“Gimana ini Mas Aga gak bangun-bangun.” Ben cemas dengan bosnya yang duduk di belakang.
Beruntungnya Ben dapat mengendalikan kemudi mobil walaupun bantingannya sangat terasa.
“Ben,” panggil Aga mengucek matanya.
“Mas Aga sudah bangun?” tanya Ben masih menoleh ke belakang.“Iya. Aku sudah bangun. Apa yang terjadi?” tanya Aga menyadari posisi duduknya tidak seperti awal.“Ada truk bermuatan banyak dan berbeda jalur, tetapi mobil tersebut mengikuti jalur mobil ini. Aku pikir ada orang yang tidak suka denganmu.”“Jangan katakan seperti itu.”“Buktinya truk itu mau menabrak mobil ini.”“Mobil ini baik-baik saja?” tanya Aga.“Tidak. Kaca spionnya pecah dan terjatuh.”“Iya sudah. Nanti akan ada montir datang. Tidak perlu cemas masih ada mobil yang lain.”“Mas Aga tidak sedikit pun merasa cemas?”“Untuk apa? Apa dengan cemas dan memiliki sikap berlebihan bisa mengembalikan mobil dalam keadaan semula? Tidak kan? Santai saja. KitaPlak.“Auw,” teriak Aga memegang pundaknya yang kesakitan.“Kamu kenapa Ben?” tanya Aga masih memegang pundaknya yang kesakitan.“Mas Aga kenapa melihat awanita itu? Mas Aga kenal dengan wanita tersebut.”“Tidak. Aku hanya terpesona saja dengannya.”“Mas Aga bisa diulangi lagi perkataannya,” pinta Ben karena penasaran.“Bagian mana yang diulangi?”“Aku apa tadi?”“Oh, aku terpesona dengannya.”“Mas Aga tidak salah dengan apa yang dikatakan?”“Tidak. Tidak ada yang salah.”“Dari segi mana, Mas Aga bisa terpesona dengan wanita itu?” tanya Ben berbisik.“Dia cantik.”“Aku harus membawamu ke rumah sakit, Mas Aga.”“Untuk apa? Tidak perlu, Ben. Aku baik-baik saja.”“Tidak, tidak. Mas Aga tidak baik-baik saja. Apakah tadi terbentur dimobil? Mas Aga pingsan tadi.”“Tidak. Aku tidak terbentur apa pun.”“Katakan saja, Mas Aga tidak perlu malu.”“Apa yang harus aku katakan? Tidak ada, Ben. Aku baik-baik saja.”“In
“Ayo, Ben. Buruan ada yang mau dikatakan Papa,” ajak Aga buru-buru.“Iya, Mas Aga.” Mereka berdua berlari kecil menuju mobil. Aga melihat Ben segera mengambil kunci mobil.“Kita pulang, Mas Aga?” tanya Ben.“Iya. Kita pulang.”“Baik.”“Tidak perlu buru-buru, Ben. Jangan terlalu santai juga.”“Iya, Mas Aga.” Aga melihat Ben mengendarai mobil sesuai dengan ritme. Tidak buru-buru juga tidak santai. Dia terpikir untuk menghubungi Papa As untuk menanyakan meminta Aga untuk pulang cepat. Aga hanya menekan satu angka dan tersambung pada panggilan telefon Papa As.“Halo, Pa,” sapa Aga secara sopan.“Halo. Kamu di mana Ga?”“Di jalan, Pa. Ini mau pulang. Papa minta pulang ke rumah kan?”“Iya, Ga.”“Pa, kenapa meminta A
Aga diam sejenak sementara mobil masih berada di tepi jalan.“Mas Aga,” panggil Ben melihat perlahan wajah bosnya.“Iya, Ben. Aku mendengarmu. Sebentar.”“Iya.” Aga berpikir untuk menemui youtuber tersebut, tetapi dengan minimnya informasi. Dia berpikir bagaimana cara bertemu dengannya.“Katakan saja, Mas Aga. Bagian mana yang harus aku kerjakan?” tanya Ben. Aga langsung menoleh ke arah Ben. Dia berpikir untuk mencari informasi youtuber tersebut.“Bisa tolong carikan informasi tentang youtuber tersebut? Aku mau bertemu dengannya. Tidak ada salahnya berbicara baik-baik. Jika berbicara secara baik-baik sudah tidak bisa, baru pergunakan cara hukum.”“Bagianku hanya mencari informasi saja?” tanya Ben karena mudah baginya.“Iya, Ben.”“Mas Aga tunggu sebentar.”“Iya, Ben.” Aga melihat Ben dengan cekatan menggunakan ponselnya untuk menghubungi teman-temanny
Tatapan yang dimiliki Aga masih sama tidak berubah. Dia kesal dengan sikap dan perkataan yang dimiliki Etta.“Apakah kamu tidak mau meminta maaf untuk apa yang telah kamu lakukan?’ tanya Aga lagi tanpa tedeng aling-aling.“Minta maaf? Apakah saya bersalah mengatakan apa yang saya rasakan?”“Tidak salah. Hanya saja yang kamu rasakan salah. Aku sudah mengatakannya berulang kali. Jika wine yang kamu minum adalah wine yang dibuat skeitar sepuluh tahun yang lalu. Jadi kamu salah jika melakukan protes sekarang. Rasa wine justru akan semakin nikmat dengan bertambahnya waktu.”“Saya mengatakan yang sebenarnya.”“Aku tidak yakin jika kamu mengatakannya yang sebenarnya. Lakukan perbandingan saja sekarang? Mau? Kita beli wine di sini dengan mereka yang sama. Bagaimana?” tanya Aga menantang Etta. Aga yakin dengan melihatnya saja. Dia tidak berpikir jika Etta akan setuju dengan tantangan yang diberikan oleh Aga. Terlihat dari wajahn
Aga melihat Ben membukakan pintu untuknya. Dia masuk saja tanpa menutup pintu mobil kembali. Dia memukul-mukul jok mobil. Ben yang melihatnya membiarkan dengan begitu adalah cara dia meluapkan emosinya. Daripada tidak sama sekali akan meletus seperti gunung berapi. Aga berusaha mengatur napas dan mengendalikan emosinya.“Mau minum, Mas Aga?” tanya Ben memegang air mineral.“Tidak. Terima kasih.” Aga menatap ke depan dengan pandangan kosong. Ketika dia marah akan meluapkan emosinya dan melupakan seperti amnesia.“Apa yang terjadi Mas Aga?” tanya Ben lembut.“Aku kesal. Kenapa juga orang itu yang harus buat kesal?”“Pakai cara di sana tidak bisa?”“Tidak bisa. Aku tidak tahu lagi. Aku tidak mau memakai cara hukum karena akan mempersulit semuanya. Kalau pihak kita tidak akan sulit dan aku sudah tahu siapa yang melakukan semua ini.”“Siapa Mas Aga? Bukannya Mos?”“Bukan, tetapi bapaknya
“Untuk apa sih dia datang ke sini?” tanya Aga mengerutu. Crekkk. Aga memilih masuk ke kamarnya. Brukkk.“Akh nyamannya kasur ini.” Aga merebahkan tubuhnya di tempat tidur.“Akh, aku tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Bergabung dengan mereka? Tidak akh. Mandi dan tidur.” Aga merancang apa yang harus dilakukannya. Aga mengambil posisi duduk dan melepaskan kaus kaki dan pakaian yang dikenakan. Dia meletakkan di wadah khusus pakaian kotor. Crekkk. Aga berjalan ke kamar mandi dan membersihkan diri. Dinginnya air membuat badannya menggigil dan mempercepat mandinya.“Auw, dingin sekali.” Aga berjalan mengambil pakaian yang akan dikenakan untuk tidur. Aga melihat tumpukkan pakaian tidur yang tidak lama digunakan. Dia mengambil
“Selamat pagi menjelang siang.” Aga menyapa Etta yang masih terkejut karena membawa seseorang di sebelah Aga.“Selamat siang.” Etta menyapa balik masih menatap Aga.“Ada apa Etta menatapku dengan serius?”“Tidak papa,” jawabnya singkat.“Silakan duduk, Pak Roy.”“Iya, Mas Aga.” Aga melihat Etta dengan wajah yang pucat dan tangannya yang gemetar. Dia tidak tahu alasan yang jelas.“Kamu baik-baik saja, Etta?” tanya Aga memastikan orang yang di depannya baik-baik saja.“I-iya, saya baik-baik saja,” jawabnya gugup.“Katakan saja. Jika kamu tidak enak badan. Aku akan membawamu ke rumah sakit.”“Tidak. Saya baik-baik saja.”Aga pikir Etta tahu dan mengenal Pak Roy karena ketika masuk ke restoran sampai duduk matanya tidak lepas dari Pak Roy dan Aga.“Etta,” panggil Aga.
Aga belum mengatakan tujuannya akan ke mana sehingga Ben belum menyalakan mesin mobil.“Ke pabrik saja, Ben. Kita ke kantor dahulu antar Pak Roy.”“Iya, Mas Aga.” Ben baru menyalakan mesin mobil dengan menekan tombol start pada mobil. Aga tidak peduli mau ada yang tersakiti atau tidak. Dia benar-benar merasa dirinya diinjak-injak dan diremehkan. Bahkan ditusuk dari belakang. Dia mengingat jika kemarin Mos berada di rumah.“A, apakah dia datang mencari bala bantuan?” bisik Aga mengepal tangan. Pak Roy yang duduk di sebelahnya sedikit bergeser. Hal yang sama berlaku untuk Ben yang melihat dari kaca spion depan."Mas Aga, mau minum air mineral?” tanya Ben memastikan karena kehadirannya hanya untuk memastikan Aga baik-baik saja."Tidak,” jawabnya singkat dengan nada rendah. Sepanjang perjalanan tidka banyak yang dilakukan Aga. Dia hanya menatap ke arah luar. Sepertin