“Eh, Nggi.” Ucap Bentara, dia menoleh ke arah gadis yang memanggilnya itu, “Mau balik.” Lanjutnya menjawab pertanyaan Anggi, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Lara, namun Lara tak lagi terlihat.“Tunggu dulu.” Tahan Anggi.“Kenapa?” Tanya Bentara.“Aku khawatir kalau kamu harus pulang sendirian, Ben.” Jawab Anggi. “Kamu pulang sama Sen atau Ferdy, ya. biar aku telepon mereka.” Lanjutnya.“Ih, jangan. Ngapain.” Ucap Bentara.“Ya, aku takut, Ben. Aku takut kalau-kalau di jalan nanti kamu ketemu orang itu lagi.” Jelas Anggi.“Nggak apa-apa, Nggi.” Ujar Bentara, “Nggak usah terlalu khawatirin aku, aku cowok. Aku bisa jaga diri aku sendiri.” Lanjutnya.“Kamu babak belur gitu, itu yang namanya bisa jaga diri?” timpal Anggi.“Nggi, please stop.” Gumam Bentara, “Aku capek, mau balik sekarang juga. Nggak usah nyiptain ketakutan berlebihan di kepala kamu sendiri.” Lanjutnya.Setelah itu Bentara melangkah pergi. Anggi hanya memandangnya tanpa mampu berkata-kata lagi. Lagi pula, apa lagi y
Lara hanya dapat tersenyum. Meski ucapan Mas Gala terdengar bagai gombalan yang sangat klise, tetapi itu tetap berhasil membuat wajahnya memerah. Lara berusaha mencari topic pembicaraan lain agar dia bisa menyamarkan kesalahtingkahannya. Perlahan-lahan Lara mengangkat wajahnya dan menatap layar ponsel, Lara langsung disuguhkan oleh dua pasang mata cokelat yang sangat membuatnya terpesona.“Mas Gala?” Lontarnya.“Ya, sayang cantiknya Mas?” Ujar Mas Gala.Lara tergelak mendengar ucapan bucin yang kembali keluar dari mulut Mas Gala.“Kenapa mata Mas Gala cokelat?” Tanya Lara.“Semua mata orang di negara ini kan cokelat, Ra.” Jawab Mas Gala.“Masa sih, mataku enggak.” Ucap Lara.“Coba kamu litany dibawah sinar yang terang.”“Tapi mata Mas Gala walaupun nggak di bawah sinar yang terang, tetap cokelat. Cokelat jelas banget.” Ujar Lara.“Berarti mata Mas Gala cuma lebih terang aja dari yang lain. Keturunan kali, karena mata Ibu juga kayak gini warnanya.” Jelas Mas Gala.“Oh, ya?”“Iya.”“Kat
Setelah sistem lockdown di terapkan oleh pemerintah, semua warga (harusnya) menjalankan aktivitasnya di rumah. Tetapi sangat banyak masyarakat yang berontang mengecam sistem kerangkeng itu. Sangat banyak pekerjaan yang tidak mungkin bisa dijalankan jika hanya di rumah saja. Mungkin para pegawai tidak akan terlalu mempermasalahkan, karena pekerjaan mereka bisa dikerjakan di mana saja, asalkan terhubung dengan jaringan internet. Namun bagaimana dengan para pedagang kaki lima pinggir jalan? Mereka masih berusaha keras mencuri-curi kesempatan untuk berjualan dan semakin kerap dikejar-kejar petugas. Para buruh pabrik terkena PHK besar-besaran, sedangkan mereka harus memberikan ponsel pada anak-anaknya untuk belajar online. Masih banyak lagi profesi yang terancam dihilangkan sementara, entah sampai kapan pandemi ini berakhir. Masih banyak nyawa yang terancam, tingkat bunuh diri menjadi tertinggi pada enam bulan terakhir, semenjak sistem lockdown diberlakukan.Pemerintah seakan terjebak disi
“Lara harus mau juga Mas kasih sesuatu.” Ucap Mas Gala.Terdengar dari seberang telepon Lara tertawa kecil.“Okay, deal.” Balas Lara.“Udah larut malam, Ra. Tidur, ya?” Ucap Mas Gala, “walaupun besok nggak kemana-mana tapi kan tetap banyak yang harus dikerjakan.” Lanjutnya.“Iya, baik, Mas.” Jawab Lara, “Mas Gala juga tidur, ya.” Lanjutnya.“Mas nanti sayang.”“Nanti kapan?”“Nggak tahu kapan, sengantuknya aja.”“Mas Gala selalu gitu.” Dengus Lara yang kesal.“Gitu gimana, Ra?” Tanya Mas Gala.“Nggak pernah peduliin kesehatan.” Jawab Lara.Mas Gala tertawa kecil di seberang telepon.“Iya deh, sayang.” Ucapnya, “Mas coba tidur, ya.” Lanjutnya.“Gitu dong sekali-kali dengerin Lara.” Lontar Lara.“Iya, iya bawel. Jangan marah lagi, ya?”“Iya, Mas.”“Kiss me.” Ucap Mas Gala.“Hah? Apa?” Lara tidak percaya dengan apa yang didengarnya.“Good night, Ra.” Jawab Mas Gala dengan jawaban yang tak sebenarnya.“Oh, good night, Mas Gala.” Ujar Lara yang tak ingin memperdebatkannya.Telepon terputu
“Berapa?” Tanya Lara.“Dua puluh …” Jawab Mas Gala terjeda, “Lima.” Lanjutnya.“Hah?”“Dua pulu lima.” Ujar Mas Gala, “Silisih usia kita sangat jauh, Ra. Dua puluh lima.” Lanjutnya.“Mas Gala bercanda kan?”‘I’m serious, Ra.”Lara terdiam, dia masih belum menerima bahwa pernyataan Mas Gala tadi bukan merupakan candaan. Itu konyol, pria dengan wajah seperti itu mengaku bahwa usianya nyaris lima puluh tahun. Benar-benar tak masuk akal, Lara kembali mengigat struktur wajah Mas Gala yang bahkan terlihat tidak jauh dari usia Lara sendiri. Dia sangat muda, saat tertawa tidak ada kerutan di kedua belah sisi matanya, apalagi uban-uban yang harusnya sudah bermunculan di usia seperti itu, meski bisa saja dia memakai semir rambut ataupun skincare anti aging. Tetapi semua itu tidak begitu penting dibandingkan keresahan Lara yang lain, soal omongan ibunya.“Jangan sekali-kali kamu menikah dengan pria yang paut usianya sangat jauh lebih tua, ibu tidak mau nasibmu sepertiku.” Kalimat ibunya itu tern
“Ra, are you ok?” Tanya Mas Gala.“Iya.”Mas Gala berdehem dan tertawa kecil.“Lara khawatir, ya?” Tanyanya. “Kamu tenang aja ya, Ra. Itu semua Mas rasakan sebelum kenal sama kamu, sebelum mencintai kamu. Sekarang semuanya udah berubah, kamu beda, Ra, kamu bisa mengubah cara pandang Mas terhadap dunia. Mas jadi paham sekarang, kalau Mas butuh wanita dan wanita itu kamu.” Jelas Mas Gala dengan panjang lebar.Lara teridam, tak mampu mendeskripsikan kegembiraan yang dirasakan setelah mendengar ucapan itu melalui kata-kata. Air matanya tak kuasa untuk jatuh, haru menyelimuti dadanya. Hanya suara sesenggukan yang terdengar oleh Mas Gala.“Lara nangis?” Tanya Mas Gala, “Kok nangis, sayang. Ada kata-kata Mas yang nyakitin kamu, ya, Ra?” Lanjutnya.“Enggak, Mas.” Jawab Lara, “Lara nangis karena terlalu bahagia punya kamu.” Lanjutnya.“Syukurlah.” Ucap Mas Gala. Meski Lara tak melihat, dia tetap melengkungkan senyuman.“Mas Gala, makasih, ya.” Ujar Lara.“No, Ra. Mas belum pantas menerima ucap
“Jangan lupa makan malam, ya, sayang.” Ketik Lara, lalu dia mengimkan pesan itu kepada Mas Gala.Malam itu, selepas mengerjakan semua tugasnya, baik tugas perkulihan maupun tugas pekerjaan, seperti biasa Lara ingin melepaskan penatnya dengan bercengkrama bersama Mas Gala. Sekarang tak ada lagi canggung ataupun sungkan jika Lara menghubunginya terlebih dahulu, karena hubungan mereka sudah berjalan satu tahun setengah. Namun, malam itu sedikit berbeda, Lara tak pernah mendapatkan balasan lebih dari setengah jam dan sekarang dia harus mendapati bahwa pesan yang dikirimnya dua jam lalu tak mendapat jawaban.Perasaan khawatir mulai menyelmuti hatinya, meski malam sudah cukup larut, Lara tak berminat untuk tidur, matanya masih menyala dan kepalanya di penuhi tanya. Lara terus-terusan coba menghubungi Mas Gala, menggunakan semua akun media sosialnya. Namun jawabannya nihil, semuanya tak mendapatkan jawaban. Mungkin saja jika rumah mereka tak berjarak begitu jauh, Lara pasti akan menemui p
Meski komunikasinya dengan Mas Gala semakin berkurang, Lara tak mengkhawatirkan apapun. Tentang kesetiaan itu, ia yakin Mas Gala bisa untuk dipercayai. Asalkan, menurut prinsipnya sibuk adalah hal yang wajar tetapi tidak sempat mengabari dalam waktu dua puluh empat jam adalah kemustahilan. Jadi sesingkat apapun pesan yang dibalaskan oleh Mas Gala ke ponselnya dalam satu, itu sudah lebih dari cukup untuknya.“Wah, udah mau jadi relawan. Berarti Lara udah semester enam, ya, semoga tahun depan udah jadi sarjana, ya. semoga besok hasil test-nya bagus dan Lara bisa lulus.”“Lara jaga kesehatan selalu, ya!”“Maaf mas baru sempat balas.”“Mas sayang Lara!”Deretan pesan beruntun itu masuk ke ponsel Lara pada pukul tiga dini hari, saat Lara terlelap dalam balutan selimutnya di kasur. Ia baru membacanya esok pagi dan itu seakan menjadi amunisi untuk menambah semangatnya mengikuti tes kesehatan. Lara semakin percaya diri bahwa dia akan lulus, terlebih dia tak sedang merasakan gejala-gejal