Share

14. Chit Chat With Mom

"Manisnya."

Heaven tidak bisa tidak mengakui hal itu saat menatap kedatangan Jelita dan Dexter yang baru saja turun dari mobil.

Gadis belia itu masih mengenakan seragam SMA dan Heaven juga baru mengetahui ternyata ia memakai kaca mata berbingkai hitam yang membuatnya makin terlihat polos dan menggemaskan.

Pantas saja anaknya sampai tergila-gila seperti itu.

Namun wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang sudah menginjak empat puluhan itu merasa was-was.

Jelita masih terlalu belia. Ia masih sekolah! Apalagi Dexter bercerita bahwa dia yatim piatu yang bahkan dibuang dari panti asuhannya sendiri.

Heaven sudah mewanti-wanti anaknya agar selalu berlaku lembut pada Jelita, karena ia sudah banyak menderita.

Jangan sampai Dexter menambah panjang penderitaan gadis yatim-piatu yang pasti membutuhkan kasih sayang itu.

Dan entah kenapa, Heaven menyukai gadis itu sejak pertama kali melihatnya tertidur di kamar Dexter.

Wajahnya yang polos dan sikapnya yang malu-malu membuat wanita itu yakin bahwa Jelita bukanlah seorang jalang.

Tapi Dexter-lah yang menjadikannya seperti itu.

"Halo, Sayang," Heaven merengkuh tubuh Jelita dan memeluknya hangat.

Rasanya seperti memiliki anak perempuan yang hampir saja ia miliki bertahun-tahun yang lalu. Jika saja Destiny hidup, mungkin usianya tidak terpaut jauh dari Jelita.

Jelita tertegun, sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan pelukan erat dari Heaven.

"Ha-halo, Ma'am..." dengan kaku dan terbata ia membalas pelukan serta sapaan dari ibunda Dexter.

Heaven tersenyum. "Panggil saya tante saja, Jelita."

"Uhm... iya... tante... A-apa kabar, tante?"

Heaven terkekeh melihat Jelita yang gugup. Dengan santai, ia memeluk bahu gadis itu untuk membawanya masuk ke dalam rumah Dexter.

Karena masih sore dan belum waktunya makan malam, maka Jelita minta ijin dulu untuk mandi dan berganti pakaian di kamar.

"Oke. Setelah mandi langsung turun ke sini ya. Kita ngobrol sambil minum teh," ucap Heaven yang dibalas dengan anggukan dari Jelita.

Gadis itu pun segera melangkahkan kakinya menuju lift untuk naik ke lantai empat, kamarnya Dexter.

Heaven menahan lengan anak laki-laki semata wayangnya itu ketika melihatnya ingin menyusul Jelita ke dalam lift.

"Mau kemana?" tanya Heaven sambil menatap tajam anaknya.

"Demi Tuhan, Dexter! Jelita masih lelah setelah pulang dari sekolah. Biarkan dia mandi dan istirahat! Jangan terus mengganggunya."

Dexter mendesah pelan. Sangat tidak menyenangkan jika mamanya ini mulai ikut campur dalam kehidupan pribadinya!

"Mom, aku hanya mau membantunya. Jelita masih bingung dengan tata letak bajunya di walk-in closet," Dexter beralasan sambil tersenyum dan mencium lembut jemari ibunya.

"Boleh, ya?" rayunya dengan mata puppy eyes.

Sekarang malah ganti Heaven yang mendesah. Rayuan Dexter memang selalu dapat meruntuhkan amarahnya, dan pada akhirnya membuat Heaven luluh.

Dexter pun tersenyum menang dan mengecup pipi mamanya sebelum berlari ke arah lift.

***

Jelita sedang mengguyur seluruh tubuhnya di bawah shower dan sama sekali tidak menyadari saat Dexter memasuki kamar mandi dengan perlahan.

Lelaki itu memang sengaja merusak kunci kamar mandi agar dia bisa leluasa masuk ke dalam dan bisa menikmati tubuh indah Jelita seperti sekarang ini.

Gairahnya langsung memuncak melihat Jelita yang sedang menyabuni seluruh tubuhnya sambil bersenandung pelan.

Tubuh mulus itu telihat licin dan berkilau karena air, membuat Dexter benar-benar terpesona dan mulai menanggalkan bajunya satu-persatu.

Entah kenapa ia begitu tergila-gila dengan tubuh Jelita yang belia, ia tidak bisa untuk tidak menyentuhnya setiap saat karena begitu mencanduinya.

Naluri hewan dalam diri Dexter seakan mengaum dengan buas melihat punggung halus dan lekuk cantiknya, membuat lelaki itu ingin segera menuntaskan rasa lapar yang hanya bisa dipuaskan oleh tubuh Jelita.

Gadis itu memekik kaget ketika sepasang tangan kekar memeluk pinggang rampingnya dari belakang.

"Kak Dexter?!" Jelita terkejut saat melihat Dexter di belakangnya, menghujani kecupan penuh gairah di leher dan punggungnya yang polos.

Tangannya sudah menjamah tubuh Jelita kemana-mana, dengan sengaja memberikan sensasi kenikmatan untuk dirinya dan juga gadisnya yang menggiurkan ini.

"Aku kelaparan dan kehausan, Jelita. Ingin memakan dan meminummu sekaligus. Boleh kan?" tanya lelaki itu dengan mata caramel indahnya yang bersinar cemerlang menatap Jelita.

Dan di bawah shower itu, Dexter mengangkat tubuh Jelita, dengan keras menghujamkan miliknya yang telah menegang ke dalam lembah kehangatan gadisnya yang cantik ini.

Gairah benar-benar telah mengambil alih segala logika, menyisakan hasrat liar yang terus mengalir dengan derasnya.

Dexter terus memacu tanpa henti, semakin lama semakin cepat sehingga Jelita pun tak sanggup membendung gelombang yang meletup-letup di seluruh tubuhnya, lalu pecah dan berhamburan di perutnya.

Teriakan Jelita yang memanggil namanya membuat Dexter semakin gila.

Shit!! Gadisnya ini seksi sekali saat sedang mendapatkan pelepasan.

Dan cukup dengan melihat Jelita yang menyandarkan tubuhnya yang lemas dan puas di bahunya, Dexter pun akhirnya juga mendapatkan pelepasan yang sama hebatnya.

Untunglah Dexter hanya menyetubuhi Jelita satu kali, karena kakinya tidak akan bisa menapak jika lelaki itu melakukannya berkali-kali seperti yang biasa ia lakukan.

Apalagi kalau memakai borgol kulit seperti tadi pagi, bisa-bisa Jelita langsung pingsan kelelahan karena Dexter yang tidak bisa berhenti melahapnya.

Dan sekarang Jelita, Dexter dan Heaven sedang duduk di taman belakang yang sangat luas. Bahkan Jelita terkejut saat menyadari ada kolam renang besar di halaman belakang.

Juga ada beberapa kursi malas untuk berjemur dan payung warna putih untuk menahan sinar matahari.

Heaven menyesap chamomile tea-nya sambil terus menatap Jelita yang asik mengunyah biskuit mentega home made rasa jeruk.

Tanpa merasa jengah, Dexter duduk di belakang Jelita sambil memeluk tubuh gadis itu dan menaruh dagunya di bahu Jelita. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang kasmaran.

Ralat, HANYA DEXTER yang terlihat kasmaran.

Sementara Jelita... entahlah. Dia seperti Alice yang terjebak di Wonderland, sebuah dunia baru yang aneh dan mencengangkan bagi jiwanya yang masih polos, berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang membingungkan ini.

Heaven merasa kasihan dengan Jelita. Oh, gadis itu memang sangat menyukai Dexter sudah pasti.

Hanya saja sorot mata lugu itu seperti tersesat dan terperangkap. Ya Tuhan. Dexter pasti telah membuat gadis polos itu dewasa sebelum waktunya.

"Jelita," Heaven memanggilnya sambil menaruh cangkir teh di dalam tatakannya di atas meja. "Apa cita-citamu?" tanya wanita itu.

Jelita menelan biskuit lezat ke dalam tenggorokannya sebelum menjawab pertanyaan ibunda Dexter itu.

"Uhm... jujur saya belum yakin mengenai cita-cita, tapi saya suka membaca tentang hukum internasional dan hukum perdata, Tante," sahut Jelita dengan mata berbinar-binar.

Bola mata Heaven pun membulat. "Wow, kamu menyukai hukum? Itu bagus sekali! Lalu apa kamu sudah memutuskan untuk kuliah dimana?"

Jelita menggeleng. "Saya sudah memasukkan aplikasi beasiswa untuk kuliah di Harvard dan Yale, tapi rasanya pesimis bisa tembus, hehe..." tukas Jelita sambil nyengir.

Dexter yang mendengar ucapan Jelita langsung menegakkan kepalanya. "Kenapa pesimis? Kamu tidak perlu mengandalkan beasiswa, Jelita! Biar aku yang membiayai kuliahmu dimana pun kamu mau. Tugasmu hanya belajar yang rajin agar bisa lulus tes masuknya saja," tukas Dexter panjang lebar.

Jelita terlihat kaget dan langsung menundukkan wajahnya yang merona karena perkataan Dexter barusan.

Sambil membenarkan letak kaca mata, Jelita pun bertanya-tanya. Apa benar pacarnya itu mau membiayai kuliahnya? Serius? Ah, rasanya Jelita seperti sedang bermimpi!

Heaven tertawa pelan melihat sikap malu-malu Jelita yang menggemaskan itu. "Dexter benar. Dia bisa membiayai kuliahmu nanti dimana pun kamu mau, Jelita. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah tahu apa pekerjaan Dexter selama ini?"

Jelita mengangkat wajahnya dan menggeleng kepada Heaven. Ia baru menyadari bahwa sedikit sekali yang ia ketahui tentang Dexter, sementara lelaki itu mengetahui hampir semuanya tentang Jelita.

Ya ampun. Jelita merasa benar-benar egois!

Tiba-tiba Heaven menggeplak kepala anaknya dengan keras. "Kamu ini! Masih saja suka sok misterius," sungutnya.

"Pukul aja terus Mom. Pukul. Anggap saja kepalaku ini samsak!" gerutu Dexter sambil cemberut.

Jelita sebenarnya kasihan dengan Dexter, tapi ia tertawa juga melihat keakraban antara anak dan ibunya ini.

Heaven berdecih, lalu ia menatap Jelita dengan wajah serius. "Kamu tahu kalau ayahnya Dexter adalah CEO Alpha Green Company?" tanyanya.

Jelita mengangguk. Tentu saja ia tahu. Siapa sih yang tidak mengenal sepak terjang seorang William Green dan perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan itu?

"Sayangnya hingga saat ini Dexter sama sekali tidak tertarik untuk melanjutkan usaha keluarga kami. Dia menyukai kebebasan dengan bermain saham," terang Heaven sambil mendengus dan menoyor pelan kepala anaknya.

"Entah bagaimana keberuntungan bisa terus menyertainya. Semoga nasib buruk tidak menimpamu, nak. Kamu tahu kan, banyak trader saham yang bangkrut?"

"Itu karena mereka tidak secerdas aku, Mom. I'm smart. Jangan samakan aku dengan mereka," Dexter menimpali sambil memainkan rambut Jelita yang dikuncir.

Jelita baru mengetahui kalau Dexter seorang trader saham, pantas saja ia tidak terlihat bekerja di kantor. Tapi, bukankah usianya baru 21 tahun? Berarti dia seharusnya masih berstatus mahasiswa, bukan?

Dexter tersenyum melihat Jelita yang menatapnya dengan ekspresi heran. "Aku masih kuliah di Aussie, tapi sedang mengambil cuti saat ini," tukasnya, seakan bisa membaca apa yang dipikirkan Jelita.

"Berarti Kak Dexter akan kembali lagi ke Aussie?" tanya Jelita.

Ada rasa nyeri yang terselip di hatinya saat membayangkan Dexter yang akan pulang ke Australia untuk melanjutkan kuliahnya.

"Hei." Dexter mencubit pipi Jelita dengan gemas saat melihat Jelita seperti melamun."Kenapa? Takut aku tinggalin ke Aussie ya?"

"Memangnya cutimu sampai kapan, Dex?" Heaven mencomot sepotong biskuit lemon dan mengunyahnya perlahan sambil menatap anaknya.

"Masih lama, Mom," jawab Dexter singkat.

Jelita ingin bertanya berapa lama tepatnya, mungkin agar ia bisa menyiapkan hati jika Dexter berniat meninggalkannya dengan dalih kuliah.

Tapi ia memilih untuk menahan diri, nanti saja ia tanya tanpa ada Heaven di antara mereka.

"Meskipun masih lama, tapi aku ingin mengikat Jelita sekarang juga," sambung Dexter tiba-tiba.

"Languange, Dex!" sentak Heaven sambil mendelik pada anaknya.

Dexter tertawa lepas. "Mom, what are you thinking? I mean, 'mengikat' dalam artian bertunangan, Mom!" sergah Dexter, yang sontak membuat Jelita membelalak kaget.

"Bertunangan?" tanyanya sambil menggigit bibir. Apa ia tidak salah dengar? Dexter ingin bertunangan dengannya??

Dexter memandang Jelita dengan tatapan teduh. Satu tangannya terangkat untuk menyelipkan helai rambut halus yang jatuh di kening ke telinga Jelita.

"Maaf kalau nggak romantis. Nanti aku akan menyiapkan engagement proposal yang proper buat kamu, Sayang," ucapnya lembut sambil mengecup ringan pipi Jelita, seringan sayap kupu-kupu, namun begitu manis semanis madu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status