"Kiya, Sayang!" sapa Elok dengan terburu sambil menghampiri Kiya yang berada di mejanya. "Tolong hubungi Gilang, dan pastikan dia dapat saham yang saya mau.” Kiya yang baru berdiri dari tempat duduknya itu, hanya bisa mengangguk. Belum sempat ia memberi jawaban, tubuh Elok langsung tenggelam di balik pintu ruang kerja wanita itu. Padahal, Kiya baru mau mengabarkan jika Restu baru saja memasuki ruang kerja Elok. Seperti yang sudah-sudah, Kiya mana berani mengatakan tidak pada Restu, karena statusnya hanyalah seorang bawahan di Antariksa. “Kamu lagi!” ketus Elok memilih duduk di sofa terlebih dahulu, karena Restu saat ini berada di kursi kerjanya. “Mau apa lagi? Apa yang kemarin belum cukup? Mau aku tampar lagi?” Tangan Restu langsung terangkat mengusap pipi kirinya. Kemarin, merupakan kali pertama ada seseorang yang menamparnya dengan begitu keras. Bahkan, kedua orangtuanya tidak pernah memperlakukan Restu dengan kasar seperti itu. “Pak Adi mulai turun tangan rupanya.” Restu mendeng
“Mi!” Elok mengetuk kaca pintu mobil yang mulai berjalan pelan. Mencoba menarik handle pintu, dan kembali mengetuk secara bergantian, meskipun tahu itu percuma. “Mami! Jangan, Mi! Mami!”Elok mendesah pasrah dan frustrasi, ketika tidak bisa lagi menjangkau laju mobil tersebut. Sejenak, Elok mengatur napas untuk menenangkan diri. Mencoba berpikir, langkah apa yang harus Elok lakukan agar Joana tidak melakukan hal yang buruk pada Sandra dan calon bayinya.Sebenci-bencinya Elok dengan Sandra, tapi bayi yang dikandung wanita itu tidaklah bersalah. Untuk itu, Elok tidak bisa membiarkan apapun terjadi dengan janin tersebut. Karena Elok tidak mungkin mengejar Joana dengan berbagai masalah yang ada di kantor, maka ia segera menghubungi Harry. “El, Saya—”“Mas,” potong Elok tergesa sambil melangkah cepat masuk ke dalam lobi kantor. “Mami! Kemungkinan besar sekarang dalam perjalanan ke tempat Sandra. Aku yakin Mami mau nyuruh Sandra untuk gugurin kandungannya.”“Oh.”Elok berhenti melangkah.
Brak! Elok terkesiap. Kedua tangannya reflek menyentuh dada, saat mendengar suara pintu ruang kerjanya dibuka secara kasar. Di ujung sana, Elok melihat Kiya memasang wajah pasrah karena memang tidak bisa mencegah Restu yang selalu saja masuk seenaknya. “Sialan kamu, El!” maki Restu sambil menghampiri meja kerja Elok dan berdiri di sudut yang berseberangan dengan wanita itu. “Aku mau pergi,” sahutnya setelah dengan cepat menguasai diri. Elok yang baru saja mematikan perangkat komputernya itu, segera berdiri seraya meraih tas kerjanya. “Dan nggak punya waktu untuk ngeladeni kesialan kamu.” “Berengsek!” Restu kembali memaki Elok. “Hm, aku tahu kamu memang berengsek,” balas Elok tetap menanggapi Restu dengan santai. Lelah rasanya jika semua masalah harus dihadapi dengan emosi yang meledak-ledak. Apalagi, yang dihadapi Elok saat ini adalah Restu. “EL!” Dengan emosi yang sudah memuncak, Restu mengitari meja dan meraih siku Elok yang sedari tadi tidak mengacuhkan dirinya. Wanita itu, si
“Saya tidak mau berpanjang-panjang.” Elok mengambil alih rapat, setelah basa basi pembuka yang selalu saja terkesan membosankan. “Melanjutkan wacana rapat dua hari yang lalu, saya keberatan jika wajah direksi Antariksa mengalami pergantian. Seperti yang sudah saya utarakan juga sebelumnya, saat ini posisi saya juga termasuk pemegang saham dan saya berhak untuk dilibatkan dalam perihal perubahan yang ada di perusahaan ini, tanpa terkecuali.”“Bu Elok.” Fahri akhirnya membuka suara. “Bu Elok tahu sendiri kalau saham kita semakin turun. Belum lagi, ada pihak yang dengan sengaja memprovokasi penyandang dana untuk pecah kongsi. Saya rasa, Bu Elok yang lebih tahu akan hal tersebut.”Elok tersenyum, dan tatapannya beralih pada Restu. “Ya, penyandang dana kita akhirnya menyatakan mundur. Saya juga baru tahu itu dari Pak Restu kemarin. Terima kasih atas infonya.” Setelahnya Elok berdiri dari kursinya, lalu berjalan mundur dua langkah. “Begini Bapak dan Ibu sekalian yang saya hormati.” Elok be
“Sayang!” Elok merunduk sebentar untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Kasih. “Sama tante Kiya dulu ke dalam, ya. Mama, nunggu om Gilang sekalian mau nelpon dulu di sini.”“Iya!” Kasih mengangguk, dan langsung melenggang masuk ke dalam premier lounge bandara dengan percaya diri. Karena sudah terbiasa bepergian, Kasih tidak lagi canggung ketika harus memasuki suatu tempat seperti sekarang. Yang terpenting, ada satu orang dewasa yang sudah diutus Elok untuk mengawasinya.Kiya buru-buru mengikuti Kasih, dan meninggalkan Elok yang langsung mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi Gilang.Sejak Elok berangkat dari rumah bersama Kasih dan Kiya, Gilang sama sekali tidak bisa dihubungi. Pria itu hanya mengirimkan sebuah pesan, sedang berada dalam perjalanan ke bandara. Namun, sampai Kasih dan Kiya sudah memasuki premier lounge, batang hidung Gilang belum tampak juga.Hingga berulang kali Elok menelepon, tapi adiknya itu tidak juga menerima panggilannya.“Malam Bu Elok.”Satu sapaan ramah itu,
“Mama!”Elok segera memeluk Dianti yang tiba-tiba menumpahkan tangis di pelukannya. Tubuh gemetar itu, sungguh membuat Elok merasa bersalah karena sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang Gilang.“Papa!”Belum sempat Elok bertanya tentang keadaan Gilang, ia mendengar Kasih memanggil papanya. Itu berarti, Harry juga berada di tempat yang sama dengan Elok. Karena itulah, Elok mengurai pelukannya dengan sang mama lalu menoleh ke arah mana Kasih berlari. Setelah memastikan Harry juga berada di rumah sakit, barulah Elok mengalihkan fokusnya kembali pada Dianti.“Gilang—”“Papamu lagi … donor, transfusi.” Dianti sampai tidak bisa mengatur ucapannya karena terlalu khawatir dengan putra bungsunya itu.Elok yang mengerti dengan ucapan Dianti, lantas mengangguk. “Mama duduk dulu,” pintanya lalu membawa sang mama duduk pada kursi besi yang di sana.“Gimana Gilang, Ma?” tanya Harry sudah menggandeng Kasih dengan erat.Dianti menggeleng. Mulutnya sudah tidak mampu menjawab ketika mengingat kondis
“Sudah siap buat besok?” Adi menghampiri putrinya yang sedari tadi hanya sibuk dengan laptop dan ponselnya. Sejak siang hari, Elok sudah menggantikan Adi untuk menjaga Gilang yang masih terbaring lemah di ranjang pasien. Sementara Kasih, kini berada di tangan Harry dan keluarga pria itu. “Sudah.” Elok menatap lurus pada ranjang pasien, lalu menoleh pada Adi yang baru duduk di sebelahnya. Pria itu baru saja datang, setelah Dianti pulang ke rumah untuk beristirahat. “El, apa ini semua yang benar-benar kamu inginkan?” Adi menutup laptop Elok yang berada di pangkuan wanita itu. “Maksud Papa, kamu bisa tinggalkan Antariksa dan selesai. Kamu nggak perlu pusing ke sana kemari untuk memenuhi egomu itu.” “Pa.” Elok mengusap wajah lelahnya sebentar. “Setelah semua ini selesai, aku juga mau tinggalkan Antariksa.” “Semua ini?” Adi mengulang inti ucapan putrinya. “Yang mana? Perebutan jabatan, kah? Atau, kamu selesai dengan egomu?” “Aku nggak tahu.” Elok menyingkirkan laptop di pangkuan, lalu
“El, suruh sekretarismu bikini aku kopi satu lagi.”Elok melihat cangkir kopi yang ternyata sudah habis dalam sekejap mata. Tatapan Elok kemudian berpindah pada pria dengan wajah baby face di depannya. Kulit pria itu bahkan jauh lebih bersih dan terawat, daripada Elok yang notabene adalah seorang wanita tulen.“Yakin?” tanya Elok memastikan terlebih dahulu. “Aku nggak mau nanggung kalau kamu sampe murus-murus.”“Mataku berat, anakku rewel semalaman.”“Resiko punya bayi, ya, begitu, itu, Wa,” seloroh Elok langsung menyalakan ponsel, dan membuka sebuah aplikasi chat. Dengan lincah, jemari Elok mengetik permintaan mantan juniornya ketika masih di kampus dulu.Dewa August Lee, anggota dewan yang sebentar lagi akan mengakhiri masa jabatannya.“Tapi, kemaren-kemarin nggak begitu,” sanggah Dewa kemudian menutup matanya, karena sungguh tidak bisa menahan kantuk. “Banguni aku, kalau rapatnya mau mulai.”“Yaaa.” Elok tidak akan lagi memberi protesnya pada Dewa dan membiarkan pria itu menikmati