Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Candra kembali ke kantornya. Hal pertama yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Kikan yang kini menjadi satu-satunya wanita di kantor. “Kikan, ada yang mencari saya?” “Tidak ada, Pak.” Kikan menjawab lugas. Candra mengangguk, lalu memutar tubuh untuk masuk ke dalam ruangannya. Tatapannya menangkap sosok Niko yang tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depan monitor. Pemuda berkacamata dan berambut ala tentara tersebut serius menatap layar. Candra baru ingat, Niko merupakan satu-satunya karyawan yang diterimanya lewat jalur rekomendasi. Candra kembali terkenang pada waktu Indira meminta Niko diikutkan bekerja kepadanya. Kata Indira, Isma teman kuliah mereka dulu yang meminta pertolongan kepada Indira. “Ingat Isma, Pa? Teman kita yang menikah di semester 1? Dia punya keponakan baru lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Apa bisa kerja di kantor Papa?” Suara Indira bergema kembali di kepala Candra. “Keponakan Isma? Jurusan apa kuliahnya?” Can
“Bagaimana, Ma?” “Tidak perlu mengalihtangankan usaha itu. Tetap Papa saja yang pegang. Papa bisa mengontrol kantor seminggu sekali. Selama Papa tidak hadir di kantor, Mama bisa mengontrol kerja karyawan.” “Betul juga ya, Ma. Lagi pula, sulit mencari orang kepercayaan untuk menangani usaha itu. Belum tentu juga orang yang dipercaya nanti mengerti tentang bisnis ini,” aku Candra. “Betul itu, Pa.” Indira menyemangati. Di dalam hati, Indira bersorak karena dengan cara ini Candra akan memiliki kewajiban pulang seminggu sekali. Ada keharusan untuk mengontrol usaha, selain menjenguk keluarga. “Mama memang pintar. Tidak salah Papa memilih Mama menjadi istri,” puji Candra seraya tersenyum. Candra sendiri memiliki pertimbangan lain tentang usulan Indira. Dengan menuruti keinginan Indira, Candra berharap Indira akan senang dan merasa sudah dapat mengendalikan suaminya. Indira tidak akan lagi fokus mengawasi dirinya. *** Satu bulan kemudian, Candra kembali menerima telepon dari Bang Hermans
“Sudah siap, May?” Suara Mama memanggil dari ambang pintu. Aku menoleh. Mama memasuki ruang rias pengantin, beliau tampak cantik dalam riasan tipis bernuansa natural. Hari ini hari besarku. Akhirnya setelah sekian lama memimpikan hari ini, aku akan menikah dengan Mas Candra. Menjadi istri keduanya, alangkah bahagia rasanya. “Sudah, Ma. Bagaimana wajahku? Cantik?” tanyaku sambil tersenyum. “Kamu cantik, bikin pangling,” puji Mama dengan senyum di bibir merahnya. Mama merupakan pendukung utamaku dalam keputusan menikah dengan Mas Candra, meskipun beliau tahu Mas Candra sudah beristri dan beranak dua. Aku tersenyum ceria. Tubuh aku tegakkan, berdiri dari kursi rias lalu mengangguk anggun pada perias pengantin yang sedari tadi berupaya membuatku menjadi secantik ratu. “Terima kasih, Mbak Riri,” ucapku kepada perias yang apabila menilik wajah, umurnya tak berbeda jauh denganku. “Sama-sama, Mbak,” balas Mbak Riri sebelum menyingkir ke sudut ruangan, ke kursi yang disediakan untuknya.
Kaki Indira terasa sangat pegal. Ia mengurut-urut pelan bagian betisnya yang telah membengkak tiga kali lipat dari semasa gadis. Beberapa kali ia menekan pedal rem dan beralih ke kopling selama mengantarkan Cantika ke sekolah pagi ini. Jalanan yang macet membuat Indira tak banyak pilihan selain bersabar. Terkadang Indira ingin mengantarkan putrinya dengan sepeda motor saja seperti dulu. Namun, apa gunanya dibelikan mobil bila tidak pernah digunakan? Lagi pula dengan mengendarai mobil, bajunya tidak akan berbau asap knalpot maupun terik matahari pagi. Sudah satu tahun Candra bekerja di Bekasi, Indira telah dilimpahi berbagai fasilitas yang membuat hidupnya lebih mudah dalam mengurus kedua buah hati, meskipun tidak ada suami di sisi. Tidak seperti perkiraan awal Indira yang merendahkan kemampuan sendiri, ternyata ia sanggup menjalani hari-hari mengurus dua anak tanpa kendala berarti. Candra pulang seminggu sekali, rutin dan hampir tak pernah absen. Selama satu tahun, terhitung hanya du
Candra melongok ke dalam kamar tidurnya bersama Maya. Ia lihat istrinya sedang memasukkan baju-baju yang akan dibawanya pulang ke Bandung nanti. “Sudah selesai belum, May?” tanya Candra tak sabar. Ia berjalan mendekati kasur dan duduk di atasnya. Maya menoleh sekilas ke arah Candra, kemudian tangannya kembali sibuk memasukkan sebuah sweater berwarna hitam keabu-abuan. Sweater itu mereka beli bersama di Plaza Indonesia, saat mereka berjalan-jalan berdua usai pernikahan mereka dulu. “Sebentar lagi, Mas. Ini tinggal memasukkan sweater, kok. “ Maya menutup ritsleting tas ransel yang sarat isi hingga menggelembung. Tas itu siap. Maya mengangkatnya dan meletakkan ke sebelah tempat tidur, dekat dengan kaki Candra. “Kenapa buru-buru sih, Mas? Kangen ya dengan istrimu yang di sana. Apa aku kurang cantik selama di sini?” tanya Maya seraya memajukan bibir. Ia sengaja berekspresi sedih agar terlihat mengibakan. “Bukan begitu, May. Baru kali ini aku pulang naik kereta api, bukan mobil seperti
Candra menganga mendengar ancaman Indira. Sepasang matanya juga melebar. Ia bergegas maju menghampiri Indira yang tangannya kini bersedekap di depan dada. Candra meraih Indira dengan tangan kanan, tapi Indiria menghindar dengan cara mundur dua langkah. Tangan Candra menggapai angin kosong belaka. Candra segera menyadari bahwa istrinya tak ingin tersentuh oleh jarinya. Tangan Candra terkulai. Candra pun memilih berdiri di hadapan Indira. Sejarak dua meter di depan Indira. Lalu, dengan suara yang berat namun tenang, ia berucap. “Jangan begitu, Ma. Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik antara kita saja? Tidak baik bila sedikit-sedikit mengadu kepada orang tua.” Seketika Indira merasakan panas di dadanya berubah menjadi gelegak amarah. “Sedikit-sedikit, Papa bilang? Coba, Pa. Sejak kita menikah apa pernah aku mengadukan masalah rumah tangga kepada orang tuaku? Pernah?!” sergah Indira dengan mata melotot merah. Bibirnya membentuk cemberut yang amat masam. Candra terdiam. Dia tak dapat
Candra mengempaskan tubuhnya yang lelah ke sofa ruang tamu. Apes betul rasanya ia hari ini. Baru saja pulang dari perjalanan jauh, bukannya mendapatkan pelipur lelah malah mendapatkan masalah. Kepalanya terasa berdenyut sebelah. Astaga, ia migrain! Candra memaksa diri menyeret langkah kaki menuju kamar. Rasanya pasti nikmat bila dapat tidur barang sejenak. Semoga saja setelah bangun nanti sakit kepalanya sudah hilang. Tanpa memerhatikan apa-apa lagi, Candra menjatuhkan diri ke atas kasur. *** Indira melajukan mobilnya cukup kencang. Andai saja jalan raya tidak sedang ramai, pastilah ia akan berkendara jauh lebih cepat. Ia sangat ingin mengebut dan memainkan pedal gas di kaki. Namun, kondisi lalu lintas telah membuatnya lamban dan tak bisa melampiaskan emosi dari kepungan sesak di dada. Pada akhirnya, Indira hanya bisa menggertakkan gigi, sambil berkali-kali memukuli setir yang ada di hadapan. Namun, saat tanpa sengaja ia memukul bagian klakson, Indira terkejut sendiri. Satu-satunya
Shinta menutup mulutnya yang menganga, hanya untuk melontarkan tanya. “Kamu serius, In? Yakin dengan semua akibatnya?” “Apa akibatnya?” Indira mengerlingkan mata, penuh rasa ingin tahu. Saat ini, di dalam pikirannya hanya ada nafsu untuk melabrak. Ia belum memikirkan efek yang mungkin muncul akibat perbuatannya, seperti yang ditanyakan oleh Shinta. “Kamu bakal ribut besar. Bayangkan, kamu mungkin akan menjadi tontonan banyak orang. Belum lagi akan ada yang terluka. Bisa jadi kamu, bisa jadi wanita itu,” Shinta menguraikan pemikirannya dengan suara yang pelan. Ia tak ingin membuat Indira yang sedang terluka merasa tersinggung. Indira memikirkan ucapan Shinta selama sejenak. Ia mengangguk-angguk setuju. Ya, semua itu bisa jadi akan terjadi. Tapi …. “Aku tanggung semua risiko itu. Dilihat orang? Biar saja. Toh, aku tidak kenal mereka semua. Peduli amatlah,” ujar Indira cuek. Perasaan dendam sudah membuat Indira gelap mata. Pikirannya tak lagi mempertimbangkan hal selain pelampiasan ra