Share

12. Tebakan Jeno

Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?

"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.

Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel.

"Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar.

"Siapa maksudmu?"

"Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya berapi-api bicara. "Dan seperti biasa, reporter gadungan itu yang menulis artikel ini. Dia memiliki dendam pribadi kepadamu atau bagaimana?"

Sean menekan kedua sisi kepalanya. Ini bukan persoalan bahwa Bayu adalah anak dari direktur rumah sakit. Bahkan jika dihadapkan pada situasi serupa, Sean pasti akan tetap menghajar Bayu karena sudah berani menyentuh gadisnya. Yang membuat Sean jengah adalah reporter bernama Leo. Reporter tersebut sejak dulu kerap membuntuti Sean dan memuat berita dengan tujuan untuk menghancurkannya.

"Kenapa Rahee dibawa-bawa oleh keparat itu?"

"Di sini tertulis kau dan anak direktur rumah sakit bertengkar karena seorang gadis. Lagipula bukankah Leo sudah lama berhenti menulis berita tentangmu? Kenapa sekarang dia mencari gara-gara lagi?"

"Pasti uang tutup mulut yang dulu ku berikan sudah habis," kata Sehun, kemudian melempar kaleng birnya ke jalanan. "Kau urus saja reporter sialan itu."

Terdengar helaan nafas di sebrang sana. Pasti Aditya yang kena batunya, "Bagaimana jika Leo meminta uang dalam jumlah yang tidak masuk akal?"

"Berikan saja."

Dan dengan itu Sean menyudahi pembicaraan mereka dan mulai kembali menekan pedal gas. Namun baru beberapa saat, sirene mobil polisi terdengar dan sedan mewah milik Sean diminta menepi.

"Selamat malam. Bisa tolong tunjukkan kelengkapan SIM dan STNK anda?" sapa seorang polisi muda begitu kaca mobil Sean diturunkan.

Tanpa menjawab, Sean memberikan apa yang diminta. Dokumennya lengkap dan Sean yakin dirinya lolos pemeriksaan, namun itu berubah hingga si polisi menyodorkan sebuah alat pendeteksi alkohol.

"Saya tidak mabuk," kesal Sean.

"Kalau begitu tolong tiup alat ini. Tingkat akuratnya 99% dan sama dengan tes darah," mau tidak mau Sean meniupkan alat tersebut dan beberapa detik kemudian si polisi berujar. "Kadar alkohol anda 0,09%. Mari ikut saya ke kantor polisi."

"Fuck."

Pun tidak beselang lama Sean berakhir menunggu di kantor polisi. Dia memutuskan tetap bungkam sampai Aditya datang. Salah bicara, bisa-bisa Sean akan tidur di sel penjara malam ini.

"Menakjubkan, 1 hari terlibat 2 kasus. Sebaiknya kau naikan gajiku," Sungut Aditya, lalu tersenyum ke arah polisi. "Di samping saya ada pengacara Sean. Jadi Sean akan didampingi oleh beliau."

Interogasi berlangsung cukup lama. Sean ditanya ini itu, sampai akhirnya diperbolehkan pulang dengan sanksi denda, "Berhubung ini adalah pelanggaran pertama, maka sanksinya masih berupa denda. Diharapkan untuk ke depannya tidak ada pelanggaran lagi."

"Terima kasih, Tuan... Jeno?" tutur Aditya sembari mengucapkan nama pada seragam polisi tersebut. "Kami pamit sekarang."

"Silahkan."

Dengan melipat kedua tangan di depan dada, Sean berjalan acuh. Di koridor langkahnya mendadak terhenti. Jeno?... Bukankah Bimo menyebutkan nama Jeno ketika mereka berada di atap rumah sakit? Apa pria yang barusan adalah Jeno yang dekat dengan keluarga Rahee? Ah, Sean menggelengkan kepalanya. Untuk apa juga dia memikirkan hal itu?

"Bagaimana urusan kita dengan si bajingan Leo?"

"Leo sudah menarik artikelnya, dan aku sudah memberikannya uang," jelas Aditya. "Ohya, apa Rahee bermalam di rumah sakit?"

"Dia semakin pandai memuaskanku, jadi ku berikan dia izin menginap semalam."

Sebuah benda tiba-tiba mengenai sepatu bagian belakang Sean, membuat dirinya berhenti berjalan dan berbalik. Ada kaleng bir bekas. Dia pun meraihnya sembari terheran. Tunggu, ini adalah kaleng bir miliknya yang sudah dia buang di jalanan tadi.

Pandangan Sean menemukan sosok Jeno. Polisi yang sejak awal mencegat Sean hingga menggiringnya ke kantor polisi, "Kaleng bir anda tertinggal. Di pintu keluar ada tempat sampah, sebaiknya anda buang di sana."

Diremaslah kaleng birnya kuat-kuat, lalu Sean lemparkan ke arah Jeno yang telah masuk menuju ruangannya.

----

Sean:

Pulang dalam 1 jam, atau aku akan menghukummu.

Rahee mendorong air liurnya susah payah. Pesan dari Sean baru dia baca setengah jam kemudian, membuat Rahee otomatis bangkit dari kursi di pinggir ranjang Bimo. Otot-ototnya masih menegang karena dia baru bangun tidur. Sesegera mungkin, diraihlah tasnya yang tergeletak di lantai sebelum mengikat rambutnya asal.

"Kenapa buru-buru, kak? Ini bahkan belum jam 7 dan kau belum terlambat bekerja."

Bimo sudah terduduk di sandaran ranjang dengan raut tenang. Dia baru selesai melahap sendok terakhir dari nampan sarapannya, kemudian meraih bungkus obat, dan meminumnya. Berarti dugaan Bayu kalau Bimo tidak pernah mengkonsumsi obat adalah suatu kekeliruan.

"Kau rajin mengkonsumsi obatmu, kan?" pertanyaan Rahee mengalir begitu saja. Padahal dia sudah buat janji dengan Bayu agar tak membahasnya. Akan tetapi Rahee terlanjur penasaran.

"Tentu saja. Kau juga barusan lihat kalau aku meminum semua obat-obatan mengerikan ini."

Jemari Rahee membelai pipi adiknya. Usai kejadian semalam, Bimo enggan menjelaskan bagaimana dirinya bisa berkeliling rumah sakit bersama Sean, "Kau mengenal Sean? Dan semalam apa yang kalian bicarakan sampai-sampai kau pergi tanpa izinku?"

"Dia adalah drumer kesukaanku. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalnya?" ungkap Bimo. "Dan yang kami bicarakan semalam adalah rahasia antar pria."

Rahee bergedik ngeri sesaat menyadari kalau drumer yang menjadi panutan Bimo ialah si bajingan Sean. Rahee betulan lupa, "Sebaiknya ubah cita-citamu dan pilih instrumen musik lain selain drum. Jika Sean datang kemari lagi, kau harus usir dia. Dia adalah orang jahat." Nasehat Rahee membuat Bimo berniat membantah, namun sang kakak terlebih dahulu melanjutkan kalimatnya. "Aku pergi sekarang. Perawat Wendy akan datang sebentar lagi, dan jangan buat dia kesulitan. "

"Iya, aku mengerti."

Setengah berlari, Rahee keluar dari rumah sakit dan menemukan sebuah taksi kosong. Ketika dia menarik pintu taksi, tiba-tiba seseorang mencegah dirinya masuk. Spontan dia menoleh kepada seseorang yang kini ada di belakangnya," Kak Jeno? Ada apa kemari?"

"Kau mau kemana?"

"Pulang. Aku harus ganti pakaian untuk shift pagi."

"Akhir-akhir ini kau tidak pernah pulang ke rumah, dan baru malam ini lagi kau menginap untuk menemani Bimo di rumah sakit. Kenapa kau seperti ini?" pria yang sudah Rahee anggap sebagai kakak ini bertanya dengan mimik menuntut penjelasan. "Jangan bilang aku penguntit, Rahee. Aku hanya cemas. Apalagi sikapmu seperti sedang menyembunyikan sesuatu."

Rahee melirik jam di ponselnya.

Sudah 40 menit berlalu.

Bagaimana ini?

"Kak, aku baik-baik saja dan tidak ada yang ku sembunyikan darimu."

Jeno menyentuh pergelangan tangan Rahee seiring mendekatkan wajah mereka, "Apa ini ada hubungannya dengan Yayasan Black Diamond? Ketika kau bertanya mengenai yayasan itu, kau begitu panik."

Jujur dia terkejut karena Jeno mengaitkan perubahannya dengan yayasan Black Diamond, yang mana asumsi Jeno memang benar adanya, "Aku hanya iseng bertanya."

"Tidak mungkin kau datang pagi buta ke kantor polisi sebatas untuk bertanya tentang hal itu," Rahee pun lepaskan paksa genggaman tangan Jeno. Ketika dirinya berhasil masuk ke dalam taksi, Jeno bergerak menahan pintu. Sehingga posisi Rahee kini sudah duduk, sementara pria berseragam polisi itu berdiri di luar taksi dan masih coba untuk bicara. "Apa kau kenal seseorang bernama Sean?"

Deg.

Pandangan Rahee sepersekian detik bergetar. Disebutkan Yayasan Black Diamond saja sudah cukup menjadikan isi perutnya bergejolak tak nyaman, lantas sekarang nama Sean juga turut dipertanyakan. Bagaimana Jeno bisa tahu? Perlahan Rahee berusaha menguasai diri sebelum akhirnya menggelengkan kepala, "Tidak. Siapa dia?"

"Nama lengkapnya Sean Ivano. Dari yang aku cari di internet, dia drumer band terkenal dan," kalimat Jeno terhenti lantaran Rahee menatap balik, dan dia tidak menemukan keraguan dari mata teduh nan indah itu. Segala sesuatunya nampak tenang. Jeno paham apabila Rahee tengah berbohong, dan kali ini dia bicara jujur. "Apa kau sungguh tidak mengenalnya?"

"Kak Jeno... Aku sudah terlambat. Apa kau mau bertanggungjawab jika aku dipecat?"

Langkah Jeno mundur satu langkah, "Baiklah. Maaf aku barusan bertanya yang macam-macam padamu."

"Terima kasih kau sudah perhatian padaku dan Bimo, aku sangat menghargainya. Tapi... ini terlalu berlebihan. Aku tidak nyaman, kak."

Wajah Jeno menunjukan gurat sesal. Mungkin semalam dirinya salah dengar ketika akan mengembalikan kaleng bir milik Sean. Pasti kedua pria itu membicarakan sosok Rahee yang berbeda, bukan Raheenya, "Sekali lagi maafkan aku. Hubungi aku jika ada yang ingin kau ceritakan."

Waktu yang Rahee miliki sekitar 15 menit, jadi dia pamit dan segera pulang –pulang ke rumah Sean. Dia coba singkirkan rasa penasarannya terhadap perkataan Jeno, lalu berfokus pada kenyataan yang akan dia hadapi. Sean tidak berniat membunuhnya, kan?

"1 menit 30 detik. Kau terlambat, Angelia Rahee," suara Sean langsung terdengar sewaktu Rahee memasuki rumah. Dia terpenjat karena sosok itu ternyata ada di belakangnya. Dalam gerakan cepat, Sean menarik rambut Rahee dan menyeretnya ke lantai atas. Teriak kesakitan Rahee memenuhi seisi rumah, tapi Sean tak peduli dan justru kian menyeringai puas. "Mari kita lihat, hukuman apa yang pantas untuk gadis pembangkang seperti dirimu."

---

----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status