Tut. Tut. Tut. Bunyi yang terdengar menggema di sebuah ruangan, bersumber dari mesin elektrokardiogram. Mesin untuk mendeteksi detak jantung itu, sedang bekerja memantau seorang pasien remaja laki-laki yang sedang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien. Saat ini, di ruang pasien tidak ada siapa-siapa. Hanya dia seorang yang sedang tidak sadarkan diri. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya memasuki ruang pasien tersebut. Dia datang dengan membawa bunga lily putih yang terlihat sangat segar. Sembari meletakkan bunga tersebut di nakas pinggir pasien, wanita itu memandang wajah pemuda tersebut. “Huhh….” Wanita itu menghela napas kencang. Wajahnya terlihat sangat putus asa. Kemudian dia pun duduk di samping ranjang pemuda tersebut. “Sudah tiga bulan, Ya. Dan kamu masih belum sadar juga, Nak,” ucapnya lirih. Dengan sangat hati-hati wanita itu meraih tangan anaknya yang masih belum sadarkan diri di atas ranjang. Selama tiga bulan, hidup anaknya ini bergantung pada oksi
“Cuk! Mid!” seru seorang anak laki-laki yang berumur delapan belas tahun. Matanya sedang fokus menatap layar monitor lima belas inch. Anak itu sedang fokus memainkan game MOBA—permaian tim dalam jaringan berbasis pertarungan dalam arena—bersama tim kesayangannya.“Woy! Anj—”“Sabar, Arya! Aing otw nih,” sahut temannya dari dalam game tersebut.“Lo kebanyakan farming, Cuk! Mid sampe ditinggal,” komentar anak laki-laki itu. Tangan kirinya tak berhenti memencet tombol pada keyboard-nya, memberikan efek skill pada lawan di dalam game tersebut. Sementara itu tangan kanannya sibuk memegang mouse, berjaga jika dia harus bergerak untuk menghindar dari serangan musuh.“Arya! Arya!” panggil seorang wanita sembari menggedor pintu kamar. “Arya! Buka pintunya!” serunya lagi. Perempuan itu berteriak sangat keras, tapi Arya tak menggubrisnya.“Arya, ibu lo manggil, tuh
Seorang laki-laki paruh baya sedang tergeletak di hamparan rumput hijau. Laki-laki itu terlihat belum sadarkan diri. Buru-buru Arya beranjak dan menghampiri laki-laki itu. Namun, belum juga dia sampai, tiba-tiba Arya dikejutkan dengan kemunculan hologram baru di hadapannya.Arya tersentak dan kemudian dia tersungkur ke belakang. Matanya sampai tak berkedip, karena fokus menyaksikan bagaimana hologram itu terbentuk dengan sempurna. Akhirnya setelah satu menit, dari hologram itu terbentuklah sosok perempuan.Menelan salivanya kasar. Arya semakin kaget, ketika melihat sosok perempuan itu hanya mengenakan lingerie berwarna pink. Buru-buru Arya memalingkan pandangannya ke arah lain.“Oh, shit! Bisa-bisanya ada manusia cuman pake begituan. Hey, mata polos gue jadi ternoda!” rutuk Arya.Arya bangkit, walau rasa takut semakin besar dia rasakan. Dengan tidak menghiraukan perempuan yang kira-kira berumur tiga puluhan itu, dia mencoba melewatinya dan seg
Seorang laki-laki yang terlihat sebaya dengan Arya, berdiri dengan napas terengah-engah. “Lo siapa?” tanya Arya penuh curiga. Jujur saja dia merasa terkejut dan takut. Dia benar-benar tak mengenali siapa pun yang ada di dalam tempat asing itu. “Ah … akhirnya nemu orang yang seumuran.” Seketika laki-laki jangkung dan hitam manis itu memeluk Arya. Wajahnya terlihat berbinar. Mata Arya membulat ketika mendapatkan kontak fisik yang sangat tidak biasa. Buru-buru dia mendorong laki-laki itu menjauh darinya. “Dih, apaan, sih, peluk-peluk? Gak jelas banget,” sindir Arya sembari berusaha melepaskan pelukan laki-laki itu. Dia tidak suka ketika mendapatkan perlakuan intim seperti itu, apalagi dari seorang laki-laki. Laki-laki itu melepaskan pelukannya, kemudian berdiri tepat di depan Arya. Dia menarik sudut bibirnya, menampilkan senyuman di hadapan Arya. Sedangkan Arya, dia memindai tubuh laki-laki itu dari atas sampai bawah. Merasa sedang diamat
“Welcome to Let’s Purify Game.”‘Oh, shit! Serius ini di dalam game? Terus ini game apa?’ Arya hanya bisa membatin kesal sambil membelalakan matanya.Semua orang di sana mulai gaduh, mencari dari mana sumber suara itu berasal. Begitupun dengan Arya dan Idun yang kini sedang berdiri bersebelahan.Seorang laki-laki tiba-tiba berteriak dengan kencang. “Woy! Tunjukin muka, lo! Di mana lo, anj—”Belum juga selesai laki-laki itu berbicara. Suara seorang perempuan langsung menyela ucapan laki-laki itu. Suara itu adalah milik perempuan yang tadi menyapa mereka semua.“Wah, manusia-manusia ini sudah tidak sabar, ya?"Mendengar perkataan itu Arya memicingkan matanya. Walau banyak pertanyaan di dalam otaknya, tapi dia tak ingin gegabah. Dia harus mendengarkan dengan saksama. Arya mencoba untuk menahan emosi yang mulai bergejelok di dalam dadanya.“Bener! Tunjukin mukamu!” seru ora
Arya membelalak, badannya kini terasa dingin, tubuhnya seolah membeku. Terkejut, ketika melihat foto sang ibu ada di dalam daftar orang yang mengirimnya ke sini. “Ibu?!” ucap Arya dengan nada bergetar. Mata itu kini berkaca. Arya kini merasakan lututnya lemas, dia ingin ambruk seketika. Namun, dia berusaha menahannya. “Kenapa ada Ibu di sini? Ini bohong, kan?” teriak Arya. Dirinya kini frustrasi ketika tahu ibunya setega itu kepada anak semata wayangnya. “Kenapa Ibu? Kenapa harus ada Ibu di daftar ini?” raung Arya. Seketika Idun langsung memegang pundak Arya, mencoba menenangkan partner-nya. “Tenang. Jangan marah dan emosi. Siapa tahu dia hanya ingin memprovokasi,” ucap Idun, yang berusaha berlaku tenang. Padahal kenyataannya dia sendiri sedang panik. Laki-laki jangkung itu tak menyangka, karena teman sekolahnya yang mengirim dirinya ke sana. Bahkan wali kelasnya pun mengirim Idun ke dalam game sialan ini. Menoleh ke arah Idun
“Woah! Kamu pilih swordsman?” tanya Idun yang kegirangan dengan role yang dipilih Arya. Arya hanya menarik sudut bibirnya, tersenyum dengan percaya diri. Walau sebenarnya tidak ada yang terjadi pada Arya, setelah dia memilih role tersebut. “Lo apa?” tanya Arya. Idun menggeleng. Laki-laki itu bingung harus memilih role apa. Dia tidak memiliki pengalaman banyak dengan game RPG. Arya mencoba memindai postur tubuh Idun. 'Tinggi dan badannya pun sedikit berisi.' Arya hanya berbicara dalam hati. Kemudian terdengar sebuah bunyi peringatan dari layar dashboard milik Idun. Ternyata waktu yang dimilikinya hanya tiga puluh detik lagi. “Lo pilih guardian aja!” perintah Arya yang mendadak panik. “Hah?” “Cepet! Waktu lo nggak banyak. Lo nggak mau mati konyol gara-gara telat milih role, kan?” paksa Arya. Mendadak Idun pun panik. Benar, dia tidak ingin mati konyol hanya karena telat memilih role dalam game. Alhasil, tanpa
"Jadi, buat apa kita ke hutan?" tanya Idun. Saat ini Arya dan Idun sedang berjalan memasuki hutan belantara. Dengan bermodalkan senjata knife yang Arya beli dan rope yang Idun beli. Mereka mencoba mencari peruntungan untuk bisa membeli senjata yang sesuai dengan role mereka. "Berburu." Arya menjawab dengan singkat. Matanya mencoba melihat ke beberapa titik. Dia sedang mencari hewan, yang sekiranya bisa tangkap dengan alat sederhana miliknya. "Hah? Untuk? Bukannya tugas kita itu memiliki senjata. Kenapa harus berburu?" Arya mendengar sayup-sayup suara dari semak-semak yang berjarak sekitar dua meter darinya. "Ssst!" Laki-laki itu memberikan kode pada Idun untuk diam; tidak bersuara dan berjalan pelan mendekat ke arah sema