Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka.
Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman.
“Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya.
Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya.
“Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?”
Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir.
“Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k
Abyan terkejut saat melihat semua makanan favoritnya tersaji di meja makan. Entah dari mana Nayla tahu semua makanan kesukaannya. Ah, mungkin Mbok Sum yang sudah memberi tahunya. Mereka berdua pun duduk berdampingan. Abyan diam saja saat Nayla mencidukkan nasi, sayur, dan lauk pauk ke dalam piringnya. Ia merasa de javu. Seolah-olah Aleya-lah yang sedang melayaninya. “Silakan dimakan, Mas!” seru Nayla karena pria di sampingnya itu masih tampak bergeming. “Eh, iya.” Lagi-lagi suara Nayla membuatnya sadar kalau wanita itu bukanlah Aleya. Ia kembali menghela napas panjang untuk menguasai dirinya. Kemudian ia meraih sendok dan mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Saat lidah Abyan menyentuh rendang daging buatan Nayla, ia merasa seolah-olah sedang memakan masakan Aleya. Rasanya benar-benar sama. Apa karena mereka sama-sama belajar dari Bu Saida? Abyan bertanya dalam hati. “Bagaimana, Mas? Enak?” Abyan
Karena tidak mengantar Airin ke sekolah, pagi itu Nayla bisa mengawali rutinitasnya untuk bersih-bersih rumah. Biasanya ia akan membersihkan semua kamar yang ada di lantai dua. Sementara Mbok Sum dan Pak Mahmud diberi jatah untuk membersihkan lantai bawah dan halaman. Usai membersihkan kamarnya dan kamar Airin, Nayla pun memasuki kamar Abyan yang memang tidak pernah dikunci. Di tangannya sudah ada sapu ijuk dan kemoceng yang siap digunakan untuk bersih-bersih. Sudah tiga tahun berlalu. Namun, tidak ada yang berubah di kamar itu. Semuanya masih sama. Foto pernikahan Abyan dan Aleya masih tergantung manis di dinding. Sementara foto pernikahannya hanya teronggok di gudang. Terlupakan dan terabaikan. Nayla selalu berpikir, apa ia begitu tidak berarti di mata suaminya? Apa janji suci yang pernah Abyan ucapkan di hadapan penghulu itu tidak ada artinya? Mata Nayla mulai terasa panas. Namun, ia berusaha keras untuk menahan bulir bening itu agar tidak jatuh ke pipi. S
Suasana ruang tamu itu terasa mencekam. Nayla yang duduk di sofa panjang, terlihat seperti pesalah yang siap dijatuhi hukuman. Kepalanya tertunduk. Sama sekali tidak berani menatap wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya. “Apa kau sadar, kesalahan apa yang telah kau lakukan hari ini?” Suara tegas Abyan menggema ke seluruh ruangan. Manik hitamnya menyorot tajam ke arah wanita yang tengah memakai baju dan perhiasan milik mendiang istrinya. “Apa kau tidak dengar apa yang aku tanyakan?” Abyan meninggikan suaranya karena wanita yang duduk di hadapannya itu tidak juga menyahut. Jantung Nayla memompa semakin kencang. Ia meremas-remas tangannya yang gemetaran dan terasa dingin. “Aku ... aku minta maaf, Mas,” ucapnya dengan gugup. Masih dengan kepala tertunduk memandang lantai yang terbuat dari granit putih. “Bukankah aku sudah pernah bilang padamu, jangan bawa mobil sendirian! Kenapa kau masih nekat? Sekarang lihat apa akibatnya!” Abyan menghela n
“Selama ini kau hanya sibuk mengurus pekerjaanmu dan melupakan tanggung jawabmu sebagai seorang ayah dan suami. Hingga aku harus mencari berbagai alasan di hadapan kedua orang tua kita hanya untuk menutupi semua kesalahanmu. Sampai kapan, Mas? Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini? Sampai kapan kau akan membiarkanku menunggumu? Apa tiga tahun tidak cukup bagimu untuk melupakan Mbak Aleya?” Kata-kata Nayla terngiang kembali dalam ingatan Abyan. Walaupun matanya tertuju ke layar laptop yang menyala di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh entah ke mana. Ia sama sekali tidak fokus pada pekerjaannya. “Orang yang sudah meninggal, tidak akan bisa hidup kembali, Mas. Kalau aku dan kedua orang tuaku saja bisa mengikhlaskan kepergian Mbak Aleya, kenapa kau tidak bisa? Kenapa kau tidak bisa menghargai orang yang masih hidup? Apa kau baru akan sadar setelah aku pergi dari hidupmu?” Abyan mencerna kembali semua kalimat yang terlontar dari bibir
“Seseorang baru akan terasa berarti setelah ia pergi meninggalkan kita. Maka, hargailah selagi masih ada. Jangan sampai menyesal di kemudian hari, saat kita tak lagi mampu memandang wajahnya ....” -Anita R- *** “Papaaa!” Abyan mendongak ke atas. Terlihat Airin sedang berjalan menuruni anak tangga bersama Pak Mahmud yang memegangi tangan kecilnya. “Airin,” gumam Abyan dengan kelopak mata yang sudah penuh. Saat berkedip, bulir bening pun langsung membanjiri kedua pipinya tanpa bisa dibendung lagi. Sontak tangan kanannya terangkat untuk menyekanya. Mbok Sum merasa terenyuh saat melihat majikannya mengeluarkan air mata. Sosok Abyan yang biasanya terlihat tegas, dingin, dan berwibawa, kini terlihat sangat rapuh. Mbok Sum yakin kalau saat ini pasti Abyan merasa sangat kehilangan setelah Nayla pergi meninggalkannya. “Papaaa!” Setelah sampai di lantai bawah, Airin pun berhambur memeluk kaki ayahnya. Sontak Abyan menekuk lutut dan meren
Suara azan Isya terdengar bersahut-sahutan ketika Nayla berada di dalam taksi. Wanita berparas cantik itu melempar pandangannya ke luar jendela. Melihat kendaraan yang berlalu lalang dan lampu-lampu yang bersinar terang di sepanjang jalan. Yogyakarta memang kota yang sangat cantik. Kota yang menyimpan banyak kenangan manis untuknya. Ingatan Nayla menerawang. Mengenang kembali masa-masa indahnya saat menjadi seorang mahasiswi di Kota Pelajar itu. Saat pertama kali ia dipertemukan dengan Revan, cowok paling tampan dan populer di kampusnya. Karena bangun terlambat, pagi itu Nayla berangkat ke kampus dengan tergesa-gesa. Mata kuliah pertamanya akan dimulai satu jam lagi. Dia harus bisa mengejar waktu, karena jarak antara rumah dan kampusnya lumayan jauh. Bisa memakan waktu hampir satu jam perjalanan kalau tidak mengebut. “Ibu, Ayah, Nayla berangkat dulu ya!” pamitnya kepada kedua orang tuanya yang saat itu tengah berkutat di restoran. Bu Saida dan Pak Has
Tiga tahun memiliki Airin, baru kali ini Abyan mengurus segala keperluannya. Mulai dari memandikan, memakaikan baju, menyisir dan mengekor rambutnya, hingga menyuapinya makan. Pekerjaan ibu rumah tangga yang selama ini dianggapnya sepele itu, ternyata begitu sulit saat dipraktikkan. Apalagi dari sore hingga malam hari, Airin terus-terusan menangis dan menanyakan soal ibunya. Kepala Abyan seperti mau pecah. Baginya, semua itu lebih sulit daripada membuat desain hotel, perumahan, dan gedung bertingkat lainnya.Dalam keadaan seperti itu, Abyan tidak mungkin meninggalkan Airin sendirian di rumah hanya bersama dua orang asisten rumah tangganya. Lalu ia pun memutuskan untuk membatalkan keberangkatannya ke Phuket. Ia menyuruh Vino untuk berangkat sendirian mewakili dirinya. Sekarang bagi Abyan, keluargalah yang harus lebih diprioritaskan. Meskipun ia terlambat menyadarinya.“Airin cantik, ayo buka mulutnya, Sayang. Nih, Mbok Sum sudah bikinin sup iga sapi kesukaan Airin
Setelah mengganti pakaiannya dengan setelan piama pendek biru muda yang terbuat dari bahan satin, Nayla pun menghempaskan tubuh rampingnya ke ranjang. Spring bed queen size itu terasa sangat empuk dan nyaman saat ditiduri. Akhirnya, setelah sekian lama, ia bisa tidur lagi di kamarnya.Nayla menghela napas lega. Beban di pundaknya kini terasa lebih ringan setelah ia membongkar semuanya. Tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi. Ia sudah lelah dengan kebohongan-kebohongan yang ia ciptakan selama ini. Untuk apa berpura-pura tersenyum dan bahagia di depan orang lain sementara hatinya menjerit dan menangis?Ya Allah ... aku tahu apa yang kulakukan ini salah. Tidak seharusnya seorang istri pergi dari rumah tanpa seizin suami. Tidak seharusnya aku mengumbar aib suami di depan orang tua. Tapi aku sudah tidak kuat lagi, Tuhan. Aku ingin mengakhiri semuanya. Karena orang yang selama ini kuanggap sebagai suami, tidak pernah menganggapku sebagai istrinya.Nayla mengangkat t