"Aku akan melamarmu pada Raia atau Rianna. Aku akan menikah denganmu." Ucap Ilker tegas yang seketika membuat Ajeng terbelalak dan berdiri dari tempatnya. "Tidak!" Jawab Ajeng dengan suara tercekik. Gadis itu terlihat begitu panik. Ilker berdiri dari duduknya dan memandang Ajeng dengan bingung. Begitupun sebaliknya Ajeng. Ia memandang Ilker dengan tatapan takut. "Apa maksudmu?" Tanya Ilker heran. Ia tidak menduga akan mendapatkan penolakan secepat itu. Dan jujur, ego Ilker sedikit terluka saat mendengarnya. "Anda tidak boleh melakukan itu." Perintah Ajeng dengan tegas. Matanya masih memancarkan ketakutan. "Ajeng, setelah apa yang terjadi.." Ilker berusaha menjelaskan namun Ajeng memotongnya dengan cepat. "Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa, Sir." Perintahnya lagi yang membuat Ilker seketika shock dan memandangnya tak percaya. "Tidak terjadi apa-apa?!" Tanya Ilker kaget. Ia lagi-lagi merasa tersinggung. Setelah hal luar biasa yang terjadi diantara mereka, bagaimana bisa Aje
Sejak malam itu, Ajeng benar-benar menjaga jarak dari Ilker. Saat di kantor, ia berusaha berkomunikasi dengan Ilker sesingkat yang ia bisa. Dan saat di rumah, ia juga berusaha untuk tidak berada di ruangan yang sama hanya berduaan saja. Dan saat akhir pekan, dimana ia kuliah, barulah Ajeng merasa bisa bernapas lega. Tapi jika Ajeng bisa bernapas lega, maka berbeda halnya dengan Ilker. Selama beberapa hari terakhir ia merasa sangat lelah selalu kucing-kucingan dengan Ajeng. Gadis itu bersikap begitu dingin padanya dan bahkan tak mau menatapnya, tapi hal itu bukannya meringankan nafsunya, namun justru malah membuat pikirannya semakin liar. Bayangan bercumbu dengan Ajeng di kantor setiap ada kesempatan membuat tubuh Ilker sakit. Dan saat berada di rumah, membayangkan mengurung Ajeng di kamarnya ataupun kamar gadis itu kembali membuatnya frustasi. Ilker benar-benar merasa menjadi seorang maniak seks, dan ia menderita karena itu. Dan sekarang, saat Ajeng tidak ada di rumah karena haru
Ajeng masuk ke rumah lewat jalan belakang seperti biasa. Sekalipun ia harus berjalan memutar cukup jauh, ia tidak keberatan karena ia merasa memang asalnya dari sana. Dia bukan keluarga inti dan merasa tidak pantas masuk lewat jalan depan seperti yang lainnya. Dengan kepala berdenyut nyeri ia menyapa asisten rumah tangga yang kebetulan ada disana. Ajeng mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. "Kamu baik-baik aja, Jeng?" Tanya Bu Lia, wanita berusia pertengahan empat puluhan itu dengan tatapan khawatir. Ajeng tersenyum dan menganggukkan kepala. "Baik, Bu. Kayaknya aku mau flu." Jawab Ajeng apa adanya. Hidungnya memang terasa gatal dan tenggorokannya sakit. Ditambah dengan kepalanya berdenyut membuat Ajeng yakin kalau dia terkena virus flu yang sedang mewabah di kampus saat ini. "Mau minum obat?" Tanya Bu Lia lagi. Ajeng menganggukkan kepala. Ajeng mendekati Bu Lia yang sedang mencarikannya obat dan menerimanya. "Obat ini bikin ngantuk, kalo habis minum pasti tidur. Kalo k
Ajeng menggesekkan pipinya pada sebuah permukaan yang terasa keras namun hangat. Apa ini? Tanyanya masih dengan mata terpejam. Tangannya terangkat untuk bisa lebih merasakan tekstur bulu itu. Benda yang dia sentuh itu lembut dan bergerak. Tidak selembut permukaan sarung bantalnya, apalagi selembut boneka beruang milik Ilsya. Telapak tangan Ajeng semakin naik ke atas sampai tangannya sejajar dengan pipinya dan Ajeng merasakan bulu-bulu itu tidak setebal rambut. Ia bisa merasakan deru di telinganya dan pipinya bergerak naik turun dengan agak cepat. Ajeng mengernyit. "Apa kau sengaja melakukan ini untuk menggodaku?" Suara geraman seseorang membuat kernyitan Ajeng semakin dalam. "Ya Tuhan, Ajeng, berhenti menyentuhku seperti itu!" perintah seseorang dengan gigi terkatup. Ajeng kini mengenali suaranya dan seketika ia terbelalak. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah telapak tangannya ada di atas dada Ilker. Terkejut, Ajeng seketika bergerak mundu
"Apa yang kalian lakukan?!" Pekikan panik yang disertai dengan debaman pintu membuat Ilker seketika menyembunyikan Ajeng di balik tubuhnya.Ajeng gemetar di belakang tubuh Ilker. Ia teramat sangat mengenal suara itu dan ia benar-benar takut dibuatnya. Sementara Ilker, dia pun terkejut karena tidak menyangka akan kedatangan tamu di pagi hari seperti ini."U-Uncle? Apa yang Uncle lakukan disini?" Tanya Ilker kaget pada adik sepupu ayahnya itu."Siapa orang yang ada di belakangmu, Ilker?" Pria itu balik bertanya pada Ilker dengan suara rendah yang membuat Ilker dan Ajeng seketika bergidik ngeri."I-ini. Dia..""Jangan sembunyikan dia dari Uncle." Perintah pamannya lagi dengan gigi terkatup."Uncle.. dia.."Paman Ilker mendekat dengan langkah cepat, mencengkeram lengan Ilker dan menariknya berdiri sehingga pria berusia awal tujuh puluh tahun itu bisa melihat sosok yang sedang Ilker sembunyikan.
Ajeng membawa barang yang menurutnya penting-penting saja. Ia berkemas dengan cepat, memasukkan buku-buku kuliahnya dan pakaian-pakaian lamanya yang sebenarnya tidak perlu capek ia kemasi karena memang sudah lama tersimpan dalam koper besar yang diberikan kakak angkatnya untuknya.Pakaian-pakaian itu sengaja ia masukkan kembali ke dalam koper setelah Oma Caliana membelikannya pakaian-pakaian baru setelah ia memutuskan untuk menerima pekerjaannya sebagai asisten di Kralligimiz.Dan alasan kenapa Ajeng melakukan itu karena ia merasa paka
Hari-hari yang berlalu terasa begitu lama dan bisa dikatakan membosankan.Orangtua Ilker tidak banyak bicara saat mereka kembali dari liburan dan menyadari kalau Ajeng sudah tidak ada lagi di kediaman mereka. Berbanding terbalik dengan Ilsya yang terus menerus mempertanyakan dimana Ajeng dan kapan gadis itu kembali.Ilker tidak bisa memberikan jawaban. Karena dirinya pun tidak tahu harus bicara apa. Ia bahkan merasa malu untuk melihat kedua orangtuanya sekalipun keduanya tak berkomentar apa-apa dan hanya bisa menenangkan Ilsya serta beralasan kalau Ajeng sekarang tinggal di rumah Oma Gisna karena Oma Gisna membutuhkannya.“Kan udah ada kak Cici, kenapa Oma Gisna mau kak Ajeng juga?” Tanya Ilsya dengan polosnya.“Karena kak Ajeng itu anaknya Oma Gisna sama Opa Lucas.” Jawaban itu keluar dari Mirza, adik bungsu Ilker yang datang ke kediaman orangtua mereka untuk sarapan.“Ih, Oma Gisna mah gitu.” Ucap Ilsya dengan
Ajeng bingung menghabiskan waktunya dengan melakukan apa. Rumah sepi. Opa Lucas masih aktif bekerja sekalipun usianya sudah tidak muda lagi. Dan Oma Gisna menghabiskan waktu luangnya dengan mengunjungi Yayasan yang dikelolanya dan juga panti serta rumah sakit.Silvania, putri sulung Carina yang saat ini tinggal di kediaman Lucas-Gisna pun tengah sibuk kuliah. Hingga satu-satunya orang yang pengangguran saat ini hanyalah Ajeng saja.Kakak-kakaknya menyarankan kalau Ajeng bisa mengikuti Oma Gisna dengan menyibukkan diri di Yayasan. Namun Oma dan Opa mengatakan kalau Ajeng harus berhenti bekerja sementara waktu dan beristirahat dahulu sambil mempertimbangkan kelas kuliah yang nanti akan dia ubah atau tidak.Karena bosan di rumah dan tidak memiliki kegiatan apapun—sebab memang tidak ada pekerjaan rumah yang bisa dia kerjakan—Ajeng akhirnya memilih untuk mengunjungi Halwa di tempat kerja barunya, Askim Elbise.Ajeng me