Share

6 | Kembali Bertemu Ben

        Tetangga di sini suka mengumbar kasak-kusuk, senang dengan urusan orang lain, tentunya mereka yang selalu penasaran dengan sikap diam ku pun ingin tahu ada cerita apa selanjutnya antara aku dan Afrina. Aku hanya mencebik saat memintas langkahku di hadapan mereka yang memenuhi teras rumah mereka melongok ke arah terasku. Mungkin membawanya masuk ke dalam rumahku? Jangan harap! Tentu saja aku tidak akan melakukan hal itu! Afrina memang menarik, kecantikannya sungguh di atas rata-rata. Mungkin itulah yang membuat para tetanggaku itu penasaran. Body nya juga sangat bagus dengan tinggi badan semampai, sungguh mengagumkan. Wajahnya yang ayu berpoles make up yang sangat wajar dan menempel sempurna menambah menarik dirinya dari segala sisi. Tapi aku mengantarkannya hingga kembali keluar ke jalan raya untuk menaiki taxi online yang sudah ia pesan saat berada di rumahku.

     Lirikan curiga deretan para tetangga yang aku lewati ketika mengantarkan Afrina pulang, menggiring tiap langkah kami saat keluar ke jalan raya. Ini sudah tengah malam. Tapi Afrina tetap saja cuek dipandang sebelah mata oleh mereka semua. Aku pun tidak tahu gadis ini seperti apa kepribadiannya, karena sejauh kami mengobrol tentang Anton, Afrina bersikap sopan, tidak binal mendayu ataupun merayuku.

       Ah, sudah sangat jelek nama yang aku sandang sebagai seorang residiv, mantan napi, itu bukan gelar yang bagus yang aku sandang selama ini. Tidak akan aku coreng lebih dalam lagi dengan memasukkan Afrina ke dalam rumah kontrakanku. Lagi pula aku masih sangat fokus dengan tujuan utamaku untuk kembali ke hadapan Keluarga Dewandaru dengan diriku yang baru. Tidak akan pernah aku rusak dengan apapun. Terlebih lagi karena wanita.

     Aku memastikan benar jika Ia benar-benar aman melalui jalan tanpa diganggu preman seperti tadi. Tentu saja aku mengajaknya melintasi jalan lain bukan jalan gelap tempatku menghajar Geng Brewok tadi. Aku mencarikannya jalan lain yang lebih aman, sesudah itu aku memastikan ia menaiki taxi yang benar.  Bahkan aku mencatat nopol kendaraan yang membawa Afrina itu.

.

.

      Ping!

     Pesan dari Afrina pun masuk mengabarkan jika ia sudah sampai rumahnya dengan selamat sehingga aku bisa ikut lega. Dia sungguh mengerti jika dikawatirkan. Dia sempatkan meminta nomor ponselku saat berada di kediaman Anton tadi. Tak lupa ia tetap meminta kabar dari Anton dan keluarganya karena aku tadi sempat mengantarkannya bertemu sejenak dengan keluarga itu untuk menyampikan keprihatinannya.

    Sudahlah saatnya beristirahat. Mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan asa besok.

**

     Cuaca kembali tidak bagus siang ini. Untungnya pundi recehan ku sudah penuh sejak tadi pagi. Saat gerimis tajam menyerang, aku berlari berteduh di tempat istirahat yang disediakan oleh pom bensin dekat aku biasa mangkal. Tubuhku terlanjur basah kuyup lantaran jarak aku berlaru cukup jauh. Hujan ini membuatku tidak awas! 

     Sialnya decit rem sebuah mobil berwarna merah mengagetkan jantungku. Aku melintas masuk ke dalam pom bensin bersamaan dengan mobil itu, dan aku tidak hati-hati rupanya. Untungnya sang sopir mengerem tepat waktu karena aku sadari aku mengagetkannya dengan melintas tiba-tiba. Aku terjatuh. Siku kiriku pun berdenyut meneteskan darah.

       Mobil tersebut mengeloyor melewatiku begitu saja dan berhenti di depan mesin pom untuk mengisi bahan bakar. Sebah tangan dari seseorang berlari ke hadapanku menjulur padaku. Hujan semakin deras aku lansung saja menyambar tangan itu dan berdiri. Aku dan pria pemilik tangan itu pun berlari bersamaan ke tempat yang teduh. Saat aku lihat di balik topi bundarku, aku lihat pria itu adalah Ben? Aku terhenyak canggung.

      "Mas nggak apa-apa, kan?" tanya Ben kepadaku.

      "Nggak kenapa-kenapa, Mas!" jawabku sembari menunduk.

      "Maaf ya, Mas tadi temanku nggak hati-hati nyetirnya, nggak tahu Mas lewat di depan kami!"

     "Nggak apa-apa, saya juga nggak lihat-lihat kalau ternyata ada mobil mau masuk pom!"

     "Ini kartu nama saya, kalau Mas ada luka-luka Mas bisa hubungi saya! Karena siku Mas berdarah semua ini!" tunjuk Ben pada tangan kiri dan kananku.

     Aku sambar kartu nama itu sembari berlalu secepat mungkin dari hadapan Ben. Pemuda itu pun hanya menatapku sembari melengong menaruh kegusaran hingga aku hilang dari pandangannya.

      Dua jam berlalu, kini aku sudah keluar dari kamar mandi umum di kontrakanku. Duduk sambil melipat tanganku ke ketiak karena jari-jariku mengerut terlalu banyak kena air hujan yang dingin. Kemudian memegangi gelas teh panas yang baru saja aku seduh agar pucatnya tanganku bisa segera berkurang. Dari kantong kemejaku yang basah, aku mengeluarkan beberapa uang kertas pemberian Donatur-Terpaksa dan diantaranya ada sebuah kartu nama. Kembali kutemukan kartu nama Ben dan masih terbayang wajahnya yang terlihat terpaku menatapku dari dalam mobilnya begitu aku mengabaikannya tadi siang. Mungkin ia merasa mengenalku, karena aku mengenalnya. Untung saja kartu nama itu tak terlalu basah sehingga masih bisa aku baca tulisan di atasnya. Ben salah satu temanku sekelas saat kuliah. Kami se-angkatan, tapi dia pemuda berkacamata itu terlalu pendiam. Dia sering menyendiri dan tidak punya banyak teman. Seingatku namanya Benjamin Tama Sanjaya. Tepat sama dengan Nama yang sekarang tertera di atas Kartu Nama yang hampir lecek ini.

      Membandingkan keadaanku dan Ben, setidaknya dia lebih baik dariku. Aku tentu saja tidak serta merta menyapanya. Takutnya ia malu di hadapan para temannya lantaran ia tidak sendiri, Ben sedang bersama beberapa rekan sekerjanya di dalam mobil itu. Dan keadaanku yang lusuh sangat jauh dibanding dulu saat aku masih menjadi teman sekelasnya. Aku sangat bersih, kulitku putih bersinar, dan wajahku juga di atas rata-rata kebanyakan pemuda seumuranku.

     Andai aku seperti layaknya teman-teman sekolah atau pun teman kuliahku seperti sekarang? Mungkin aku akan sebahagia mereka. Aku hanya bisa berguman sendiri dan menertawakan nasib yang sedang aku jalani. Hanya saja satu hal aku tidak akan putus asa dengan semua ini. Aku harus menekan semuanya, aku tidak akan mengeluhkan apa yang terjadi. Aku hanya yakin hariku kedepannya akan Indah.

      Untuk kartu nama ini aku simpan sajalah, toh Ben sudah berusaha berbaik hati padaku. Sial tangaku kembali bergetar, ingatanku melambung kembali ke masa lalu saat kuliahku dulu dan masih tinggal di rumah keluargaku, keluarga dengan nama besar pemilik beberapa pabrik besar dengan tenaga kerja sekitar 4500 orang. Bisa dibayangkan bukan keadaanku dulu seperti apa, dengan semua kekuasaan, prioritas, kekayaan, dan fasilitas yang aku punya. Sedangkan kini keadaanku tak lebih dari hanya seorang gembel jalanan yang tak berguna.

     Ping!

     Kembali pesan masuk mengejutkanku. Membuyarkan lamunanku yang bisa menyesatkan ku dalam kesakitan yang parah mengingat keluargaku. Secepatnya aku membuka ponselku, barangkali ini permintaan dari Bu Asih untuk mengantarkan pesanan makanan dari kantor tertentu biasannya Bu Asih akan menghubungiku.

      Tapi itu bukan dari Bu Asih, melainkan Afrina. Aku membacanya dan ia minta diantar besok menjenguk Anton di rumah sakit di mana itu merupakan lokasi rehabilitasi yang hanya bisa dikunjungi dalam waktu-waktu tertentu. Entah mengapa aku memberi balasan bersedia kepada Afrina.

**

Azra Tyas

kritik dan saran selalu dinanti aku tunggu ya

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status