Birendra Prakarsa Candrakumara, seorang pangeran yang juga salah satu dari saudara Pangeran Kalandra yang dulu selalu mengejekku saat mereka berkunjung ke kerajaan Rosalia. Aku ingat ialah seseorang yang lebih dulu meminta maaf atas perlakuannya kepadaku setelah Tuan Mahawira memberinya pelajaran.
"Maafkan aku, Cornelia. A-aku sangat menyesal dengan apa yang aku lakukan. Sebagai permintaan maaf, aku akan melakukan apa pun untukmu," ucapnya di luar kamarku. Entah, aku tidak tahu ekspresi yang ia tunjukkan saat itu. Namun, dari nada bicaranya, ia sangat menyesal.Meski begitu, hal yang ia dan saudara-saudaranya lakukan cukup membuatku sedih dan trauma keluar dari kamar.Aku merengkuh diri di atas tempat tidur. Rasanya aku ingin mati saja. Aku benci wajahku yang buruk, sangat benci dengan kulit hitamku.Diri ini bertanya, kenapa aku dilahirkan buruk rupa? Mungkinkah karena itu aku dibuang oleh orang tua kandungku? Karena aku buruk rupa? EntahAku benar-benar tidak habis pikir kenapa orang-orang itu menangkapku. Padahal, aku baru saja sampai di negeri ini. Memangnya aku pernah berbuat apa dengan mereka?Aku dimasukkan ke dalam kereta bersama dengan wanita-wanita lain yang diriku tak tahu mereka siapa. Aku pikir kereta itu isinya para petinggi, tetapi dugaanku ternyata salah besar.Jangan-jangan aku akan dijual?Tidak, tidak, tidak. Jangan sampai hal itu terjadi. Semoga saja Tuan Mahawira datang dan menyelamatkanku.Beberapa waktu yang lalu, Tuan Birendra tak dapat melakukan apa-apa karena para pengawal rombongan ini cukup banyak. Mungkin Tuan Birendra tidaklah takut, tetapi hanya tidak ingin membuat masalah di negeri ini. Tapi ... baiklah. Setelah itu, aku mencoba berkomunikasi dengan para perempuan yang bersamaku di dalam kereta."Maaf, bolehkah aku bertanya? Sebenarnya kita akan dibawa ke mana?"Satu pun tak ada yang menanggapi pertanyaanku. Kulihat merek
"Minggir kau, Kalandra! Jangan halangi jalanku!""Seenaknya saja kau menggendong Rosalina seperti itu--""Apa katamu? Rosalina?! Kau camkan kata-kataku. Dia Cornelia! Bukan Rosalina seperti yang kau katakan!"Tuan Mahawira melanjutkan langkah. Sedangkan aku begitu nyaman ada di punggung bidang pria itu. Rasanya aku mau seperti ini selamanya dan tak mau beranjak sedetik pun."Jangan ikuti kami, Kalandra tengik!""Memangnya apa hakmu melarangku?""Kau ingat pernah menjelek-jelekkan Cornelia? Itulah kenapa kau tidak berhak mengikuti ke mana aku dan Cornelia pergi!""Baiklah, aku m-minta maaf.""Aku tidak peduli permintaan maafmu. Segeralah enyah dari pandanganku.""Bodoh! Aku tidak minta maaf denganmu, Mahawira! C-Cornelia ... m-maafkan aku."Aku langsung menoleh ke arah Tuan Kalandra yang berjalan di sebelah kanan Tuan Mahawira."Hmm, iya. Hamba--""Seben
"Maaf, Tuan." Kutundukkan kepala demi menghindari tatapan tajam Tuan Mahawira. "Seorang pelayan tidaklah pantas melakukan hal itu dengan tuannya sendiri. Aku ... sadar diri, Tuan.""Kenapa kau berbicara begitu, Cornelia?" Pria berhidung lancip itu meraih kedua pipiku, memaksa mata menatapnya kembali."Karena seperti itu kenyataannya, Tuan. M-maaf." Terpaksa kuturunkan tangan Tuan Mahawira dari kedua pipiku. "Tuan adalah seorang pangeran yang akan menjadi penerus raja nanti. Sedangkan aku ... hanya seorang pelayan biasa yang tidak memiliki kelebihan apa pun.""Aku benci apa yang kau katakan, Cornelia! Aku benar-benar tidak suka mendengarnya, kau tahu? Kita tidak sedang berada di istana. Kita berada di negeri orang, dan ini adalah keinginanku. Kau harus tahu itu!" katanya dengan nada sedikit ditekan, lalu dipalingkan wajahnya."Di mana pun kita berada, kita tidak bisa lari dari kenyataan, Tuan. Kenyataan bahwa aku hanya seorang--"
"Anak?" Tuan Mahawira mendekat sambil mengerutkan dahi. "Maaf, siapakah gerangan yang Nyonya maksud anak?" tanya pria itu kepada wanita paruh baya."Dia! Cornelia Aksita Chandini Minara! Anakku. Oh, Tuhan. Anakku, Cornelia. Kau sudah sebesar ini dan ... kau cantik sekali."Ekpresi wanita itu kegirangan, tetapi bercampur dengan rasa haru yang terpancar dari bola matanya. Aku sungguh tidak mengerti. Paduka Raja pernah mengatakan bahwa orang tuaku hanyalah orang-orang biasa dan mereka sudah lama mati saat terjadi perang besar.Aku bergeming, kubiarkan wanita itu meraih kedua pipi, serta mengelus-elus kepalaku. Jika diperhatikan lagi, wanita itu memang cukup mirip dengan diriku. Ya, tepatnya diriku yang dulu."Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa Nyonya mengatakan aku adalah anak Nyonya? Bagaimana bisa aku percaya kalau Nyonya benar-benar ibuku?""Ayo, ikutlah bersamaku," katanya sambi
"Ibu, siapa namamu? Aku bahkan belum mengetahui namamu sama sekali.""Nama ibu adalah Chandini Himeka. Jadi, nama Chandini dalam namamu ibu ambil dari nama ibu sendiri yang berarti cahaya bulan. Lihatlah, betapa cantik dirimu, Nak. Seperti indahnya cahaya rembulan. Kau akan selalu siap menerangi siapa saja," jelas Ibu sambil menyisir rambutku.Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku baru saja mengetahui namaku yang sebenarnya. Jika nama Cornelia itu bukan pemberian dari Paduka Raja, berarti beliau punya keterkaitan dengan keluargaku. Hal ini memang sangat ganjil. Setahuku, Paduka Raja yang memberikan nama Cornelia padaku. Bahkan, beliau sendirilah yang mengatakannya."Apa benar ibu tidak tahu sama sekali mengenai Kerajaan Rosalia?""Tidak. Ibu tidak tahu. Memangnya kenapa, Nak?" Ibu memelukku dari belakang."Setahuku ... Paduka Rajalah yang memberikan nama Cornelia padaku. Tapi, jika namaku yang sebenarnya adalah Cornelia, berarti
"Tuan Mahawira?" tukasku."Kau selalu mengetahuiku lebih dari siapa pun," jawabnya sambil melepaskan tangan yang tadinya menutupi kedua mataku."Kau ini seperti anak kecil saja." Aku melenguh setelah berbalik badan."Ya, sebaiknya kita kembali ke masa kanak-kanak. Karena banyak hal yang bisa kulakukan denganmu.""Kenapa harus kembali ke masa kanak-kanak? Bukankah lebih baik kita jalani hari-hari ini dan melakukan hal seperti yang kita lakukan dulu?""Ide yang bagus!"Begitu lugas Tuan Mahawira menarik tanganku, lalu ia membawa diriku berkeliling ke beberapa sudut negeri ini."Kau mau bunga? Akan kubelikan untukmu."Tanpa menunggu persetujuanku, pria itu langsung ke penjual bunga yang beberapa waktu menawarkan bunga-bunga dagangannya padaku."Hei, Pak Tua. Aku beli bunga yang paling cantik di tokomu," ucap Tuan Mahawira sambil menyunggingkan senyum.Aneh sekali. Pria itu sama
"Aku mohon, hentikan! Siapa kalian sebenarnya?! Kenapa kalian tiba-tiba menyerang kami?!"Dengan bersimbah air mata, kupangku kepala Tuan Mahawira. Pria itu tersengal lelah menahan rasa sakit pada luka-lukanya."Kau pergilah, C-Cornelia!" pintanya dengan napas tertahan."Tidak! Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini! Aku mencintaimu, Tuan! Aku sungguh mencintaimu!" ucapku sambil mengelus pipi sang pangeran."Jadi, begitu. Seorang pelayan rendahan sepertimu dengan lancang jatuh cinta pada seorang pangeran seperti Mahawira?"Seseorang kudengar melangkah. Setelah menolehkan pandangan ke sebelah kanan, ternyata Putri Camelia. Ya, seorang tuan putri yang dijodohkan dengan Tuan Mahawira. Ialah Putri Camelia dari Istana Simaseba."T-Tuan Putri ...." Aku tidak menyangka ternyata penyerangan dadakan ini merupakan perbuatan perempuan itu.Tuan Putri Camelia terdiam beberapa meter dari tempatku bera
Berjam-jam aku merengkuh diri, tak juga suasana hati kembali seperti sedia kala. Hancur, puing-puingnya beterbangan. Tak lama kemudian, terdengar guntur menggelegar. Udara dingin mulai menyapa. Aku semakin dirundung bisu atas segala yang terjadi.Ibu ..., Tuan Mahawira.Kuciumi mantel tebal yang merupakan milik tuanku. Hadirnya selalu nyata kala aroma tubuhnya masih melekat di mantel ini. Kuciumi lebih dalam, mata menerawang, ingatan menyatu dengan khayal."Untuk apa kau bersedih? Ini bukan saatnya membuang waktu dengan kesedihan."Tak dapat kubedakan kini, mana suara dari dunia nyata, mana yang khayal. Namun, deru napas itu terdengar jelas, artinya bukan imaji belaka. Aku beranjak dari ranjang, lalu membuka pintu rumah."Tuan Birendra ...." Aku tertunduk sendu di hadapan pria itu. Aku berani bertaruh, pria itu pasti sudah tahu bahwa Tuan Mahawira dibawa ke Kerajaan Simaseba."Bukan saatnya untuk bersedih, Cornelia. I