Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.
Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara.
"Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.
Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.
Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal
Sudah tiga hari semenjak Jonathan menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hana. Dan sampai hari ini, dia tidak pernah lagi menjenguk dan menampakkan wajahnya di depan Hana. Dia benar-benar pergi dari hidup Hana, meninggalkan bekas luka yang masih terasa sampai sekarang. Hati Hana terluka bagai disayat-sayat secara paksa.Setelah semua yang dilalui, dia dengan teganya pergi begitu saja dengan alasan tak ingin menyakiti lagi. Nyatanya apa yang menurutnya baik itulah yang membuat Hana semakin tersakiti.Jonathan bodoh— tidak. Hana yang bodoh. Sudah tahu ia tidak layak dicintai, namun masih berani mengharapkan cinta dari lelaki yang berbeda kasta dengannya. Rasakan sendiri akibatnya!Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan suara gemerisik plastik membuat lamunan Hana sontak terhenti. Ia menoleh pada seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.Billy berjalan menghampiri Hana dengan menenteng dua plastik. "Aku membawakanmu bubur a
Usai meminta izin ke toilet, Billy langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Hana. Sebenarnya bukan itu tujuannya.Dan berdirilah ia disini. Di lorong-lorong yang panjang dan cahayanya tampak temaram. Billy menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menunggu seseorang datang. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki seseorang. Billy menegakkan tubuhnya saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya dengan balutan jas nya yang rapi."Kenapa kamu memintaku ke sini? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Jonathan begitu ia telah berhadapan dengan Billy.Billy mengangguk. "Aku ingin menanyakan kepastian hubunganmu dengan Hana."Jonathan menghela napas berat sejenak lalu menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap langit-langit gedung itu."Bil.""Hm?""Kamu tahu situasiku, kan?"Billy terdiam sejenak. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku mengerti. Berada
Hana berlari kembali ke kamarnya setelah tak tahan mendengar apa yang dikatakan Catherine. Tubuhnya yang lemah merosot jatuh ke lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan-tahan kini tak sanggup lagi dibendung. Hana menangis hebat di balik pintu kamarnya. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Setelah Vanesha menghinanya, sekarang Catherine yang ia anggap sebagai Dewi kebaikan ternyata ikut merendahkannya.Hana tak kuat lagi. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik oleh pisau yang sangat tajam. Tak ada yang bisa dipercaya disini. Hana merindukan ibunya dan Windy. Hanya mereka yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus.Hana segera bangkit dan berjalan ke arah meja. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja tersebut lalu duduk di tepi kasur. Hana menelfon ibunya. Setelah beberapa saat, terdengar suara Fatma di seberang sana."Halo, Hana? Ada apa menelpon malam-malam begini?""Ibu...""Iya?""Aku merindukan, Ibu." Hana berusa
Jonathan berlari keluar dari rumah menggunakan payungnya. "Sial. Kemana sebenarnya wanita itu," umpatnya ditengah derasnya hujan. Ia sedang mencari Hana. Semenjak pagi tadi— seusai sarapan, wanita itu langsung pergi dan menghilang dari pandangan Jonathan. Semua penghuni rumah juga mengatakan bahwa mereka tidak melihat Hana. Termasuk Billy yang baru saja pulang entah dari mana."Semoga dia tidak kenapa-napa." Jonathan dengan raut khawatir menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia segera beranjak keluar dari halaman rumah lalu berjalan di sekitar kompleks perumahan.Rasa gelisah menghantui benaknya saat curah hujan kian membesar. Waktu kian berlalu, sudah dua jam Jonathan mencari Hana, namun sampai sekarang ia masih belum menemukannya. Ia berjalan lagi, mengenyahkan niatnya untuk berhenti dan pulang saja. Setidaknya Jonathan harus menemukannya dan memastikan kondisi wanita itu baik-baik saja.Dan saat ia menoleh ke kiri, tak jauh dari tempat ia berada, seorang wanita
Sore itu, Jonathan terdiam dan termenung di atas kasurnya. Matanya menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa sekarang. Jiwanya seakan melayang, hatinya merana akibat keputusan bodoh yang pernah ia buat."Apa aku harus menyesal?" gumamnya pelan dalam keheningan.Jonathan merogoh sakunya dan mengeluarkan kalung yang telah ia buang hari ini. Benar, Jonathan tak sanggup melakukannya. Ia hampir kehilangan akal sehatnya saat kalung itu tenggelam termakan air. Dalam kurun waktu semenit ia berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil benda itu. Seperti orang gila, ia bahkan tak tanggung-tanggung untuk masuk ke dalam got yang kotor dan keruh demi mencari kalung itu.Jonathan menatap kalung itu lamat-lamat. "... atau membiarkanmu pergi? Karena bersamaku hanya akan membuatmu tersiksa," ucapnya lirih sembari mengelus permukan benda itu dengan lembut. Tapi membayangkan kepergian Hana membuat dadanya terasa sesak.Ternyata
Seperti biasa, suasana makan malam keluarga Rutter selalu saja hening. Yang terdengar hanyalah dentingan sendok dan garpu serta piring. Semenjak Jonathan dan Catherine menikah, kediaman Jonathan menjadi sepi. Seperti tidak ada warna terang. Hanya gelap."Cath ..." Akhrinya Vanesha bersuara memecahkan keheningan."Iya,Mom?"sahut Catherine sopan."Apa kamu tidak pernah berpikir untuk melakukan program bayi tabung? Mommymempunyai kenalan yang merupakan seorang dokter.Mommyyakin dia bisa membantumu."Catherine tampak menundukkan kepala. Tidak menyangka Vanesha akan mengatakan sesuatu yang akan menyinggung perasaannya. Setelah beberapa saat kemudian, Catherine lalu mengangkat kepalanya dan menatap wajah mertuanya itu. Ia menyunggingkan senyumannya. "Tidak,Mom.Aku dan Jonathan akan tetap berusaha."Vanesha menghela napas, "Tapi ini sudah tujuh tahun semenjak pernikahan kalian.
Jonathan melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah ruangan yang selama ini menjadi tempatnya menenangkan beban pikiran saat ia sedang bertengkar dengan Catherine dan Vanesha, ibunya.Suara musik DJ yang menggema menjadi lagu tidur penenang baginya dan orang-orang di tempat ini. Ya,kelabmerupakan rumah kedua bagi Jonathan setelah rumahnya dengan Catherine. Tidak, tempat itu tidak layak disebut rumah. Di sana suram!Jonathan menuntun langkahnya masuk ke dalam ruanganVIPyang telah ia pesan. Saat ia masuk, pemandangan yang ia lihat pertama kali adalah senyuman merekah Agung, sahabatnya yang telah ditempeli oleh tiga wanita penghibur. Wanita-wanita itu bergelayut manja pada tubuh Agung seperti perekat yang susah dilepas. "Aku pikir kamu tidak akan datang," sahut Agung.Jonathan menutup pintu dan kemudian duduk di sofa. Berseberangan dengan Agung. "Aku selalu datang tiap malam," balasnya lalu meraih sebotol wine dan men
"Jadi kamu dan suamimu memutuskan pindah ke sini?" tanya Hana sembari mendaratkan bokongnya di sofa. Pandangannya mengedar ke seluruh isi rumah yang terlihat mewah dan elegan."Begitulah," jawab Windy sambil meletakkan jus semangka yang ia buat untuk kakaknya di atas meja. Lalu ia pun duduk di sofa. Windy menatap lamat-lamat wajah Hana, "Sepertinya wajah kakak semakin bertambah cantik saja," pujinya.Hana hanya terkekeh pelan mendengar hal itu. "Wajahmu juga semakin bertambah cantik.""Cantik dari mana? Kakak bisa melihat sendiri wajahku semakin menua dan kusam. Ditambah lagi aku harus mengurus dua anak setiap hari. Wajahku semakin tidak terawat" adu Windy sembari memegang sebelah wajahnya."Itu sudah kodratnya seorang wanita untuk mengurus anak-anaknya. Lagipula di mataku kamu tetap terlihat cantik meski sudah mempunyai duaanak. Aku pernah mendengar perkataan beberapa orang; semakin banyak seorang wanita melahirkan dan menambah keturunan, semakin b