Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.
Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis.
"Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine.
"Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.
Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.
Billy terkekeh dan menuangan alkohol di gelas kecil lalu menyerahkannya kepada Jonathan. Jonathan mengumpat. "Kamu ini bodoh atau apa?! Memangnya ada orang yang meminum alkohol setelah kepedasan?"
Billy berdecak. "Seharusnya katakan dari awal," ucapnya jengkel lalu bergerak mengambil air dingin di kulkas lalu memberikannya kepada Jonathan.
Jonathan meneguk minuman dinginnya hingga tak tersisa. "Hah…," serunya lega.
"Seperti wanita saja," ejek Billy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum meneguk habis anggurnya.
"Memangnya hanya wanita saja yang bisa memakan rujak?" kata Jonathan dongkol. Ia mengusap-usap perutnya karena kembali merasakan lapar. Tiba-tiba Jonathan berdiri dan berjalan menghampiri kulkas.
Mulut Billy tak bisa berhenti menganga melihat tingkah kakaknya itu.
"Snack?" Billy hampir tak percaya melihat Jonathan membawa macam-macam makanan ringan ke atas meja.
Jonathan mengangkat alisnya, "Memangnya kenapa?"
"Biasanya paling anti dengan MSG. Bukankah kamu pernah mengatakan kalau berat badanmu akan bertambah jika memakan makanan ringan?"
"Masa bodoh," jawab jonathan cuek lalu mulai membuka salah satu dari macam-macam makanan ringan itu dan melahapnya satu persatu. Billy membuka mulutnya lebar. Kakaknya banyak berubah semenjak pulang dari pekerjaannya di desa.
"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya Jonathan sembari mengunyah makanan di mulutnya.
"Seperti biasa. Tidak terlalu buruk, tidak juga terlalu baik. Hidupku tidak terlalu spesial, Bro. Begini-begini saja," sahut Billy.
Jonathan berdecak, "Jawaban macam apa itu," protesnya, "katakan berapa kali kamu membolos?"
"Aku tidak pernah membolos," jawab Billy santai. Jonathan tidak percaya.
Billy tertawa, "Ayolah, apa kamu tidak percaya dengan mukjizat? It's like.. Tuhan tiba-tiba menyadarkanku. Aku tobat, dan boom!"
Jonathan menggeleng - gelengkan kepalanya. Tetap saja, ia tidak percaya dengan Billy. Bocah itu tidak dapat dipercaya.
"Oh, iya ..." Billy menuangkan alkohol ke dalam gelas, "besok lusa Mom akan berkunjung ke sini,"
Jonathan membulatkan matanya, "Besok lusa?" Billy mengangguk membenarkan. Tiba-tiba Jonathan teringat akan Hana. Tidak. Ibunya tidak boleh bertemu dengan Hana. Berbahaya!
"Ada apa?" tanya Billy.
Jonathan menggeleng. "Tidak apa-apa."
"Oh, iya, dimana Hana?" tanya Billy lagi, "aku tidak melihatnya setelah kalian pulang dari jalan-jalan."
"Mungkin sedang di kamarnya," jawab Jonathan.
"Oh, itu dia!" Billy menunjuk Hana yang tiba-tiba muncul. Jonathan memutar kepalanya menghadap Hana. Kening Jonathan mengernyit. "Mau apa kamu ke sini?" Hana menggigit bibirnya, malu untuk mengatakan sesuatu.
"Oh, Sweetie, jangan malu-malu. Katakan saja," seru Billy gemas. Sementara itu Jonathan sudah melayangkan tatapan membunuh.
"Cepat katakan dan jangan menggigit bibirmu seperti itu. Kamu tidak sadar apa, anjing jantan ini sudah terangsang hanya dengan melihatmu menggigit bibir," sindir Jonathan sambil melirik Billy.
Hana menundukkan kepala seraya memilin jari-jarinya. "Saya lapar, Pak," cicitnya malu.
Billy terkekeh. "Kamu lapar? Duduk sini." Billy menunjuk tempat duduk di sampingnya.
Jonathan melotot, "Tingkahmu seperti pemilik rumah saja. Di sini aku yang berkuasa!" seru Jonathan kepada Billy.
Billy memutar kedua matanya jengah. "Ayolah, Kak. Kamu hanya mengulur waktu saja. Kasihan, dia pasti sudah lapar sekali."
Jonathan berdecak lalu menatap Hana. "Duduk sini!" perintahnya sembari menunjuk kursi di sampingnya. Tanpa basa-basi, Hana langsung mengangguk patuh lalu duduk di samping Jonathan. Di seberang sana Billy sudah mendengkus, "Cih, dasar modus," cibir Billy. Jonathan membalas tatapan Billy dengan mengangkat alis sembari memasang wajah penuh kemenangan.
"Luna!" teriak Jonathan dan Billy bersamaan.
"Ne (Ya)." Luna berlari ke dapur setelah mendengar suara teriakan yang lantang. Napasnya terengah-engah. "Ada yang bisa saya kerjakan, Pak?" tanya Luna terputus-putus.
"Berikan makanan terenak bagi si cantik ini," titah Billy sambil melemparkan senyum ramahnya kepada Hana.
Jonathan berdecak, "Tidak usah yang terlalu enak-enak. Biasanya makanan seperti itu tidak sehat."
Luna menggaruk kepalanya, "Jadi yang mana yang harus saya buat?"
Jonathan menatap Luna tajam. "Siapa yang memberi gaji untukmu?" tanyanya.
"Pak Jonathan," jawab Luna.
Jonathan tersenyum. "Bagus, jadi kamu sudah tahu kan ucapan siapa yang harus dituruti?"
"Ne, Pak." Luna mengangguk patuh lalu beranjak pergi untuk memasakkan makanan untuk Hana. Billy mendengkus tak suka. Jonathan selalu saja menang darinya.
***
Hana dan Jonathan duduk berdua di sofa. Keduanya sama-sama sedang menikmati es krim. Jonathan memegang perutnya. Sial! Kenapa ia terus saja merasa lapar? Kalau begini lama-kelamaan berat badannya akan bertambah drastis.
Sementara itu Hana terus menjilat es krim dengan wajah berbinar. Entahlah, Hana bahagia sekali sekarang jika mendapat sesuatu dari Jonathan. Contohnya seperti es krim ini. Jonathan memberikannya kepada Hana setelah selesai menyantap makan siang tadi. Itu terasa spesial bagi Hana.
Jonathan menatap Hana. Oh, tidak. Matanya tak bisa berhenti berkedip menyaksikan lidah Hana yang bergerak lihai membelai ujung es krim. Sesuatu yang di bawah mulai berdenyut.
"Hana," panggil Jonathan.
Hana berhenti menjilat lalu menatap Jonathan. Ekspresinya seolah mengisyaratkan, 'kenapa?'
Jonathan mengumpat. Saat Hana memasang wajah polos tak berdosa, Jonathan langsung ingin memakannya dengan rakus. Seperti sekarang ini. Jonathan menyingkirkan es krim Hana. Ia tersenyum. Ibu jarinya mulai membelai sudut bibir Hana, membersihkan sisa-sisa es krim yang berceceran di pinggiran bibirnya. Jonathan perlahan mendekatkan wajahnya.
Seperti sudah mengerti, Hana langsung memejamkan matanya. Bersiap menerima bibir Jonathan. Tak lama kemudian, bibir keduanya saling menempel. Jonathan melumat bibir Hana dengan rakus. Mereka tidak sadar, di belakang sana sudah berdiri dua orang yang tengah memperhatikan keduanya diam-diam.
"Astaga, astaga ... mereka berciuman!" pekik Luna.
"Ssstt.. pelankan suaramu," tegur Melisa. Ia mengambil ponselnya lalu memotret kejadian tersebut.
"Apa yang kamu lakukan?" bisik Luna.
Melisa terkekeh, "Tidak apa-apa. Hanya untuk menambah koleksiku saja."
***
Jonathan merebahkan tubuhnya di samping Hana. Ia menatap punggung wanita itu yang bergerak naik-turun karena kelelahan.
"Pak ..." Tiba-tiba Hana bersuara.
"Hm."
"Saya rindu ibu dan adik saya."
"Lalu?"
"Apa saya boleh bertemu mereka?"
"Saya akan memberikan ponsel kepadamu. Nanti kamu bisa menghubungi mereka."
"Mereka tidak punya ponsel. Saya mohon, Pak ... saya ingin bertemu dengan mereka secara langsung."
Jonathan mendengkus. "Kamu berpisah dengan mereka baru beberapa hari yang lalu. Tiga hari saja tidak sampai."
"Tapi saya sangat rindu sekali dengan mereka, Pak," rengek Hana. Sebenarnya ia juga tidak tahu dengan dirinya akhir-akhir ini. Tubuhnya seperti ingin dimanja-manjakan dan keinginannya ingin dituruti semua. Kalau tidak, perut Hana pasti akan bergejolak hebat.
Jonathan terdiam sejenak. Mempertimbangkan ucapan Hana barusan. Akhir-akhir ini ia juga tidak bisa untuk menolak permintaan Hana. Dirinya seperti diubah ke mode patuh sejak beberapa minggu terakhir ini. Ia juga tak paham dengan apa yang terjadi pada tubuhnya sekarang. Jonathan tahu Hana pasti akan merindukan ibu dan adiknya di desa. Tapi Jonathan … entahlah, semacam rasa tidak rela Hana pergi jauh-jauh darinya.
Jonathan meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas lalu menghubungi seseorang. "Halo," ucapnya rendah.
"Iya. Aku minta kalian siapkan Helikopter besok. Kita akan melakukan perjalanan pp."
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo
Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara."Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal