Penerbangan dari Jakarta ke Malang terasa seperti mimpi. Hanya sembilan puluh menit. Tidak sampai dua jam.
Aku begitu percaya diri akan kemampuanku untuk 'merayu' Gilang sehingga aku hanya membawa sebuah ransel kecil berisi satu pasang baju ganti, dompet dan ponsel.
Ini pertama kalinya aku pergi ke kota ini. Bandara Abdurahman Saleh tidak sebesar yang kukira.
Saat aku keluar dari sana, seorang laki-laki paruh baya berseragam biru menyapaku dengan bahasa Indonesia yang medok, "Taksinya, Mbak?"
"Pak, tahu alamat ini enggak?" Tanyaku sambil menunjukan tempat keberadaan Gilang.
Lelaki itu menggaruk kepalanya sebelum berkata, "Adoh e, Mbak," mungkin ia melihat wajah kebingungan dariku sehingga ia buru-buru menambahkan, "Maksud saya, ini lokasinya jauh, Mbak. Sekitar dua jam dari sini,"
"Dua jam?"
"Jalannya juga lumayan jelek. Mbaknya ini dari stasiun tivi, ya?"
Aku menggeleng, "Saya mau nyari orang, Pak."
Jawaban itu membuat lelaki itu semakin menggaruk kepalanya, "Aneh e, Mbak. Nyari orang kok sampai ke tempat begini,"
"Memangnya kenapa ya, Pak?"
"Ya endak apa-apa, Mbak. Saya cuman heran. Kebetulan adek saya juga mengelola penginapan di sana. Namanya Penginapan Merinda. Mbak besok bisa pergi ke sana. Biasanya orang-orang dari stasiun tivi juga menginap disana."
"Saya enggak ada rencana nginep kok, Pak."
Ia melirik jam tangannya, "Ini sudah jam delapan malam, Mbak. Angkot sudah ndak ada. Taksi saya juga ndak bisa kesana, Mbak."
"Kenapa, Pak? Kalau masalah uang, saya bisa bayar dua kali lipat."
"Waduh ngapunten. Maaf, ini bukan masalah uang. Cuma kalau sudah maghrib, memang endak ada yang berani lewat daerah situ, Mbak."
Dahiku mengkerut mendengar jawabannya. Apa-apaan?
"Saran saya, Mbak. Berangkat besok pagi saja. Bisa nyewa mobil atau naik angkot untuk ke penginapan adek saya itu. Biar nanti diantar sampai ke tempat tujuannya Mbak,"
"Kalau gitu, saya cari taksi lain aja deh,"
Tapi supir taksi itu tersenyum, "Monggo, Mbak. Silahkan saja kalau mau cari taksi lain tapi saya yakin endak ada yang mau nganter,"
Aku tak menjawab dan segera pergi ke supir taksi lainnya. Tapi memang benar, tak ada seorang pun yang mau mengantar. Kebanyakan terkejut mendengar tempat tujuanku. Mungkin karena jaraknya yang jauh itu.
Aku kemudian mencari info persewaan mobil melalui pencarian daring tapi semua tempat sudah tutup saat jam tujuh malam.
Karena tak ada pilihan lain, aku memutuskan untuk mencari hotel terdekat dan menginap sampai besok pagi.
***
Sayangnya, kesialanku tidak berhenti sampai disitu saja.
Tak seorang pun yang mau menyewakan mobil saat aku menyebutkan tujuanku.
Alasannya karena banyaknya perampok disana.Aku sudah mulai menyerah saat ditolak untuk ketiga kalinya oleh tempat persewaan mobil.
Untungnya, seorang perempuan ramah yang berada di balik meja tempat pendaftaran memberiku sebuah saran.
Bahasa Indonesianya terdengar lebih jelas tanpa ada logat sama sekali."Naik angkot saja, Mbak. Yang warna biru. Minta berhenti di terminal Gadang. Terus, naik angkot warna cokelat ke Kalidono. Biasanya, di situ banyak pangkalan ojek yang bisa langsung nganterin Mbak ke sana. Soalnya perampok atau begal di sana, enggak berani nyerang warga lokal,"
Aku segera pergi setelah mengucapkan terimakasih. Kalau bukan demi Gilang, aku takkan pernah mau berdesak-desakan di dalam angkot yang sempit ini.
Bagiku, Malang nampak seperti kota kecil yang berhawa sejuk. Kalau boleh kubilang, lebih banyak hotel dan ruko yang digunakan menjadi restoran di kota ini. Mungkin inilah yang menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata.
Para penumpang di sekitarku berbicara dalam bahasa Jawa yang tidak kumengerti. Beberapa memang menggunakan bahasa Indonesia, tapi tidak banyak.
Jalanannya juga sama sekali tidak macet.Perjalanan menuju Terminal Gadang hanya memakan waktu 30 menit saja dalam jarak hampir dua puluh kilometer.
Kalau di Jakarta..., yah, begitulah.
Petualanganku barulah dimulai saat menaiki angkot cokelat itu. Penumpangnya kebanyakan wanita paruh baya yang membawa banyak barang bawaan.
Aku memeluk ranselku di depan dada dan duduk di ujung bangku penumpang. Dihimpit oleh satu karung besar berisi singkong maupun pisang dan seorang perempuan tua yang gemar mengunyah daun sirih.
Tidak ada masalah berarti selama tiga puluh menit pertama.
Sayangnya sisa perjalanan tidak semulus itu.
Jalannya masih berupa batu gamping berukuran sebesar kepalan tinju.
Perutku terasa diaduk saat angkot sama sekali tidak menurunkan kecepatannya meskipun jalannya berbatu dan kasar.Si supir selalu memencet klakson tiga kali ketika melewati jalan di tikungan tajam yang diapit dengan jurang.
Hal itu membuatku terus menyebut nama tuhan yang dulu enggan ku kenal.
Satu-satunya yang cukup bagus adalah pemandangannya. Sawah luas yang ditanami padi yang menguning. Juga hamparan hijau dari tumbuhan tebu dan jagung yang tinggi.
Aku jadi bertanya-tanya apakah pemandangan ini yang dilihat saat masa kecil Gilang. Kalau iya, aku jadi merasa iri. Karena masa kecilku dihabiskan di dalam rumah yang suram. Berteman dengan rasa sepi.
Kugelengkan kepalaku untuk mengusir kenangan itu. Aku sudah tak ingin mengingat hal itu. Masa lalu itu harusnya sudah terkubur jauh.
Biar nanti kutanyakan masa kecil Gilang.
Aku merindukannya dan ingin segera menemukan lelaki itu dalam pelukanku.Rasanya aku sudah gila.
Padahal kami selalu bertekad untuk tidak bertengkar lagi. Tapi selalu saja gagal. Bahkan hal sekecil apapun bisa menjadi perdebatan.Terkadang aku merasa lelah dengan setiap pertengkaran ini.Enam tahun bersama tak membuat segalanya semakin mudah. Ada kalanya kami merasa asing dan canggung dengan satu sama lain. Kami tak ubahnya seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu situasi yang sama.
Dan kami sibuk pada dunia yang kami buat sendiri. Memberi batas-batas tak nyata yang tak bisa dilewati satu sama lain.
Kali lainnya, kami bisa seharian bercengkerama penuh tawa. Bersama berdansa dengan iringan lagu Frank Sinatra yang sendu. Bertukar pendapat mengenai isu-isu ringan di sekitar kami. Pelukannya yang menenangkan saat aku terbangun karena bermimpi buruk.
Saat-saat semacam itu, hanya dengan kerlingan mata cemerlangnya saja sudah cukup membuat perasaanku meluap.
Meski begitu, aku sendiri jadi penasaran apakah Gilang masih mencintaiku seperti yang sering ia katakan sebelum kami tertidur. Ataukah itu hanya ungkapan kosong untuk mensugesti dirinya sendiri?
"Kalidono.. Kalidono," teriakan kernet itu berhasil memutus lamunanku.
"Saya turun di Kalidono, Pak!"
Angkot itu berhenti tepat di depan pangkalan ojek yang cukup ramai.
Kuulurkan selembar uang dua puluh ribu kepada si supir angkot sebelum aku berlari mendekati salah satu tukang ojek.Tinggal satu langkah lagi sebelum aku berhasil menemui Gilang."Permisi, Pak. Bisa antarkan saya ke tempat ini?" Kataku sambil menunjukkan layar ponselku pada seorang lelaki paruh baya yang memakai jaket oranye.
Matanya memicing sebelum ia bertanya padaku dengan suara serak, "Rumahnya siapa, Mbak?"
"Gilang Rahar-," aku berhenti sejenak Sempat terlupa bahwa dia mengubah namanya beberapa tahun yang lalu. Alasannya karena namanya terdengar kampungan, "Maksud saya, Gilang Raharjodiningrat,"
Wajah tukang ojek itu memucat, "Saya endak mau, Mbak."
"Lho? Kenapa? Apa karena jauh, pak?"
Tapi lelaki itu tak menjawab. Malah salah satu rekannya, yang memakai jaket hijau dengan logo dari salah satu ojek daring terkenal, berceletuk kepadaku, "Mulih wae, Mbak. Mending pulang saja."
Aku mulai kesal dengan perkataannya. Padahal tinggal sedikit lagi dan semudah itu mereka mengatakan hal tersebut padaku?
"Memangnya ada apa sih, Pak? Kok seolah-olah tempat yang mau saya datangi ini sarang setan?"Para tukang ojek itu saling melempar pandang. Akhirnya tukang ojek yang berjaket hijau bertanya, "Kalau boleh tahu, memangnya mbak ini dari mana?"
"Jakarta," sahutku pendek.
"Dari stasiun tivi?" Tanyanya lagi.
"Bukan. Ada orang yang mau saya cari,"
"Ngapunten, Mbak. Maaf kalau perjalanan jauhnya jadi sia-sia. Tapi kalau boleh saya sarankan, lebih baik ya, balik ke Jakarta saja. Soalnya tempat itu memang sarang setan,"
Aku bisa saja menampar tukang ojek kurang ajar itu kalau saja ia sedang bercanda.
Tapi raut wajahnya serius dan malah terlihat sedikit khawatir.Aku melihat layar ponselku dan mendengus kesal saat kulihat hanya ada dua bar sinyal disana.Lalu terlintaslah nama tempat yang kupikir sudah kulupakan."Kalau begitu, antar saya ke Penginapan Merinda,"
Penginapan Merinda nampak seperti rumah biasa. Kecuali ukuran bangunannya yang paling besar diantara pemukiman warga. Tapi sepertinya cukup berlebihan kalau kubilang sebagai pemukiman warga. Jarak antar rumah sangat jauh. Sepanjang perjalanan aku bisa menghitung jumlah rumah dengan kedua tanganku. Daerah ini lebih banyak di dominasi dengan kebun jagung yang luas. Mengingatkanku pada film horror yang diadaptasi dari novel Stephen King yang terkenal itu. Tukang ojek yang mengantarku memberondongiku dengan jutaan pertanyaan. Tapi aku sudah terlalu malas untuk menjawab. Ketika kami sampai di penginapan, ia menolak uang pemberianku dan langsung pergi begitu saja ketika aku turun. "Gak sopan," keluhku sambil melangkahkan kaki ke penginapan tersebut. Papan nama penginapan itu nampak baru saja di cat ulang dengan warna putih dan ditulis dengan cat merah yang mencolok. Di sekelilingku dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Aku tidak
Murni datang di saat waktu yang kurang tepat. Ia membawa troli tiga tingkat yang terbuat dari alumunium kecil yang mengangkut sebakul besar nasi, satu panci berukuran sedang berisi sayur asem, beberapa potong tempe goreng dan semangkuk kecil sambal terasi.Rak keduanya berisi setumpuk piring beserta alat makannya, tiga buah gelas belimbing, dan sebuah kendi besar, dari tanah liat, yang kuduga berisi air putih. Rak ketiganya dibiarkan kosong begitu saja."Silahkan, Mbak." Begitu katanya sambil menaruh piring dan sendok di hadapanku."Ayo, Mbak. Sayur asem buatan Murni dijamin enak dan seger. Cocok untuk menu makan siang.""Terima kasih, Bu. Tapi, saya penasaran mengenai kutukan yang ibu katakan." Kataku sambil menyendokkan nasi ke piring.Murni yang mendudukkan diri di sebelah ibunya, menggelengkan kepalanya,"Oalah, Bu. Kok selalu cerita yang bukan-bukan sih? Mbak Delilah ini c
Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. A
Orang yang mereka panggil sebagai Mbah Garong ternyata seorang wanita yang sedikit lebih tua daripada Bu Minah. Perawakannya tinggi besar dengan rambut putih bergelombang yang diurai begitu saja. Mata hitamnya menatapku tajam saat aku sedang mengelus bekas cekikan di leher. Si pelaku, anak laki-laki itu, pingsan tak sadarkan diri setelah Bu Minah memukul bagian belakang kepalanya dengan gayung. Saking kerasnya pukulan itu, senjata yang dipegangnya pecah menjadi dua. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan Tono dan Mbah Garong tiba di kamar itu dengan wajah panik. Kami semua, kecuali Mbah Garong yang akan 'membersihkan' tempat kejadian, pindah ke kamar bawah. Kami rebahkan anak laki-laki itu di atas kasur. Suasana hening yang menegangkan itu berlangsung cukup lama. Sekembalinya Mbah Garong, ketiga anak yang tersisa langsung menangis saat
Dengan nafas memburu, mataku terbuka lebar. Jantungku berdebar sangat keras seolah sanggup melompat dari tenggorokan.Aku berkedip dua kali saat menyadari bahwa aku sendirian. Langit-langit di kamar juga nampak normal. Mungkinkah ini hanya mimpi?Tak perlu menunggu lebih lama, aku segera mengambil ponsel sebelum melompat dari kasur dan berlari menuju lantai bawah.Aku merasa lega sekali sampai rasanya ingin memeluk Murni, yang kebetulan lewat di koridor bawah, kalau saja ia tidak membawa secangkir teh di atas nampan plastik tersebut. "Oh, Murni! Syukurlah!" Alis perempuan itu terangkat sebelah, "Mbak Delilah? Kenapa? Saya pikir sudah tidur." "Aku bermimpi buruk," Kataku sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk menjelaskan lebih detail. "Kamu mau pergi ke mana? Aku boleh ikut?" Murni mengangguk, "Boleh, Mbak. Anak yang tadi kesurup
"Jangan keras-keras, Mbak." Begitu kata Murni tatkala sebuah pekikan keluar dari mulutku. Palu itu ternyata menyasar pada tembok di belakang pundakku. "Kau ini bikin kaget saja." Kataku sambil mengambil dua langkah menjauhinya. "Maaf, Mbak. Enggak sengaja." Jawabnya sambil tersenyum malu. Ketika aku melihat arah sasaran palunya, alih-alih tembok yang retak, di sana tidak ada perubahan apapun. Padahal aku yakin sekali, dia memukulnya dengan keras. "Ikut aku, Mbak." Kali ini Murni mengatakannya sambil mengembalikan palu itu di tempat semula. "Kemana?" "Sudah ikut saja." "Kau tidak akan mengagetkan aku lagi 'kan?" Murni terkekeh, "Tidak, Mbak." Aku memutar bola mataku dan kembali berjalan mengekori Murni. Dari ruang laundry, kami pindah ke seberang koridor memasuki sebuah pintu bewarna cokelat kal
"Kamu itu tetap saja ceroboh!" Kata Bu Minah pada Murni sambil mencubit lengannya. "Kalau pakai mesin cuci itu ya mbok yang teliti! Masa kamu nyuci ndak pake sabun! Sudah begitu, bajunya kenapa ndak dipisah? Kan jadi kelunturan semua baju sama spreinya! Sini kamu, tak ajarin cara nyuci yang benar."Murni menghela nafas lega, "Oalah, Bu. Kupikir ada apa. Iya, iya. Nanti tak bereskan. Sudah, Ibu istirahat saja."Bu Minah langsung berkacak pinggang. "Kamu itu selalu saja nggampangno semua urusan! Wes lah, ayo balik ke londre.""Tapi, Bu. Saya mau nemenin Mbak Delilah dulu. Kasian ndak berani masuk kamar karena barusan mimpi buruk."Bu Minah lalu mengalihkan pandangannya kepadaku dengan sorot mata ingin tahu, "Mimpi buruk macam apa, Nduk?"Belum sempat aku menjawab, Murni buru-buru menyela, "Mimpi buruk ya mimpi buruk, Bu. Sudah ya, tak balik ke kamar Mbak Delilah."
Menurut cerita Murni, Gilang adalah anak yang pendiam dan cukup pintar. Terlepas dari pengabaian teman-temannya, dia memang hanya berbicara seperlunya. Daripada bermain-maian, ia lebih suka menyendiri dan menenggelamkan diri dalam buku bacaannya di perpustakaan. Bahkan para guru juga memilih untuk tidak berurusan dengannya.Pernah suatu ketika Gilang terlambat masuk sekolah, biasanya anak-anak yang terlambat akan dihukum lari keliling lapangan. Tapi peraturan sekolah itu sama sekali tidak berlaku untuknya. Entah karena sifat abai atau karena orang tua Gilang memberi sumbangan yang besar untuk pengembangan sekolah. Hal ini mengundang rasa iri dari teman-temannya. Namun, mereka lebih memilih untuk diam serta menyimpan perasaan itu dalam-dalam. "Bukankah itu tidak adil? Bukan keinginan Gilang untuk lahir menjadi Rahardjodiningrat, 'kan?Dia seharusmya diperlakukan biasa saja. Tid