"Jadi gimana dong?" tanyaku sambil menggigit donat buatan Dinar yang sialnya, masih terasa enak di keadaan genting seperti ini.
Dinar menghisap rokok filternya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap rokok ke depan wajahku.
Aku terbatuk-batuk karenanya. "Duh, sialan lo! Kalo gue kena kanker gimana?"
"Ya, ke rumah sakit. Duh, capek ya gue harus berkali-kali ngasih tahu lo hal yang sama. Apapun yang terjadi, kumpul kebo tuh cuma bakal ngerugiin pihak cewek!"
"Buset! Kohabitasi, Din. Ko-ha-bi-ta-si,"
"Bodo amat! Rasain tuh akibatnya! Ditinggal 'kan lo sama si Gilang?"
"Tapi, biasanya dia enggak kayak gini. Kita sering berantem tapi dia selalu balik lagi,"
"Berarti dia udah bosen sama elu!"
"Dinar! Brengsek lo!"
"Emang gue brengsek! Cuma gue kagak pernah mau diajak kumpul kebo sama cowok! Karena gue enggak sebucin elu!" Katanya sambil memamerkan cincin emas di jari manisnya.
"Gue juga pengen nikah, setan! Masih belum nemu moment yang pas aja. Cicilan apartemen sama mobil masih belum lunas. Udah gitu perusahaan Gilang juga masih struggling,"
"Yaudah, nikmatin aja pilihan lo. Mana apartemen itu masih pake nama Gilang 'kan? Kalo diputusin, auto jadi gembel deh,"
Aku mencebik tapi tak bisa membalas karena ucapannya benar.Kupikir rasa cinta Gilang takkan hilang seperti yang selalu dijanjikannya.
Sekeras dan seberat apapun situasinya, dia selalu kembali dalam pelukanku.
Duh, Gilang kamu dimana sih?Mungkin Dinar melihat sesuatu di wajahku. Karena tiba-tiba, ia menuangkan wiski ke gelasku. "Dari dulu, gue enggak setuju kalo elu sama Gilang. Semenjak kuliah, dia kayak misterius gitu dan enggak pernah punya temen deket juga,"
Aku menenggak isi gelasku sampai tandas. Membiarkan cairan pahit itu membasahi tenggorokanku. Mengambil alih sedikit kesadaranku, "Dia 'kan anak rantau. Jadi, pasti masih belum bisa adaptasi,"
Baik Dinar dan suaminya memang satu almamater dengan Gilang dan aku. Hanya saja, kami berbeda jurusan.
Aku bertemu dengan Gilang saat acara pernikahan teman suami Dinar. Kuakui, aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Kami bertukar nomor saat itu dan akulah yang pertama kali mengajaknya berkencan.
"Lu masih ngebelain dia?"
"Gue udah enam tahun tinggal bareng dia. Udah hapal segala kebiasaan, sifat, sampe luar dalemnya udah gue khatamin,"
"Dil, gue tahu elu kecewa. Tapi sebagai temen sekaligus rekan kerja, gue enggak mau lo terus-terusan sedih kek gini,"
Pintu apartemen terbuka dan Haidar Kusnohardjo, suami Dinar, masuk dengan membawa kantung plastik berisi belanjaan sambil bersenandung.
Ia datang untuk mencium istrinya lalu mengambil sepotong donat dari piring.
Gerakannya terhenti saat melihatku. Matanya membulat seolah-olah ia baru sadar akan keberadaanku, "Oi, Dil. Udah lama?"
"Mayan," kataku sambil menuang wiski ke gelasku lagi.
"Wah, ada apa nih? Masih sore gini kok udah berani minum?"
Dinar menyikut lengan suaminya dengan kasar, "Udahlah. Biarin aja,"
Tapi Haidar tetap saja terus menggangguku dengan pertanyaannya, "Bukannya lo udah berhenti minu--, Ah, kalian berantem lagi, ya? Atau Gilang minggat lagi?"
"Sayang, jangan gitu. Tadi, dia udah nangis sampe guling-guling di lantai,"
"Kenapa lagi nih sekarang? Rebutan remote ac?"
Aku hampir saja tertawa karena kami memang pernah meributkan hal ini. Gilang tak pernah betah dengan hawa panas sehingga ia selalu menyetel ac dengan suhu dibawah 20 derajat. Aku sih santai saja. Tapi, ketika melihat tagihan listrik yang membengkak, aku murka.
Baik Gilang dan aku, sama-sama memiliki penghasilan sebesar tujuh digit angka setiap bulannya.
Tetapi sebagai 'menteri keuangan' sebisa mungkin aku mengurangi setiap pengeluaran karena tanggungan cicilan yang menumpuk
Gilang biasanya 'ngambek' lalu memilih mengungsi ke perusahaan yang baru dirintisnya selama dua tahun belakangan ini. Tapi, keesokan harinya dia masuk ke dalam rumah seolah tak terjadi apa-apa.
Tiba-tiba setetes air mata jatuh dari mataku. Mungkin alkohol membuat perasaanku lebih emosional dari biasanya.
"Eh sorry, Dil. Gue enggak bermaksud bikin elu sedih. Gilang juga gitu. Sukanya ngabur mulu," Haidar menyerahkan sekotak tisu ke arahku.
Aku menggeleng sambil menghapus air mataku. "Enggak, gue aja yang lebai,"
Dinar dan Haidar saling melempar pandang seolah sedang mengirim sinyal telepati.
"Dil, sebenernya gue tahu si Gilang kemana," kata Haidar memecakan kesunyian yang canggung ini.
"Hah?"
"Waktu itu gue sama Dinar jemput temen di bandara. Terus gue ketemu Gilang lagi ngecek tiketnya di boarding pass. Kayaknya dia balik ke Malang,"
Kepalaku serasa berputar.
Malang? Gilang pulang kesana?Seingatku, ia pernah bercerita bahwa sejak zaman kuliah dulu, ia tak pernah pulang ke rumah. Bahkan saat wisuda pun, ia tak membawa kedua orang tuanya.
Kalau kuingat lagi, Gilang memang jarang menceritakan soal orang tuanya padaku. Kupikir Gilang juga seperti aku yaitu anak yang membenci orang tuanya.
Jadi, aku sama sekali tak menyalahkan atau mencoba mengorek informasi.Yang kubutuhkan adalah Gilang. Bukan orang tuanya.
Tapi kenapa? Apa yang terjadi? Apakah ada anggota keluarganya yang sakit?
Atau mungkinkah, mungkinkah dia melarikan diri?Ini sudah hari keempat semenjak dia menghilang dan ponselnya selalu tidak aktif.
Padahal pertengkaran kami sebelumnya bukanlah hal yang besar.
Aku tidak menyetujui tentang rencananya untuk mengadopsi anjing. Dia berjanji akan merawatnya dengan baik. Tapi apartemen tempat kami tinggal melarang adanya hewan peliharaan.
Gilang sampai menyarankan untuk menjual apartemen yang belum lunas itu hanya karena seekor anjing.
Sebenarnya, aku juga menyukai hewan berkaki empat tersebut.
Tapi di Jakarta ini, mencari apartemen dengan harga murah dan lokasi strategis seperti yang kami tinggali ini cukup sulit.
Gilang saat itu tidak mengatakan apapun. Ia hanya melihatku sebentar lalu pergi tanpa pamit.
Aku sudah membongkar isi kamar maupun lemarinya baik di rumah maupun di kantor.
Hasilnya nihil. Ponselnya sudah tidak aktif sejak itu.
Kemudian sebuah ide melintas di kepalaku. Aku mengambil ponselku dan mulai login ke email Gilang. Tanganku menyentuh kata 'Find my phone' dan benar saja.
Titik merah itu berkedip dan menujukkan sebuah lokasi di kota Malang.
Kenapa cara sederhana ini sama sekali tidak terlintas d otakku?
"Dil, sori ya. Bukannya gue enggak mau ngasih tahu. Tapi, gue rasa Gilang bukan cowok yang pantes buat elu,"
"Iya, gue tahu. Sayangnya, gue udah enggak bisa kalo enggak sama Gilang,"
"Dih, dasar bucin! Kalo lo nanti nyesel, jangan dateng kesini lagi, deh," sergah Dinar sambil menghisap rokoknya lagi.
Aku tersenyum sebelum bangkit dari kursiku, "Thanks ya Din, Haidar juga. Gue balik dulu deh,"
"Gue anter, Dil," tawar Dinar sambil mengulurkan tangan untuk meminta kunci mobilku, "Gue nginep sekalian. Besok kita berangkat kerja bareng,"
"Iya, Dil. Lu juga udah mabok ini," tambah Haidar.
Tapi aku menggeleng.
Aku yakin masih bisa berjalan lurus. Seluruh panca inderaku malah bisa dibilang dalam keadaan waspada.
Saat hampir mencapai pintu, aku menoleh ke belakang mendapati raut wajah kedua sahabatku yang khawatir, "Din, gue mau ambil cuti!"
Dinar mengetuk-ngetuk ujung puntung rokoknya ke dalam asbak. Ia tidak tampak terkejut, "Udah gue tebak bakal kayak gini jadinya. Seminggu ya, Dil. Lewat dari itu, gue pecat!"
Aku terkekeh dan memberi hormat padanya, "Siap, Bos!"
Penerbangan dari Jakarta ke Malang terasa seperti mimpi. Hanya sembilan puluh menit. Tidak sampai dua jam.Aku begitu percaya diri akan kemampuanku untuk 'merayu' Gilang sehingga aku hanya membawa sebuah ransel kecil berisi satu pasang baju ganti, dompet dan ponsel.Ini pertama kalinya aku pergi ke kota ini. Bandara Abdurahman Saleh tidak sebesar yang kukira.Saat aku keluar dari sana, seorang laki-laki paruh baya berseragam biru menyapaku dengan bahasa Indonesia yang medok, "Taksinya, Mbak?""Pak, tahu alamat ini enggak?" Tanyaku sambil menunjukan tempat keberadaan Gilang.Lelaki itu menggaruk kepalanya sebelum berkata, "Adoh e, Mbak," mungkin ia melihat wajah kebingungan dariku sehingga ia buru-buru menambahkan, "Maksud saya, ini lokasinya jauh, Mbak. Sekitar dua jam dari sini,""Dua jam?""Jalannya juga lumayan jelek. Mbaknya ini dari stasiun tivi, ya?"Aku menggeleng, "Saya mau nyari orang, Pak."Jawaban itu me
Penginapan Merinda nampak seperti rumah biasa. Kecuali ukuran bangunannya yang paling besar diantara pemukiman warga. Tapi sepertinya cukup berlebihan kalau kubilang sebagai pemukiman warga. Jarak antar rumah sangat jauh. Sepanjang perjalanan aku bisa menghitung jumlah rumah dengan kedua tanganku. Daerah ini lebih banyak di dominasi dengan kebun jagung yang luas. Mengingatkanku pada film horror yang diadaptasi dari novel Stephen King yang terkenal itu. Tukang ojek yang mengantarku memberondongiku dengan jutaan pertanyaan. Tapi aku sudah terlalu malas untuk menjawab. Ketika kami sampai di penginapan, ia menolak uang pemberianku dan langsung pergi begitu saja ketika aku turun. "Gak sopan," keluhku sambil melangkahkan kaki ke penginapan tersebut. Papan nama penginapan itu nampak baru saja di cat ulang dengan warna putih dan ditulis dengan cat merah yang mencolok. Di sekelilingku dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Aku tidak
Murni datang di saat waktu yang kurang tepat. Ia membawa troli tiga tingkat yang terbuat dari alumunium kecil yang mengangkut sebakul besar nasi, satu panci berukuran sedang berisi sayur asem, beberapa potong tempe goreng dan semangkuk kecil sambal terasi.Rak keduanya berisi setumpuk piring beserta alat makannya, tiga buah gelas belimbing, dan sebuah kendi besar, dari tanah liat, yang kuduga berisi air putih. Rak ketiganya dibiarkan kosong begitu saja."Silahkan, Mbak." Begitu katanya sambil menaruh piring dan sendok di hadapanku."Ayo, Mbak. Sayur asem buatan Murni dijamin enak dan seger. Cocok untuk menu makan siang.""Terima kasih, Bu. Tapi, saya penasaran mengenai kutukan yang ibu katakan." Kataku sambil menyendokkan nasi ke piring.Murni yang mendudukkan diri di sebelah ibunya, menggelengkan kepalanya,"Oalah, Bu. Kok selalu cerita yang bukan-bukan sih? Mbak Delilah ini c
Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. A
Orang yang mereka panggil sebagai Mbah Garong ternyata seorang wanita yang sedikit lebih tua daripada Bu Minah. Perawakannya tinggi besar dengan rambut putih bergelombang yang diurai begitu saja. Mata hitamnya menatapku tajam saat aku sedang mengelus bekas cekikan di leher. Si pelaku, anak laki-laki itu, pingsan tak sadarkan diri setelah Bu Minah memukul bagian belakang kepalanya dengan gayung. Saking kerasnya pukulan itu, senjata yang dipegangnya pecah menjadi dua. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan Tono dan Mbah Garong tiba di kamar itu dengan wajah panik. Kami semua, kecuali Mbah Garong yang akan 'membersihkan' tempat kejadian, pindah ke kamar bawah. Kami rebahkan anak laki-laki itu di atas kasur. Suasana hening yang menegangkan itu berlangsung cukup lama. Sekembalinya Mbah Garong, ketiga anak yang tersisa langsung menangis saat
Dengan nafas memburu, mataku terbuka lebar. Jantungku berdebar sangat keras seolah sanggup melompat dari tenggorokan.Aku berkedip dua kali saat menyadari bahwa aku sendirian. Langit-langit di kamar juga nampak normal. Mungkinkah ini hanya mimpi?Tak perlu menunggu lebih lama, aku segera mengambil ponsel sebelum melompat dari kasur dan berlari menuju lantai bawah.Aku merasa lega sekali sampai rasanya ingin memeluk Murni, yang kebetulan lewat di koridor bawah, kalau saja ia tidak membawa secangkir teh di atas nampan plastik tersebut. "Oh, Murni! Syukurlah!" Alis perempuan itu terangkat sebelah, "Mbak Delilah? Kenapa? Saya pikir sudah tidur." "Aku bermimpi buruk," Kataku sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk menjelaskan lebih detail. "Kamu mau pergi ke mana? Aku boleh ikut?" Murni mengangguk, "Boleh, Mbak. Anak yang tadi kesurup
"Jangan keras-keras, Mbak." Begitu kata Murni tatkala sebuah pekikan keluar dari mulutku. Palu itu ternyata menyasar pada tembok di belakang pundakku. "Kau ini bikin kaget saja." Kataku sambil mengambil dua langkah menjauhinya. "Maaf, Mbak. Enggak sengaja." Jawabnya sambil tersenyum malu. Ketika aku melihat arah sasaran palunya, alih-alih tembok yang retak, di sana tidak ada perubahan apapun. Padahal aku yakin sekali, dia memukulnya dengan keras. "Ikut aku, Mbak." Kali ini Murni mengatakannya sambil mengembalikan palu itu di tempat semula. "Kemana?" "Sudah ikut saja." "Kau tidak akan mengagetkan aku lagi 'kan?" Murni terkekeh, "Tidak, Mbak." Aku memutar bola mataku dan kembali berjalan mengekori Murni. Dari ruang laundry, kami pindah ke seberang koridor memasuki sebuah pintu bewarna cokelat kal
"Kamu itu tetap saja ceroboh!" Kata Bu Minah pada Murni sambil mencubit lengannya. "Kalau pakai mesin cuci itu ya mbok yang teliti! Masa kamu nyuci ndak pake sabun! Sudah begitu, bajunya kenapa ndak dipisah? Kan jadi kelunturan semua baju sama spreinya! Sini kamu, tak ajarin cara nyuci yang benar."Murni menghela nafas lega, "Oalah, Bu. Kupikir ada apa. Iya, iya. Nanti tak bereskan. Sudah, Ibu istirahat saja."Bu Minah langsung berkacak pinggang. "Kamu itu selalu saja nggampangno semua urusan! Wes lah, ayo balik ke londre.""Tapi, Bu. Saya mau nemenin Mbak Delilah dulu. Kasian ndak berani masuk kamar karena barusan mimpi buruk."Bu Minah lalu mengalihkan pandangannya kepadaku dengan sorot mata ingin tahu, "Mimpi buruk macam apa, Nduk?"Belum sempat aku menjawab, Murni buru-buru menyela, "Mimpi buruk ya mimpi buruk, Bu. Sudah ya, tak balik ke kamar Mbak Delilah."