Share

The Playboy of Arthanavia

“Kamu itu seorang pangeran, Henry! Bisa-bisanya kamu mempermalukan nama keluarga kita hanya demi nafsumu! Memangnya kamu tidak mau mempergunakan otakmu?” Reginald menanggalkan semua formalitas dan ketenangannya ketika ia hanya berdua dengan adiknya di ruangan pribadi.

“Astaga, Yang Mulia.” Henry menghela napas. “Tidak banyak orang yang tahu, lagipula toh, itu tidak menambah apa-apa ketimbang popularitas kita yang akan semakin naik, ya kan?”

“Henry Leonard Baldwin! Jaga bicaramu! Kita sudah bekerja keras dari generasi ke generasi mempertahankan reputasi kita, lalu kamu malah seenaknya sendiri? Kamu berada di nomor satu pewaris tahta. Kelakuanmu ini hanya akan mengecewakan rakyat kita!” Reginald berkacak pinggang, menunjuk adik laki-lakinya yang badung itu, karena tak tahan dengan emosinya yang meluap.

“Yang Mulia, mereka toh tak peduli bagaimana perilaku kita selama kita tidak mengemplang pajak dan tampil baik di media.” Henry mengusap rambutnya yang ditata dengan indah setiap pagi oleh para penata rambut terbaik di istana. “Dan aku cukup baik di depan para rekan-rekan wartawan, ya kan?”

“Dengar, aku sudah cukup muak dengan skandalmu ini. Bisakah kamu sedikit mengurangi kenakalanmu itu sebentar? Kita akan mendapatkan bantuan dana restorasi istana dari Kerajaan Monaco, kita tidak bisa menampilkan citra buruk! Apalagi mereka bertekad menjodohkan dirimu dengan putri mereka.” Reginald mencoba bersabar menghadapi adiknya, demi kesepakatan yang cukup menggembirakan dari kerajaan di negeri seberang.

“Monaco? Nah. Catherine bukan seleraku. Dia itu ... hmmm. Begitulah. Terlalu murni.”

“Henry,” tegur Reginald dengan nada dingin.

“Aku berkata benar, untuk apa menikah dengan seseorang yang hanya akan dingin di ranjang? Setidaknya aku butuh aspek itu untuk membuatku bertahan dengan segala formalitas gila ini!” protes Henry dengan nada tinggi.

“Formalitas macam apa yang kamu maksud? Sejak kamu dilantik menjadi pangeran mahkota, kamu sama sekali tidak menampilkan citra yang positif untuk kerajaan. Mabuk-mabukan di Maldives? Pesta perempuan di Hawaii? Kita ini orang yang dianggap panutan oleh rakyat, Henry. Kita tidak bisa berbuat sesuka kita!”

Henry hanya mengangkat alis. “Apa gunanya kita mendapatkan jabatan tertinggi, keturunan bangsawan, punya banyak uang, kalau tidak bisa bersenang-senang? Setidaknya aku tidak mau kehidupan pribadiku terlalu banyak tekanan lah. Sudah pusing diriku mendengar ocehan para menteri yang sama sekali tidak kompeten di bidangnya, para petinggi militer yang sepertinya tidak terlalu serius memikirkan keamanan kerajaan kita. Sudahlah, Regie, Sayang. Just calm down.”

“Aku masih rajamu, Henry!”

“Yeah, yeah, Yang Mulia,” ujar Henry seraya memutar tangan kanannya dan membungkuk. “Ngomong-ngomong aku haus, Yang Mulia. Apa yang Anda punya di sini? Tequila? Vodka?”

Mata Reginald melotot. “Memangnya tenggorokanmu dari baja? Sampai bisa minum minuman keras, setiap saat?”

Henry mengedipkan mata, “Astaga, Yang Mulia. Anda ini terlalu kaku dan tegang. Kalem lah sedikit.”

“Aku terlalu pusing memikirkan kelakuanmu yang di luar batas! Seandainya kamu lebih sadar diri sebagai pangeran mahkota!”

“Aku sudah bilang padamu berkali-kali! Cepatlah ambil cuti bulan madu dan buatlah anak sebanyak-banyaknya! Aku sedang tak ingin menjadi Raja. Biarlah anakmu saja yang menjadi putra mahkota. Aku tak keberatan berada di urutan hmmm ... keenam dari tahta. Makin banyak, makin baik, Kak.”

“Jaga bicaramu!”

“Aku bicara benar. Daripada kamu pusing membenahi perilakuku yang di luar batas ini, cepatlah punya anak sana. Kuyakin kakak ipar,” Henry segera meralat kata-katanya setelah Reginald melotot ke arahnya, “Yang Mulia Ratu tidak akan keberatan. Dokter sudah menyatakan kalian subur. Kalian hanya perlu meluangkan waktu untuk kalian berdua.”

“Kalau kamu tidak membuat ulah setiap malam, tentu aku akan punya waktu yang cukup untuk memikirkan keturunanku!” Reginald memasang wajah masam.

Henry tergelak. “Astaga, Kakakku tersayang. Eh, maksudku, Yang Mulia. Rakyat juga tidak terlalu peduli apa yang kita lakukan di luar. Mereka makan dengan baik, mereka bisa bekerja, beres. Apa lagi yang mereka minta? Toh semuanya di bawah kendali perdana menteri yang mereka pilih sendiri. Kita hanya sebuah penggembira, hiburan di tengah kepenatan mereka bekerja. Jangan lupa. Karena aku selalu muncul di tabloid, masalah pemerintahan yang sangat vital bisa teralihkan, bukan?” Senyum Henry bergerak sinis, seolah menyindir pemerintahan yang sedang bergejolak karena isu kematian salah satu orang yang cukup penting di kabinet.

“Jangan memancing isu atau memprovokasi keadaan, Henry. Kamu tahu itu semua sedang diselidiki.” Reginald duduk di kursi santainya di sebelah Henry kemudian meraih botol minuman yang ada di atas nakas. “Kukira Brendy akan sangat menyenangkan untuk meredakan sakit kepalaku ...”

“Nah, itu yang harusnya Anda lakukan, Yang Mulia.” Henry nyengir.

Reginald menepuk paha Henry dengan keras. “Shuh. Aku sedang mengurangi dosis minumanku, aku harus siaga untuk melakukan inseminasi minggu ini.”

“Astaga, My Lord. Anda terlalu kaku sampai harus menyebut seks dengan inseminasi.” Henry tergelak, sementara Reginald mengacungkan telunjuk di depan bibir.

“Sudahlah. Kamu sudah membuatku lelah dengan skandalmu ini. Cepatlah menikah dan aku akan tenang. Jika kamu tak tertarik dengan Catherine of Monaco, kamu carilah gadis yang baik dari keluarga bangsawan. Siapa yang kamu ajak bercinta kemarin? Mengapa kamu tidak melamarnya dan membawanya kemari?” Suara Reginald sedikit melunak setelah Brendy menyiram ternggorokannya.

“Aku bahkan tak tahu namanya,” jawab Henry seraya menuang botol brendy ke gelas dan menenggaknya hingga habis.

Wajah Reginald merah padam. “Astaga, demi nenek moyang kita John Baldwin! Mengapa kamu bahkan meniduri seseorang yang tidak kamu kenal? Kamu bahkan mempertaruhkan nama baik dan reputasi kerajaan?”

“Ah, itu kan semua karena si Arthemis yang juga sama seperti Anda, Yang Mulia. Wajahnya bahkan kaku dan tegang seperti kayu. Tidak bisakah kalian menenangkan diri demi membuat dunia sedikit rileks.” Henry mengangkat alisnya, kembali menuang brendy untuk dirinya sendiri.

Sang raja berdecak. “Kamu benar-benar Son of B*tch.”

“Ups, Raja kita memaki, coba kita lihat reaksi para wartawan setelah mendengar Raja kita yang terhormat memaki-maki,” ujar Henry terkekeh.

“Semua itu gara-gara kamu!” Reginald mengusap kepala adiknya dengan sayang. Ia menyayangi Henry, yang memang sejak kecil dikenal sebagai berandal. Hanya saja kekhawatiran mengenai nama Henry yang menghiasi tabloid dan berita di internet sungguh meresahkannya.

Media massa menjulukinya sebagai The Playboy of Arthanavia. Don Juan dari Arthanavia, yang membuat para anak gadis di setiap negara tergila-gila. Setiap kali mereka melakukan kunjungan ke negara lain, selalu ada gadis-gadis yang berteriak-teriak menyebut nama Henry dan memberikannya banyak hadiah. Dan bukan rahasia pula, bahwa di setiap negara selalu ada gadis yang rela menukar apa pun demi menikmati bercinta bersama sang adik.

Reginald mengelus kepala adik laki-lakinya lagi. “Menikahlah, Henry.”

“Tidak, Kak. Kamu saja yang pulang dan bercinta dengan Yang Mulia Ratu. Segeralah punya anak, dan semua kisruh ini akan selesai.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status