Jonathan tumbang di atas tubuh Hana setelah melepaskan penyatuannya. Sekarang sudah menunjukkan pukul empat subuh. Dan itu menandakan bahwa mereka harus mengakhiri pergumulannya sampai disini. Baik Jonathan dan Hana sama-sama bernapas tersengal.
Jonathan mengecup bibir Hana lalu membaringkan tubuhnya di samping Hana yang sedang terkulai lemah. "Kamu benar-benar nikmat." Jonathan merubah posisinya menjadi miring. Ia menatap wajah Hana dari samping. Demi dewa Neptunus, Jonathan tidak bisa untuk tidak mengagumi setiap pahatan wajah Hana. Hidung yang mungil dan mancung, bulu mata lentik serta kelopaknya yang indah membuat wanita itu semakin terlihat menawan. Lalu bibir mungil dan tipis itu, bagian terfavorit Jonathan. Yang menjadi candunya untuk beberapa hari ini. Ah, lengkap sudah keindahan yang ada pada Hana.
Pandangan Jonathan turun ke bawah. Ia menatap dada Hana yang sedang naik turun, menandakan bahwa wanita itu sedang mengambil napas setelah percintaan yang panjang. Jonathan tersenyum. "Kamu melakukan pekerjaanmu dengan baik." Ia mengelus rambut Hana lembut. "Aku pasti akan merindukan kegiatan ini setelah kembali ke Jakarta."
Jonathan meraih amplop putih yang telah ia siapkan dari awal yang tergeletak di atas nakas. Ia memberikan amplop tersebut kepada Hana. "Terimalah."
Tanpa menunggu lebih lama, Hana langsung menerima amplop tersebut dan mendekapnya di dada. Hana memejamkan matanya. "Te- terima kasih," balasnya. Ia benar-benar merasa seperti pelacur murahan sekarang.
Jonathan tersenyum. "Tidak usah berterima kasih. Lagipula memang sudah tugasmu untuk melayaniku dan menjadi kewajibanku untuk membayarmu." Usai berkata demikian, Jonathan memeluk tubuh Hana. "Kemarin kamu benar-benar pulang ke rumahmu dengan hanya berjalan kaki?"
Hana menganggukkan kepalanya.
Jonathan mendengkus, "Jangan lakukan itu lagi. Berbahaya jika kamu pulang sendirian. Apalagi kamu tidak menaiki kendaraan. Bagaimana jika binatang buas tiba-tiba muncul dan menerkammu?"
Kamu lebih menakutkan dibandingkan binatang buas, batin Hana.
"Tidur saja dulu disini. Aku akan mengantarmu besok pagi. Mengerti?" perintah Jonathan dan hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Hana. Setelah itu, Jonathan mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hana.
***
"Terimakasih sudah mengantar saya," ucap Hana pelan. Ia hendak keluar dari mobil, tetapi Jonathan menahannya.
Hana menatap tangannya, "Kenapa Bapak menahan saya?" tanyanya panik.
Alih-alih menjawab, Jonathan lantas membuka sabuk pengamannya dengan tergesa-gesa lalu merapatkan tubuhnya dengan Hana hingga tubuh wanita itu terhimpit. Sial, selama di perjalanan, Jonathan tidak bisa mengendalikan libidonya yang berlebihan akibat mengingat kegiatan intim semalam.
Hana membuka mulutnya, ingin memprotes. Namun Jonathan langsung meraup bibirnya dengan rakus. Hana membelalakkan matanya saat merasakan sesuatu yang keras di bawah sana. Tidak mungkin kan mereka akan melakukannya di dalam mobil ini? apalagi mobil Jonathan berada tepat di depan rumah Hana. Bagaimana jika Fatma keluar dan memergoki mereka?
Hana menggeleng, ia mendorong bahu Jonathan hingga ciuman mereka terputus. Hal itu sontak membuat Jonathan merengut tidak suka. Ia melototkan matanya. "Kamu berani menolakku?"
Hana menggeleng pelan. "Bukan begitu. Kita sedang berada di dalam mobil, bagaimana jika orang-orang datang dan melihat kita?"
Jonathan berdecak. "Kamu bodoh? Orang-orang tidak mungkin bisa melihat kita karena kaca mobilnya terlihat hitam dari luar!" bentaknya.
Hana mengerjapkan matanya. "Ma- maaf. Saya tidak tahu."
"Itulah fungsinya sekolah!" tukas Jonathan kasar. Hana tersentak. Kalimat itu benar-benar menyakiti hatinya. Matanya mulai memerah dan hangat hingga buliran cairan bening itu pun terpaksa keluar dari sudut matanya. Ia sangat sensitif jika seseorang mengatakan sesuatu yang berbau sekolah. Memangnya siapa yang ingin putus sekolah?! Tidak ada yang menginginkannya termasuk Hana. Namun takdir siapa yang bisa lawan? Keadaan membuatnya terpaksa berhenti mencapai pendidikan yang utuh.
"Kamu menangis?!" tanya Jonathan dengan nada tinggi.
Hana menggeleng dan menghapus air matanya. "Tidak."
Jonathan membuang napas kasar. Ia menyeka air mata Hana dengan tangannya. "Dasar cengeng! Begitu saja menangis," geramnya. Jonathan segera melepaskan tubuh Hana lalu kembali memakai sabuk pengamannya. "Cepat keluar!"
Hana menatap Jonathan dengan wajah polos. "Ta- tapi bagaimana dengan yang tadi?"
"Nafsuku sudah hilang. Kita lanjutkan nanti malam saja"
Hana menghela napas lega. Ia hendak membuka pintu dan turun, tapi perkataan Jonathan beberapa detik sebelum ia keluar membuat langkah Hana langsung terhenti. "Nanti malam kamu harus memakai seragam sekolahmu. Ingat itu baik-baik."
Hana mengernyitkan keningnya, untuk apa Jonathan memintanya untuk memakai seragam sekolah?
***
Jonathan melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah gedung yang dipenuhi oleh orang-orang mabuk. Tempat ini sama seperti kelab malam, bedanya adalah tempat ini terbuka 24 jam. Beberapa saat kemudian, Jonathan pun masuk ke dalam salah satu ruangan VIP yang disewa temannya.
"Hey, bung! Akhirnya datang juga." Agung mengangkat minumannya sambil berteriak girang, menyambut kedatangan Jonathan. Terdapat empat wanita cantik dan seksi yang saling bergelayut manja pada tubuh Agung.
"Aw, bos tampan kita akhirnya datang!" teriak salah satu dari empat orang wanita itu.
"Pak, duduk sini saja, Pak."
"Tidak, duduk di sebelah saya saja, Pak."
"Ish, apa-apaan, sih! Pak Jonathan itu cocoknya duduk di dekat aku."
"Ck, Pede sekali!"
"Ayo sini saja, Pak."
"Tidak, duduk di sini saja, Pak."
Agung berdecak kesal menyaksikan wanita-wanita yang ia sewa ternyata lebih memilih untuk merebutkan Jonathan dibandingkan dirinya. Sementara itu, Jonathan hanya bisa terkekeh. Ia pun berjalan menghampiri Agung dan duduk di antara temannya itu dan salah satu wanita seksi yang menggodanya tadi.
Perempuan di samping Jonathan langsung merangkulnya dan menawarkan minuman keras yang langsung diterima oleh Jonathan. Jonathan tersenyum, "Thanks, Baby," ujarnya lalu meminum alkohol itu.
"Wow!" pekik wanita-wanita itu seraya bertepuk tangan. "Bos kita hebat sekali, hanya dengan sekali teguk. Padahal itu alkohol terkuat di tempat ini," puji wanita di samping Jonathan.
Jonathan tertawa. "Itu belum seberapa untukku."
"Cih! Seharusnya aku tidak mengajakmu kemari," sela Agung dongkol lalu meneguk alkoholnya.
Jonathan tertawa sinis, "Salah sendiri mengajakku kesini. Sudah tahu aku tampan dan terkenal di kalangan wanita-wanita, kamu tidak akan kebagian popularitas."
Agung memutar kedua matanya jengah. "Sombong sekali. Bagaimana dengan proyekmu di desa ini? Apakah lancar?" tanya Agung seraya mengalihkan topik.
Jonathan mengangguk. "Tentu saja semua berjalan lancar. Selain mendapatkan tanah dan batu bara, aku juga mendapatkan wanita." Ia menyeringai. "She is eighteen and virgin."
Agung menegakkan tubuhnya, merasa tertarik dengan pengakuan Jonathan. "Benarkah? Muda sekali. Aku kira perawan di desa ini sudah punah, ternyata masih ada beberapa ya ..."
"Kamu pasti akan terkejut saat melihatnya langsung. Aura kepolosannya tidak dapat dihindar," tutur Jonathan, "dan dia luar biasa cantik."
Agung terkekeh. "Aku jadi penasaran dengan gadis itu."
Jonathan berdecak, "Sepertinya kamu perlu menggaris bawahi kata 'gadis' barusan. Karena nyatanya, dia bukan gadis lagi."
Agung membelalakkan matanya. "Jadi kalian sudah melakukannya?"
Jonathan tersenyum sombong, tanpa dijawab pun semua orang sudah tahu bagaimana nasib seorang wanita yang terikat dengan pria ganas macam Jonathan.
Agung menatap Jonathan, "Tapi ... Bukankah sebentar lagi kamu akan kembali ke kota? Itu berarti dia ..." Agung tersenyum licik, tak melanjutkan ucapannya. Ia lalu berkata, "Aku mungkin akan berkesempatan untuk mendekatinya."
Jonathan membelalakkan matanya, yang benar saja! Dia baru mencicipi tubuh wanita itu dan belum mendapatkan kepuasan maksimal. "Kamu boleh mendekatinya, tapi setelah aku membuangnya," sahut Jonathan.
"Kalau begitu kapan kamu akan membuangnya?"
"Setelah aku puas."
"Baiklah. Kapan kamu akan puas?
"Ck, pertanyaan bodoh!" cibir Jonathan.
"Aku serius!" sela Agung.
Jonathan membuang napas kasar. "Yang pasti aku sudah harus puas dan membuangnya sebelum pulang ke kota. Tidak mungkin bukan aku membawanya ke sana?"
Agung tersenyum misterius. "Baiklah, kamu sudah berjanji. Aku akan menunggumu membuangnya."
Windy yang baru saja pulang dari sekolah langsung bergegas masuk ke kamarnya dan Hana begitu mendengar suara ribut yang dilakukan oleh Hana. Alangkah kagetnya Windy saat melihat isi lemarinya dan Hana telah berserakan di lantai."Apa yang kak Hana lakukan?" tanya Windy.Mendengar suara Windy, Hana langsung menoleh ke sumber suara. "Windy? Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan wajah tak enak.Windy berjalan masuk dan menatap pakaian-pakaian itu. "Kak, kenapa kakak membongkar semua isi lemari kita?""Oh, ini?" Hana meringis. "Aku sedang mencari seragam sekolahku yang dulu. Kamu melihatnya?" tanya Hana.Windy menggeleng. "Memangnya apa yang akan kakak lakukan dengan seragam itu?"Hana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sesungguhnya ia juga tidak tahu maksud Jonathan memintanya untuk memakai seragam sekolah malam ini. "Aku juga tidak tahu. Ini permintaan pak Jonathan."Windy tersentak. "P- pak Jonathan?"Hana menganggukkan kepala
Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Kau sudah gila, Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari."Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" Ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai k
Jonathan memutuskan panggilan. Ia menoleh ke belakang, keningnya mengernyit, "Kenapa berdiri di situ? Kemarilah!" serunya tajam kepada Hana.Suara Jonathan terdengar nyaring! Semua orang memerhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Hana. Tatapan para wanita-wanita di sekeliling seolah-olah mengatakan, 'Siapakah wanita dekil itu? Kenapa ia bisa berada dekat dengan pria tampan itu?' seolah memandang rendah padanya.Hana menundukkan kepalanya lalu melangkah maju mendekati Jonathan."Jangan jauh-jauh! Bagaimana kalau kamu tiba-tiba diculik? Saya kan belum puas ..." Ucapan Jonathan terhenti. Bola matanya bergerak kesana dan kemari. Ia menyadari semua telinga yang ada di sekitar mendengarnya. Ia lalu terkekeh, "Belum puas mengenalmu lebih jauh," bohongnya sambil tersenyum lalu merangkul bahu Hana.Para orang tua tertawa mendengar ucapan Jonathan barusan sementara wanita-wanita muda lainnya saling
Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing."Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.Hana menggeleng pelan."Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.Hana mengangguk.Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.Hana mengangguk. "Saya janji."Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia