Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga.
Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti.
Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam.
“Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantika.” Candra bertanya heran sambil memasuki ambang pintu.
“Mama nungguin Papa. Cantika sih sudah tidur dari tadi. Katanya ngantuk, enggak kuat menunggu Papa pulang,” jelas Indira.
Candra mengempaskan diri di sofa ruang tamu. Indira kembali mengunci pintu depan.
“Capek ya, Pa? Mau makan dulu atau mau mandi sekalian?” tawar Indira.
“Enggak usah, Ma. Papa cuma haus. Tapi nanti Papa ambil sendiri saja. Kalau mandi sekarang juga udaranya sudah dingin,” tolak Candra.
“Jadi Papa mau apa sekarang?” tanya Indira lagi.
“Papa hanya perlu tidur. Capek sekali rasanya.” Candra bangkit lagi dan mulai berjalan menuju kamar tidur. Indira mengikuti suaminya dari belakang.
Candra mulai melepaskan satu demi satu bajunya di hadapan sang istri. Indira berjalan menuju lemari pakaian, lalu mengambilkan celana pendek dan baju kaos sebagai ganti baju kerja yang baru dilepaskan oleh suaminya. Candra melihat Indira yang meletakkan baju rumah yang bersih di atas kasur. Tangannya meraih celana sementara mulutnya menguap, pertanda kantuk sudah menguasainya.
“Sayang Papa capek, ya. Padahal kita sudah lama enggak mengobrol bersama.” Indira tiba-tiba memeluk suaminya dari belakang. Candra terbeliak.
“Iya, Ma. Sudah lama, ya. Tapi sekarang Papa mengantuk sekali. Maaf, ya.” Candra menatap istrinya. Indira menyembunyikan kekecewaannya.
“Iya, Pa. Mama maklum. Papa sudah bekerja keras buat menafkahi kita semua, jadi pasti lelah sekali.” Indira tersenyum meskipun hatinya tidak tersenyum.
“Terima kasih pengertiannya, Ma. Memang akhir-akhir ini Papa banyak pekerjaan di kantor. Mungkin di hari-hari ke depan Papa akan sering pulang malam.” Candra menguap lagi.
Indira menyiapkan tempat tidur. Ia menata bantal juga membentangkan selimut. Candra naik ke peraduan, sedangkan Indira mengikuti.
“Tapi ingat ya, Pa. Sesibuk-sibuknya Papa, jangan sampai tidak ada waktu buat Ando dan Cantika, ya.”
“Iya, Ma. Papa enggak akan lupa sama anak,” janji Candra sambil menarik selimut.
Sebetulnya Indira masih ingin berbicara, tapi sayang Candra keburu mengorok. Desah kecewa keluar dari mulut Indira. Padahal ia ingin menceritakan perkembangan anak-anak mereka, tentang Ando yang semakin sulit diatur, juga tentang Cantika yang berhasil menjadi perwakilan Olimpiade Matematika di sekolahnya. Namun sayangnya Candra telanjur tidur. Apa boleh buat, Indira pun memutuskan untuk menunda percakapan tentang anak-anak untuk lain waktu. Indira memejamkan mata.
***
Pagi-pagi sekali, Candra sudah bangun dan mandi. Agak lebih pagi daripada biasanya. Indira yang sedang menyapu rumah memandang suaminya heran.
“Pagi betul sudah mandi, Pa? Apa ada keperluan mendadak?” Indira meletakkan sapunya di tangan kiri, lalu berhenti di depan kamar. Candra sedang mengenakan kemeja putih bergaris-garis hitam yang menjadi kemeja kesukaannya. Kemeja itu selalu membuatnya tampak lebih gagah meskipun usianya sudah menjelang kepala empat.
“Enggak ada keperluan apa-apa, Ma. Papa hanya ingin datang lebih pagi ke kantor. Pekerjaan kemarin terpikirkan terus. Mungkin selama seminggu ini Papa akan lebih sibuk daripada biasanya.” Candra menjawab sambil mengenakan ikat pinggang ke celana panjangnya.
“Mama buatkan sarapan sekarang, ya?” Indira menyandarkan sapu ke salah satu dinding. Ia siap bergerak ke arah dapur.
“Enggak usah, Ma. Papa makan bubur ayam atau lontong kari saja di luar, biar cepat. Mama siapkan saja keperluan anak-anak buat sekolah,” tolak Candra.
Indira mengurungkan niatnya untuk membuat sarapan. Ia mengikuti Candra yang beranjak hendak keluar rumah usai mengambil tas kerjanya. Di depan pintu, Candra berpamitan lagi kepada istrinya.
“Papa pergi dulu. Doakan Papa.” Candra mencium sekilas dahi Indira.
“Iya, Pa. Hati-hati di jalan. Oh ya, hampir lupa. Kemarin Ando bilang dia mau ikut kelas musik di sekolahnya sebagai ekstrakurikuler.”
“Oya? Musik apa yang ingin dipelajarinya? Ando minta belikan alat musik?” Candra mengerutkan dahi.
“Iya. Katanya mau main drum band, biar bisa main bersama teman-temannya--”
“Oh, oke. Nanti Papa bicara sama dia. Sekarang Papa pergi dulu ya, Ma. Takut terlambat.” Candra memotong kalimat istrinya yang ia yakini masih akan lama.
Indira terpaksa menghentikan ucapannya. Padahal ia masih belum sampai pada pokok pembicaraan utama, yaitu anak sulung mereka ingin memiliki studio musik sendiri di rumah. Namun, Indira sadar diri. Ia telah memilih waktu yang kurang tepat buat berbicara.
Dengan pasrah, Indira membiarkan suaminya pergi. Ia menatap punggung suaminya yang bergerak menuju mobil jenis city car yang terparkir di halaman rumah mereka. Candra membuka pintu penumpang di depan, lalu menyimpan tas kerjanya pada kursi. Saat melakukan itu, sinar mentari pagi yang lembut mulai bersinar dan menerpa wajah Candra yang segar karena mandi pagi. Sisa-sisa ketampanan masa lalu terpancar selama beberapa detik dalam momentum itu, membuat Indira mengingat lagi masa-masa muda mereka ketika baru menikah pada awal usia dua puluhan. Indira merasa cintanya bertambah kuat setelah puluhan tahun hidup bersama suaminya.
Candra menutup pintu, lalu bergerak membuka pagar besi yang menjulang tinggi di belakang mobilnya. Setelah membuka pagar, Candra memasuki kursi pengemudi dan melaju pergi. Indira berjalan ke arah halaman, menutup kembali pagar rumah yang ditinggalkan terbuka oleh Candra. Indira masuk kembali ke dalam rumah. Fokus pikirannya kembali kepada anak-anaknya yang harus dipersiapkan sekolahnya. Ando yang duduk di kelas satu SMU dan Cantika yang duduk di kelas 4 SD.
***
Dering telepon berbunyi cukup lama. Indira membuka matanya dan terkejut mendapati dirinya yang tertidur di sofa. Astaga, dia ketiduran! Bisa-bisanya hal ini terjadi, padahal sudah lama ia tak pernah lagi tidur di tengah hari. Kesibukan rumah tangga dan anak-anak membuatnya tak pernah bisa menikmati waktu istirahat siang.
Bunyi dering telepon di atas meja menarik perhatian Indira. Namun, pandangan matanya yang masih berkunang-kunang akibat terbangun paksa membuatnya tak segera mengangkat telepon. Indira mengerjapkan matanya beberapa kali, juga memijat pelipisnya. Mungkin ia terlalu lelah karena sepagian tadi membersihkan kamar di belakang rumah. Indira berpikir, mungkin kamar itu bisa digunakan oleh Ando sebagai studio musik yang diinginkannya. Akibatnya ia kelelahan dan berakhir tertidur di sofa.
Dering telepon masih berbunyi, mendesak seolah-olah menjerit minta diangkat. Indira meraih ponselnya dan tersentak mendapati nama guru Cantika yang memanggil pada layar. Astaga, jam berapa sebetulnya ini? Apakah sudah waktunya menjemput Cantika pulang dari sekolah?
“Halo?” Indira menempelkan ponsel pada kuping kanannya.
“Ibu Indira? Mohon maaf, Bu. Cantika terluka di kakinya. Tolong segera datang kemari ya, Bu.”
“Terluka? Kenapa Cantika bisa terluka, Bu?” Indira terhenyak.
“Nanti kami jelaskan semuanya di sekolah, Bu. Tolong segera datang dulu.”
Indira memutuskan sambungan telepon. Tergesa-gesa ia mengganti baju dan meraih tasnya, lalu menyambar kunci motor di dalam laci. Pikirannya hanya tertuju pada Cantika saat ini.
Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang. Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada
Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b
Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r
Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.
Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m
Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,
Sudah lama Candra memikirkan rencananya hari ini. Ia akan menemui Maya. Ia sudah tak tahan untuk segera bertemu wanita itu. Entah mengapa, wajahnya yang tersenyum selalu terbayang di pelupuk mata Candra. Siang maupun malam, hanya wajah Maya yang dikenang Candra. Entah apa yang telah dilakukan Maya hingga Candra merasa takluk terhadapnya. Perasaannya terhadap Maya sekarang lebih kuat daripada perasaannya dulu. Kali ini, Candra merasakan dorongan yang amat kuat untuk menyanding Maya sebagai istri kedua. Setelah sekian lama berpisah, Candra baru menyadari bahwa hasrat di dalam dirinya untuk Maya tidak pernah betul-betul padam. Saat bertemu kembali, hasrat itu justru semakin kuat. Candra tahu bahwa ia telah disetir oleh nafsu, namun ia tak kuasa untuk menolak. Bukan lantaran ia tak cinta lagi terhadap Indira. Sama sekali bukan. Cintanya terhadap Indira akan terus ada. Perempuan itu telah menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Indira juga gambaran sempurna seorang ibu ideal
Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Candra kembali ke kantornya. Hal pertama yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Kikan yang kini menjadi satu-satunya wanita di kantor. “Kikan, ada yang mencari saya?” “Tidak ada, Pak.” Kikan menjawab lugas. Candra mengangguk, lalu memutar tubuh untuk masuk ke dalam ruangannya. Tatapannya menangkap sosok Niko yang tampak sedang sibuk mengerjakan sesuatu di depan monitor. Pemuda berkacamata dan berambut ala tentara tersebut serius menatap layar. Candra baru ingat, Niko merupakan satu-satunya karyawan yang diterimanya lewat jalur rekomendasi. Candra kembali terkenang pada waktu Indira meminta Niko diikutkan bekerja kepadanya. Kata Indira, Isma teman kuliah mereka dulu yang meminta pertolongan kepada Indira. “Ingat Isma, Pa? Teman kita yang menikah di semester 1? Dia punya keponakan baru lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Apa bisa kerja di kantor Papa?” Suara Indira bergema kembali di kepala Candra. “Keponakan Isma? Jurusan apa kuliahnya?” Can