Share

BAB 3 : KEPUTUSAN

"Tomoya akan bertunangan dengan putri direktur rumah sakit!"

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Naya. Tiba-tiba dia merasa jiwanya telah keluar dari raganya untuk sesaat. Naya juga merasa ada sebuah tombak yang telah menghujam jantungnya. Jantung Naya masih berdetak dengan cepat, namun berbeda dengan sebelumnya kali ini jantung Naya terasa sakit, sangat sakit.

"Selamat Tomoya-kun! Jangan lupakan aku kalau nanti kamu sudah sukses!"

Hajime pergi setelah menepuk pundak Tomoya, menyisakan keheningan diantara Naya dan Tomoya.

"Naya..."

Tomoya terdiam sesaat sebelum dia melanjutkan perkataannya.

"Itu..belum diputuskan. Aku.. belum menyetujui rencana mereka..."

Naya mengangkat wajahnya, dia bisa melihat ekspresi Tomoya penuh rasa bersalah. Naya menyadari saat Tomoya mengucapkan kata ‘belum menyetujui’ dan bukan ‘tidak menyetujui’ mengisyaratkan bahwa Tomoya sedang mempertimbangkan pertunangan itu.

Lagipula Naya dan Tomoya tidak memiliki hubungan apa-apa. Tomoya adalah dokter yang hebat dan dia lebih cocok berpasangan dengan seorang putri direktur rumah sakit. Daripada Naya yang jelas-jelas memiliki banyak perbedaan dengannya.

Naya menarik napas panjang, dia lalu tersenyum kepada Tomoya.

"Selamat, Tomoya-senpai. Saya ikut berbahagia dengan pertunangan kalian."

Naya tetap tersenyum walaupun hatinya telah pecah berkeping-keping. Namun, tidak bisa dipungkiri dia merasa tidak nyaman berada dekat dengan Tomoya saat ini.

"Ini sudah malam, sepertinya saya harus pulang. Terima kasih senpai atas bantuannya selama ini. Saya sangat bersyukur bisa berada ditim yang dipimpin oleh senpai."

Naya kembali tersenyum dan membungkukkan sedikit badannya.

"Tunggu, Naya! Aku.... "

Tomoya menahan tangan Naya dan memegangnya erat. Naya merubah cara bicaranya menjadi formal dan itu cukup menyakitkan bagi Tomoya. Tomoya tau jika dia melepaskan tangan ini, dia bisa kehilangan gadis dihadapannya untuk selamanya. Tapi dia masih tidak yakin untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan Naya.

"Boleh aku antar sampai apartemen?" tanyanya ragu.

"Maaf senpai, saya ingin pulang sendiri hari ini."

Naya kembali memaksakan senyumnya, dia melepaskan tangan Tomoya dan membalikkan tubuhnya. Dibelakang Naya, tampak Tomoya memandangi kepergian Naya dengan wajah yang sedih.

***

Angin kencang menerpa tubuh mungil Naya. Naya menarik napas panjang, mencoba menyatu dengan hembusan angin itu. Lalu dia memandangi gedung-gedung tinggi yang berada di bawahnya.

Naya sedang berada di puncak Tokyo skytree town, menara tertinggi yang ada di Tokyo. Tadinya Naya berencana untuk pulang, namun apartemen yang sepi akan membuat Naya terlihat semakin menyedihkan.

"Bahkan gedung-gedung tinggi terlihat sangat kecil dari atas sini. Begitupula kamu Naya, sesulit apapun saat ini  jika kamu bisa melepaskannya akan terasa lebih mudah."

Tess...

Setetes air mengalir dari mata Naya. Naya menghapus air mata itu, namun ribuan air mata lainnya telah siap keluar dari mata Naya. Naya tidak sanggup menahannya lagi, hati Naya terasa sangat sesak. Dia lalu menumpahkan air mata itu dan terisak pelan.

"Ah, aku ingin kembali ke Indonesia."

"Aku tidak ingin kembali ke Indonesia!"

Naya terkesiap, suara Naya keluar bersamaan dengan suara berat lain dan mereka mengucapkan kalimat yang berlawanan. Naya menoleh ke arah sumber suara, di sebelahnya terdapat seorang pria yang sedang menelfon terlihat sama terkejutnya dengan Naya.

Pria tinggi yang mengenakan mantel coklat itu cukup tampan dengan wajah khas Asia tenggara. Dari kalimat yang sebelumnya dia ucapkan, Naya bisa menebak bahwa pria itu berasal dari Indonesia sama sepertinya.

Pria itu tampak memperhatikan Naya. Dia lalu menutup ponselnya dan mengambil sebuah sapu tangan merah dari dalam mantelnya. Lalu dia mendekati Naya dan menawarkan sapu tangan merah itu.

Naya tersadar bahwa dia sedang menangis. Dia segera menundukkan wajahnya. Dia sangat malu mengetahui ada orang lain yang melihatnya sedang menangis.

"Kamu tidak usah khawatir, aku akan berpura-pura tidak melihatmu hari ini."

Pria itu berbicara kepada Naya menggunakan bahasa Indonesia, seraya kembali menyodorkan sapu tangannya. Naya lalu menerima sapu tangan itu dan mengusap air matanya.

"Terima kasih."

"Aku sudah menganggap sapu tangan itu tidak ada. Kamu bisa membuangnya kalau sudah selesai."

Pria itu lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhi Naya. Perkataan pria itu cukup kasar, namun saat dia berbicara menggunakan bahasa Indonesia membuat Naya lebih tenang. Dia merasa kembali ke kampung halaman walaupun masih berada di negeri yang jauh berbeda.

Naya lalu melipat sapu tangan itu dan menimbang apakah akan membuang atau menyimpannya. Saat mengamati sapu tangan itu, tulisan "SUPREMI" mencuat dari balik motifnya.

"Supremi?! Bukankah ini merk terkenal?!" Naya kembali memperhatikan sapu tangan itu lebih detail.

"Haha, pasti ini barang palsu. Tidak mungkin pria tadi memberikan sapu tangan dengan harga yang mahal."

"Benar, ini pasti barang palsu!"

Naya mencoba meyakinkan dirinya sendiri seraya memperhatikan sapu tangan yang sedang dipegangnya. Sapu tangan berwarna merah dengan motif khas Supremi itu terasa sangat halus.

"Tunggu, bagaimana kalau ini barang asli?"

Naya menelan ludah, tidak mungkin dia mengambil barang semahal ini secara cuma-cuma. Dia memperhatikan keadaan sekitar dan bergegas pergi untuk mencari pria itu kembali.

"Aku harus mengembalikan sapu tangan ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status