genangan darah yang mengalir keluar sudah tidak dirasakan. Lalu, rasa dingin mulai menjalar. Suara langkah kaki terdengar mendekat lalu berhenti. Vania ingin bersuara, ingin menyampaikan kalau ia masih hidup. Namun ambang batas antara hidup dan kematian begitu dekat dengannya. Vania tak bisa berbuat apa-apa selain terus menatap cahaya kecil yang perlahan-lahan menjauh dan memudar. Ia sekuat tenaga mengangkat tangan, berusaha menjangkau cahaya redup yang menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan.“Nyawa Alvi Veenessa Endley adalah segala-galanya. Kali ini aku tidak akan melepaskan tanganku lagi.” Rihan Daniel berkata bersamaan dengan tarikan pelan di ujung kaos lengan panjang yang ia kenakan.Laki-laki itu refleks berbalik dan se
Sebuah kamar tidur di lantai paling atas memiliki pencahayaan serta pemandangan menghadap laut yang paling strategis. Sinar matahari pagi akan langsung menyongsong masuk melalui jendela serta pintu kaca balkon. Sementara pada malam hari, akan ada pemandangan lautan bintang berkelap-kelip di langit gelap, menciptakan ilusi indah yang tak pernah disaksikan Vania bahkan di istana Kerajaan Ishlindisz sekali pun.Suasana bekas markas Samsara yang senyap di wilayah paling selatan Beta Urora sungguh memberi ketenangan tersendiri pada Vania. Wanita itu bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya ia merasa rileks dan sedamai ini. Mungkin sebelum kekacauan di kontinen tenggara terjadi, atau mungkin jauh sebelumnya sewaktu dirinya masih seorang remaja naif. Tapi, duduk bersandar di tempat tidur sambil menikmati pemandangan di luar jendela... apakah dirinya masih pantas mendapatkan kemewahan ini?
“Daniel.” Vania En Laluna Ishlindisz memanggil sambil menjulurkan kepala keluar pintu kamar. Suasana lorong di depan pintu kamar terasa amat sepi dan hening.“Lily?” panggilnya lagi karena sang macan tutul salju juga tak tampak. Bahkan Robo yang selalu siaga di lorong pun tak kelihatan batang hidungnya.Aneh, ada apa dengan mereka? Apa yang sedang Rihan Daniel rencanakan?Vania ragu selama beberapa waktu, mempertimbangkan apakah dirinya harus memanfaatkan kesempatan ini untuk lari atau tidak. Segala kemungkinan yang berhasil dipikirkan tidaklah memberinya alasan untuk tetap tinggal. Keberadaan Alvi sendiri yang belum diketahui semakin membulatkan tekad Vania untuk pergi dari sini selagi bisa.Degup jantung berdetak kencang sewaktu Vania berhasil m