Tubuh Catherine sontak mematung mendengar perkataan Vanesha barusan. "A- apa maksudmu, Mom?" tanya Catherine dengan wajah terkejutnya.
Vanesha semakin mendekat dan menatap Catherine dengan intens. Sorot matanya yang tajam menandakan bahwa ia sedang merencanakan sebuah rencana licik di kepalanya.
"Sudah cukup mommy menahannya selama ini, Cath ..." Ia menjeda ucapannya sejenak, "tidak, bukan mommy, tapi kamu! Dan ini adalah saatnya bagimu untuk meraih kebahagiaan yang selama ini kamu impikan." lanjutnya kemudian.
"Mom, aku sungguh tidak mengerti dengan perkataanmu. Apa yang sebenarnya ingin mommy katakan?" sahut Catherine masih tak paham.
"Anak yang kita temui kemarin. Apakah kamu tahu dia siapa?" tanya Vanesha balik.
Catherine terdiam. Tentu saja ia tahu jika bocah laki-laki itu adalah anak dari Hana, ia tidak yakin dengan ini, tapi sangat mungkin jika anak itu adalah darah daging Jonathan. Catherine
seperti tersengat listrik, tubuh Catherine langsung menegang saat mendengar penuturan Jonathan. Hatinya seperti sedang ditusuk oleh ribuan pedang saat mendengar hal itu.Bulir-bulir air mata mulai mengalir dari kelopak mata Catherine. Kecewa, sedih, marah. Semuanya bercampur menjadi satu di dalam benaknya. Untuk berbicara pun rasanya ia tak sanggup lagi. Melihat bagaimana pembelaan Jonathan terhadap Hana dan Axel barusan seolah memberi arti bahwa Catherine bukanlah siapa-siapa. Pernikahan ini sama sekali tak berarti di mata Jonathan!"Aku yang mempertahankan pernikahan kita dengan susah payah. Lalu kamu dengan semudah itu mengucapkan kata untuk berpisah?""Aku tidak ingin bertahan dengan mereka yang membahayakan nyawa anakku dan wanita yang berarti dalam hidupku!" tekan Jonathan berapi-api lalu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Catherine dengan sejuta rasa sakit."Jonathan ..." Catherine terisak menyaksikan punggung Jonathan yang mulai menjauh.
Hari mulai redup. Axel menatap wajah Hana yang kini tampak memucat. Rasa takut kembali menghantui diri Axel. Ia mulai tak merasakan hembusan napas Hana dari hidungnya."Mama ..." tangan mungil Axel mulai membelai wajah Hana dan merapikan anak rambut yang menghalangi wajah ibunya itu. "Axel mohon jangan tinggalkan Axel sendirian di sini. Axel janji akan menjadi anak yang berbakti kepada mama. Axel janji akan mengukir senyuman di wajah mama. Bangunlah mama, mama terlihat tidak cantik jika tertidur seperti ini."Tak ada tanggapan. Hana masih terdiam kaku sembari terpejam."Mama ..." Tangisan Axel kembali pecah. "Tolong!!!" teriaknya mencari pertolongan lagi. "Please, help my mom!" Sekeras apapun teriakannya, tak akan ada yang mendengarnya di tempat itu. Hanya suara angin berhembus yang menandakan bahwa tak akan ada yang menolong mereka.Axel yang sedari tadi terus mencari bantuan kini hanya bisa tertunduk lesu. Tak ada yang bisa menolong ibunya yang
Di malam yang dingin itu, Catherine termenung seorang diri di dalam apartemennya di New York. Matanya sayu seperti tak ada harapan. Ia seperti seseorang yang tengah kehilangan arah dan kebingungan menghadapi situasi yang tengah menimpanya sekarang. Ponselnya masih menyala dan tergeletak di atas meja, menampilkan sebuah pesan aneh yang dalam seketika mengejutkan dirinya."Kamu membunuh adikmu sendiri, jalang!"Adik … Adik … Adik."Adik?" Catherine menggelengkan kepalanya. "Dia bukan adikku.""Dia bukanlah seseorang yang selama ini aku cari ... Aku tidak mungkin mempunyai adik seperti jalang itu!" gumamnya pada dirinya sendiri."Jikapun memang dialah orangnya, aku juga tidak bersalah! Aku tidak membunuhnya. Ya, aku tidak membunuhnya samabsekali. Aku bahkan tidak menyentuhnya!" Ia mengangguk membenarkan. "Ya. Aku memang tidak membunuhnya."Ia lalu tertawa pelan. "Bagaimana bisa
Jonathan menyuapi Axel dengan sabar. Sebelumnya anak itu menolak untuk diberi makan sebelum mengetahui keadaan ibunya yang sampai sekarang tidak ada kabar. Namun setelah Jonathan berkata bahwa Hana baik-baik saja dan berjanji akan segera menemui Hana secepatnya, akhirnya Axel menurut dan mau memakan buburnya.Ya, setidaknya inilah yang bisa Jonathan lakukan untuk sekarang. Ia tidak bisa membiarkan anaknya kesakitan baik fisik maupun pikiran. Ia harus menghibur Axel sebisanya meski di lain sisi kepalanya sudah tak bisa berpikir lancar. Sebenarnya ia sudah geram dan ingin segera mencari Hana dan menghajar si pelaku. Tapi untuk sementara ia akan menahannya. Biarlah anak buah dan detektif pribadinya yang bekerja saat ini. Ia harus memberikan semangat kepada Axel agar anak itu tenang.Dan saat Jonathan akan menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulut Axel, tiba-tiba...Brak!Jonathan dan Axel sontak menoleh ke
Jonathan memerhatikan Reinald yang tengah menatap kosong ke arah luar jendela pesawat pribadinya. Ya, mereka sedang melakukan perjalanan menuju Amerika.Jonathan tahu bahwa pria itu tengah memendam emosi terhadap Mark— pria yang Jonathan yakini ialah penculik Hana. Di lain sisi, ia pasti tengah memikirkan kondisi Hana yang tidak jelas kabarnya.Saat Jonathan akan mengalihkan pandangannya, tiba-tiba ia melihat dari samping setetes air mata Reinald terjatuh membasahi pipi pria itu."Reinald, kamu ...""Apa yang harus kulakukan?" Reinald mengusap wajahnya frustasi. "Adikku, Krystin ... apa yang harus kulakukan dengannya?"Jonathan menepuk pundak Reinald pelan, "Tenanglah, kita akan mendapatkan Hana kembali.""Kita tidak tahu apakah dia masih hidup!" seru Reinald. "Aku tidak akan sanggup meneruskan hidupku di dunia ini jika kita mendapatkannya kembali dengan kondisi tiada.""Reinald ...""Dia bahkan belum tahu keluarganya yan
Setelah proses pemakaman selesai, Jonathan segera pergi menemui Axel di kediaman Windy dan Dave. Jonathan tak setuju untuk memberitahu Axel tentang kematian Hana. Karena ia tahu anak itu pasti tidak akan siap. Ia masih terlalu kecil dan lemah untuk merasa kehilangan.Tapi dari pihak keluarga Hana tetap memaksa untuk memberitahu Axel tentang hal ini."Mungkin Axel tidak akan siap, tapi ia perlu tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya. Tidak mungkin kita akan terus berbohong tentang kematian kak Hana kepada Axel. Anak itu pasti akan terus menanyakan keberadaan Kak Hana sementara ibunya itu telah meninggal," ucap Windy di hadapan Jonathan."Beri sedikit waktu, Windy. Axel tidak mungkin mendengar berita ini sekarang! Pikirkan kondisi dan juga mentalnya!"Windy menghela napas. "Aku tahu tindakan ini terlalu tergesa - gesa. Tapi Axel berhak tahu atas semua ini dan harus belajar untuk menerimanya. Aku akan memberitahunya pelan - pelan.""Windy kumohon .
Jonathan berdiri di hadapan jendela kaca yang menampakkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi kota.Tatapannya datar seolah terdapat luka dalam dirinya yang tak kunjung sembuh. Mungkin ia akan membawa lukanya itu hingga ia mati sekalipun. Tak ada yang dapat menyembuhkannya. Ia masih terbayang oleh rasa berdosa terhadap Hana. Seandainya ia bisa menukar takdir, ia akan memilih untuk menggantikan Hana yang meninggal. Tapi Tuhan ternyata tidak mengindahkannya.Hana pergi dengan segala kesakitannya. Ia tak sempat mencicipi kebahagiaannya. Satu hal yang Jonathan sesali adalah pertemuannya dengan Hana. Jika mereka tidak bertemu, mungkin Hana masih hidup sampai sekarang dan bahagia dengan keluarganya.Jonathan ingin menyalahkan takdir, bahkan ia ingin menyudahi hidup sialan ini. Tapi... Ia harus bertahan. Axel, anak itu satu-satunya alasan mengapa ia masih harus mempertahankan hidupnya. Jonathan ingin menebus dosanya dengan menjadi orang yang selalu
Mata sayu itu menatap ke sekelilingnya. Ia merasa terlahir kembali ke dunia. Tapi kenapa ia merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang masih membekas? Rasanya begitu sakit. Tapi ia tak tahu mengapa dan apa penyebabnya.Ia tidak tahu siapa dirinya. Dari mana ia berasal? Dimana ia berada? Apa yang sedang terjadi padanya? Kenapa tubuhnya terasa tidak berdaya seperti ini? Kepalanya tidak bisa mengingat apa-apa."Hana? kamu sudah bangun? Ini aku … suamimu."Matanya mengedar ke arah sosok asing itu. Pria itu menatap cemas ke arahnya. Suami? Apa dia pernah menikah sebelumnya? Hatinya bergejolak ingin mengetahui jawabannya. Tapi otaknya tak bisa memberi respon. Ia tidak tahu apa-apa.Pria itu meraih tangannya dan mengelus punggung tangannya lembut. "Aku takut sekali ... Aku pikir kita tidak akan pernah bertemu."Tidak. Ada perasaan aneh yang menghantui kepalanya kala mendengar ucapan pria itu barusan. Kepalanya mendadak pusing. Air matanya perlahan me