Share

11. Salah Paham

Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.

Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.

Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tentram.

"Brengsek, di mana rokok sialan itu?" seorang pria bersuara, cukup jauh dari tempat Bimo berdiri. "Kau punya rokok, adik kecil?"

Bimo melirik kekanan-kekiri. Apa dirinya yang disebut adik kecil oleh pria tersebut? "Aku sudah besar, om."

Si pria tergelak. Entah karena Bimo mengklaim sudah besar atau karena sebutan om. Pria itu berjalan mendekat, lalu membuka payung yang dibawanya agar Bimo tak kehujanan. Dahi Bimo mengernyit. Dia yakin sudah pernah melihat wajah itu di suatu tempat. Tapi... di mana ya?

"Pertama, tinggimu sekitar 135 cm, artinya kau masih kecil. Kedua," pria tersebut kini berjongkok supaya tinggi mereka sejajar. Bimo seketika menahan napasnya dan matanya berbinar diliputi rasa senang luar biasa. "Kedua, aku bukan seorang om-om. Usiaku baru 26 tahun. Dan namaku---"

"Sean Ivano! Kau Sean Ivano, kan?!" jerit Bimo antusias, dan tanpa sadar Bimo mengambil langkah mundur. Refleks, Sean menarik tangan Bimo dalam hitungan detik. Jantung Sean seperti berhenti berdetak selama beberapa saat, lantaran Bimo hampir jatuh dari atap dan sangat memungkinan terjadinya kematian. Namun Bimo bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun. Dia justru berteriak girang, sebelum memeluk pria tampan tersebut.

"Hey, lepaskan. Aku benci anak-anak," tolak Sean seraya berusaha menarik-narik kecil piyama Bimo. Kemudian Sean sadar terhadap hal ganjil. Kenapa adik dari Rahee mengenali dirinya? "Kau mengenaliku?"

Bimo melepaskan pelukan mereka, lalu mengangguk berkali-kali. "Cita-citaku adalah menjadi drumer handal sepertimu. Saat sudah besar aku juga ingin punya band sekeren HEXID."

Kontan hidung Sean kembang-kempis, diikuti semburat senyum tertahan. Ayolah, pujian adalah makanan sehari-hari Sean. Fans-nya bukan satu dua, bukan di Indonesia saja, bahkan fans Internasional juga sudah banyak. Namun entah kenapa sanjungan dari adiknya Rahee berhasil membuatnya senang bukan kepalang. Mungkinkah Rahee menceritakan tentang dirinya kepada Bimo? Ah, itu musthail. Mana mungkin Rahee jujur pada Bimo kalau pekerjaannya adalah sebagai seorang pelacur.

"Kau tahu lagu milik kami?" tanya Sean iseng.

"Ya, aku suka lagu yang berjudul Overdose dan Monster! Kalian keren!" acungan jempol diberikan Bimo. "Tapi... kenapa kau tadi bertanya apakah aku memiliki rokok atau tidak? Aku bahkan baru 10 tahun. Lagipula rokok berbahaya, om."

Sean memutarkan bola matanya. Lagi lagi dipanggil om, "Panggil aku 'kak' saja. Kau sendiri kenapa berdiri seperti tadi? Bukankah tindakanmu lebih berbahaya?"

Bimo menundukan wajahnya, seiring bibirnya mengerucut, "Dunia yang kita tinggali itu keras, om, eh maksudku, kak. Orang seperti Kak Sean tidak mungkin mengerti."

"Orang sepertiku?" tanya Sean. Bimo membuat pembicaraan ini seakan-akan anak tersebut lebih banyak makan asam garam kehidupan.

"Kak Sean terkenal dan punya banyak uang. Lebih dari itu kondisi kakak sehat, tidak seperti aku. Sejak kecil aku selalu sakit-sakitan hingga ibu kandungku memilih untuk membuangku. Aku hanya menjadi beban bagi kakak tiriku."

Sejenak Sean meresapi setiap kata Bimo. Tebakannya tidak salah bahwa adiknya Rahee ini memang sempat berniat lompat dari atap. Untung saja Sean mengikuti jejak bocah tersebut, "Apa kakakmu pernah bilang kalau kau adalah beban?"

"Tidak," geleng Bimo polos.

"Artinya?"

"Umm artinya... tidak?" suaranya terdengar tidak yakin.

"Jangan buat hal yang sudah rumit menjadi semakin rumit. Jika kakakmu tidak pernah bilang demikian, maka artinya tidak," jawab Sean, membiarkan pundak kirinya basah agar Bimo terlindungi sepenuhnya oleh payung.

"Dia sejak dulu selalu mengutamakanku. Pakaian, pendidikan, semua. Dari pagi hingga malam dia bekerja tanpa henti. Aku... kasihan padanya, kak. Mungkin jika aku tidak ada di dunia lagi, itu akan meringankan bebannya." Tertegunlah Sean. Bocah di depannya betulan sudah dewasa, hingga memikirkan hal-hal yang tidak semestinya. "Kak Jeno juga bilang agar aku jangan mempunyai pikiran yang aneh dan cukup perhatikan kesehatanku, tapi... aku tidak bisa menyingkirkan itu. Aku merasa bersalah karena sudah hidup."

"Kakakmu berhasil membesarkanmu. Saat seusiamu, aku tidak sepintar kau. Kau juga begitu cerewet," Sean mengelus wajah Bimo tulus. Teringat akan luka masa lalu. Mungkin jika Sean kecil mempunyai kemampuan bicara sebaik Bimo, dia akan dapat tertolong lebih cepat.

"Ya, kakakku adalah yang terbaik."

"Kau benar," Sean melempar senyum. "Saat kau ingin melompat dari gedung, pikirkan orang yang akan membersihkan darahmu sambil menangis sedih. Lagipula rumah sakit ini berlantai 15. Ketika kau jatuh dari sini tubuhmu pasti akan sakit dan seluruh tulangmu hancur."

Mimik wajah Bimo berubah ngeri, "Hih seram, kak. Aku tidak mau melakukannya lagi."

"Good boy. Kau bisa kembali ke kamarmu sendiri, kan? Tidak perlu aku gendong?"

"Tidak perlu, kak. Aku bisa sendiri kok." Pun Sean mengambil langkah besar, kentara jauh dengan Bimo yang tertatih. Dia memerhatikan bocah tersebut sebelum berjalan mundur. Deretan gigi rapih dipertontonkan Bimo saat Sean kembali sejajar dengannya. Dengan polos Bimo meraih jemari Sean, ingin bergandengan tangan. "Kak Sean orang yang baik. Aku senang bisa bertemu kakak secara langsung."

Baik?

Bimo pasti akan menarik perkataan itu jika tahu apa yang sudah dirinya lakukan pada Rahee.

"Perhatikan langkahmu," peringat Sean.

Setibanya di lantai kamar inap Bimo, keadaan agak kacau. Beberapa perawat berlarian panik, hingga seorang dokter berteriak dari kejauhan pada sosok Sean dan Bimo, "Aku menemukan Bimo!"

Bayo Sasono berlari ke arah mereka. Setiap jengkal wajah dan tubuh mungil Bimo diperhatikan seksama oleh dokter muda tersebut. Helaan napas lega pun terdengar setelahnya. "Bimo, kau darimana saja? Kami semua khawatir mencarimu."

Berikutnya Rahee datang dan segera memeluk erat sang adik. Sama seperti Bayu, napas Rahee memburu seolah telah berlari mengitari setiap sudut rumah sakit. "Kau darimana?! Kenapa tiba-tiba menghilang?! Apa kau sengaja melakukan ini pada kakak?!"

Pertanyaan bertubi-tubi nan emosi meluncur tak tertahan. Ini gila. Rahee nyaris gila saat terbangun dan adiknya telah menghilang dari atas ranjang.

"Maafkan aku, kak. Aku tadi ke---"

"Aku mengajaknya berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Bukankah bosan berada di kamar seharian?" potong Sean terhadap ucapan Bimo.

Plak!

Tanpa diduga tamparan keras diberikan Rahee untuk pipi Sean. Kulit putih pucat pria itu seketika memerah. Sean mengepalkan tangannya. Selain dia benci karena lagi-lagi ditampar Rahee, dia juga benci lantaran secara tidak langsung sudah ikut campur atas masalah kakak-beradik ini. Sean hanya tak bisa membayangkan jika Rahee tahu bahwa Bimo tadi berniat bunuh diri.

"Kenapa kau libatkan adikku dalam permainan sialanmu?! Tidak cukupkah kau memperalatku?!" teriak Rahee.

"Rahee, tenang. Jangan emosi," bujuk Bayu dengan meremas lengan Rahee.

Mata Sean memincing tajam pada Bayu, persis elang yang marah karena santapannya telah menjadi buruan binatang lain. Rahee disentuh oleh pria lain! Brengsek!

Sean menarik jas dokter Bayu sebelum melepaskan tinjuan. Wajah dan perut Bayu menjadi sasaran empuk. Para perawat wanita di koridor berteriak histeris, sementara perawat pria berusaha menghentikan aksi Sean yang kian menggila.

"Kau betulan pria sinting!" maki Rahee setelah menyaksikan betapa babak belurnya wajah Bayu. Darah mengalir di sudut bibir serta pelipis Bayu. Ini terlihat mengerikan.

"Aku baik-baik saja, Rahee. Lebih baik segera bawa Bimo kembali ke kamar," saran Bayu.

Begitu Bimo berjalan melewati Sean, bocah itu memegang tangan Sean yang masih mengepal. "Kak... Terima kasih dan maafkan aku."

Rahee tarik paksa tangan adiknya, lalu mereka bergegas kembali ke kamar. Untuk sekarang biarkan Rahee dan seluruh emosinya meluap. Karena besok saat Rahee menginjakan kaki di rumah Sean, dirinyalah yang habis. Rahee yakin Sean akan membunuhnya.

Pun Bayu bangun dibantu oleh perawat pria. Dia meringis sembari menyeka darah pada ujung bibirnya. "Kemarin kita sudah bertemu, tapi aku belum sempat memperkenalkan diri. Aku Bayu Sasono, mantan kekasihnya Rahee." Ada seringaian kecil yang mengundang puing-puing amarah Sean. Beruntung para perawat bergerak menahan Sean. "Ah, satu lagi. Pukulanmu boleh juga. Dan aku pastikan, lain kali aku tidak akan menahan diri untuk balas menghajarmu."

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status