Sudut mata Takumi tak sengaja menangkap sosok yang familiar baginya, seorang gadis dengan seifuku berjalan sendirian melewati trotoar.
"Nakamura...-san? Ehh, bukankah ini masih jam sekolahnya?" ujar Takumi sambil melirik jam tangannya.
Dengan buru-buru Takumi keluar dari kedai, berniat menghampiri Junko, tapi karena terlalu tergesa-gesa ia jadi tak tahu kemana arah yang dituju gadis itu.
Takumi mendesah kesal, "Seharusnya tadi aku berteriak saja untuk memanggilnya," katanya.
Ia berniat mencari keberadaan Junko sekarang, tapi atasan Takumi menelponnya untuk segera kembali ke kantor. Jadi ia urungkan niatnya untuk mencari Junko. Takumi juga berpikir bahwa nanti juga ia akan bertemu dengan gadis itu.
"Takumi-san, sampai nanti!" tegur salah satu teman yang berada di unit yang sama dengannya.
Takumi membalas hanya dengan senyuman simpul. Ia melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 3 sore. Takumi sudah membuat janji dengan Junko sore ini untuk bertemu. Tapi masalahnya sekarang adalah, dimana tempat mereka akan bertemu?
Junko juga belum menghubunginya sama sekali. Takumi ingin menghubungi gadis itu, tapi ia enggan karena berbagai hal. Misalnya, mungkun nanti ia akan mengganggu gadis itu ketika dia sedang sibuk.
Karena sudah menunggu cukup lama, sekitar 15 menit, Takumi akhirnya memutuskan untuk pulang saja. Mungkin Junko ada urusan mendadak jadi dia tak bisa bertemu dengannya.
Ya, mungkin itu alasannya.
___
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, ketika Takumi sedang bersantai setelah menyelesaikan pekerjaannya menginput seluruh data dari perusahaan tempatnya bekerja. Tiba-tiba saja ponsel Takumi bergetar, menandakan ada pesan yang masuk.
Nama Nakamura Junko berada di urutan paling atas dipemberitahuan ponselnya. "Nakamura-san?"
Takumi heran, jarang sekali gadis itu mengiriminya pesan. Biasanya Junko akan selalu menelpon ketika membutuhkan sesuatu.
Takumi memencet notifikasi pesan dari Junko. Disana tertulis, -Paman. Aku ada diluar. Didepan rumahmu.-
Setelah membaca itu, Takumi terlonjak kaget. Junko berada di luar rumahnya?
Hal pertama yang Takumi pikirkan adalah, dari mana gadis itu mendapatkan alamat rumahnya?
Junko benar-benar seperti stalker. Tahu segala sesuatu tentang dirinya. Tapi yang membuat Takumi tambah bingung adalah, kenapa gadis itu sendirian di luar sana di cuaca yang dingin begini?
Takumi membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa, kemudian melihat kebawah untuk memastikan bahwa gadis itu memang berada disana. Dan benar saja, Junko sedang berdiri mematung sambil menatap tepat kearah rumahnya. Lampu taman yang redup memberikan cahayanya pada Junko, agar memberitahu Takumi bahwa dia berada disana.
Tanpa menunggu lama, Takumi berlari masuk kedalam rumahnya lagi. Ia ke kamarnya mengambil sebhah mantel, lalu bergegas untuk menghampiri Junko.
Apa yang sebenarnya gadis itu pikirkan berada di luar ruangan dengan hanya memakai seifuku -baju seragam- di cuaca yang dingin ini.
Setelah berada tepat di depan Junko, Takumi dengan cepat memasangkan mantelnya kepada gadis itu.
"Apa yang kau pikirkan, berada di luar di cuaca yang dingin? Kau ingin sakit?" tanya Takumi, nafasnya masih terengah-engah setelah berlari menuruni tanga dari atas ke bawah.
Bukan jawaban yang Takumi dapat tapi malah justru gelak tawa dari Junko yang terdengar di telinganya.
Takumi terdiam sejenak, menetralkan nafasnya, lalu kemudian ia bertanya lagi dengan nada serius, "Mengapa kau berada diluar?"
Junko tak kunjung menjawab, dia malah menghampiri ayunan yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Nakamura-san, kau mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku. Hey!"
Setelah duduk di ayunan itu, Junko melambai-lambaikan tangan, menyuruh Takumi untuk menghampiri dirinya. Gadis itu menunjuk ayunan disebelah kepada Takumi.
Ia mengikuti arahan Junko, duduk disebelah gadis itu yang entah mengapa hari ini terasa berbeda.
"Hari ini meski dingin tapi bintang di langit tidak menunjukkan bahwa mereka akan menghilang dibalik awan," gumam Junko dengan suara pelan, "Paman, bisakah aku bercerita sesuatu?"
Junko tidak seperti biasanya, gadis yang selalu ceria. Malam dia terlihat murung.
Takumi mengiyakan dengan anggukan.
Junko menengadahkan wajahnya ke atas, sebelum akhirnya mulai bercerita.
"Aku hanya bertanya tentang dimana ayahku berada, tapi ibuku menamparku dengan keras. Apakah itu sebuah kesalahan?" Junko menggerakkan kakinya gelisah, "Paman beritahu aku, apakah ingin mengetahui siapa ayahnya sendiri adalah sebuah kesalahan?" gadis itu kembali bertanya.
"Sedari kecil aku tidak tahu siapa ayahku. Bahkan saat aku bertanya siapa namanya, ibu selalu diam dan menghindar dariku. Aku hanya ingin tahu siapa ayahku, itu saja. Dan sekarang saat aku sudah cukup mengerti untuk tahu dimana ayah, ibu malah memarahiku dan menamparku dengan keras. Dia juga mulai berubah sejak menemukan pria yang dia sukai. Aku sering dimarahi dan kadang dipukul. Rasanya seperti di neraka jika tinggal di rumah," Junko menarik nafas sebelum melanjutkan ceritanya, "Padahal dulu ibu sangat menyanyangiku, bahkan ketika aku terjatuh karena bermain ibu selalu jadi orang pertama yang panik jika aku terluka. Tapi sekarang, dia seperti orang asing yang tinggal bersamaku."
Gadis itu meneteskan air mata yang sedari tadi dia tahan. Menangis tanpa suara. Tapi masih bisa terdengar isakan lembutnya oleh Takumi.
Takumi bangkit dari duduknya, menghampiri gadis itu, kemudian meraih kepalanya untuk di sandarkan ke tubuh Takumi.
Setelah perlakuan tersebut, Junko sudah tidak enggan lagi melepaskan tangisannya. Sambil memeluk gadis itu, Takumi teringat pembicaraannya dengan Naoto siang tadi. Ia tak akan membiarkan Naoto bercerai bagaimanapun caranya. Karena yang menjadi korban dari perceraian bukanlah Naoto ataupun istrinya, tapi anak mereka yang bahkan belum mengerti apapun tentang dunia ini. Ya, dia tak akan membiarkan si bodoh Naoto itu bercerai.
Takumi tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Kalau saja rasa sakit bisa di berikan kepada orang lain, ia siap menanggung rasa sakit yang sekarang Junko rasakan.
Setelah cukup lama menangis dipelukan Takumi. Ia melihat Junko sedang menyeka air matanya yang mulai mengering karena terlalu lama menangis tadi. Gadis itu sudah melepaskan rasa sakitnya dengan menangis sekitar cukup lama di pelukan Takumi.
"Sudah merasa baikan?" Takumi memberikan sekaleng minuman hangat kepada Junko, "Maaf aku meninggalkanmu. Aku membeli ini," katanya.
Junko hanya tersenyum tipis ketika menerima kaleng itu.
Takumi kembali duduk di ayunan, membuka kaleng minuman kemudian menyesapnya. "Sudah merasa baikan, Nakamura-san?" tanya Takumi lagi.
Kali ini Junko menjawab, "Hmm. Rasanya sedikit lega mengeluarkan semuanya dengan menangis. Arigatou, Masato-san."
Takumi tersenyum simpul, ia juga merasa lega mendengar jawaban Junko.
Tak lama kemudian, Junko bangkit dari duduknya dan berkata, "Paman, aku akan pulang sekarang. Ini!" Dia melepaskan mantel Takumi dan menyodorkan kepadanya.
Takumi juga dengan sigap bangkit dari duduknya. "Aku akan mengantarmu," katanya. Ia menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang, tapi Junko menolak dengan halus.
"Aku akan pulang sendirian, " katanya.
"Aku akan tetap mengantarmu, ini sudah malam kau tahu. Setidaknya aku mengantarmu sampai di stasiun. Bukankah kereta terakhir akan datang jam 9. Ayo, nanti kau akan ketinggalan," ajak Takumi sambil memasangkan kembali mantelnya kepada gadis itu.
Junko mengikuti langkah Takumi dari belakang. Takumi tak sedikitpun menyadari sebuah senyuman lebar dari gadis berumur 17 tahun itu yang mengarah padanya.
"Nah, hati-hatilah dijalan," ujar Takumi setelah mereka sampai di dalam stasiun.
Junko kembali akan melepaskan mantel Takumi, tapi kali ini di cegah, "Pakai saja, kau bisa kembalikan kapanpun."
"Baiklah paman," Junko mengalihkan pandangannya dari Takumi, kemudian gadis itu berseru, "Oh... ahh! kereta terakhirnya datang. Kalau begitu aku pergi dulu, matta ashita!"
Junko berlari kecil kearah kereta yang sudah berhenti didepan mereka. Gadis berambut panjang itu memasuki salah satu gerbong dan duduk tepat di dekat jendela yang menghadap Takumi. Gadis itu melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Takumi juga membalasnya dengan tersenyum.
Benar-benar gadis yang aneh...
Mata Takumi memandang sekeliling ruangan untuk mencari keberadaan Naoto yang sampai saat jam istirahat pun tidak memunculkan batang hidungnya. Kemana perginya lelaki itu? Takumi mendesah untuk kesekian kalinya, ia baru saja bertanya pada salah satu teman tentang Naoto. Ternyata lelaki itu tidak masuk hari ini. Takumi merasakan getaran di saku jas, ia merogoh sakunya dan melihat nama Nakamura Junko sedang menelpon. "Paman, Konnichiwa!" suara Junko yang sudah terdengar ceria lagi membuat Takumi lega. Itu artinya gadis itu sudah baik-baik saja sekarang. "Hmm, konnichiwa. Ada apa Nakamura-san?" tanya Takumi. Jarang sekali gadis itu menelponnya pada siang hari. "Paman besok libur, kan? Bisakah aku mengajakmu ke suatu tempat?" "Suatu tempat?" "Hemm. Bisakah?" nada bicara gadis itu terdengar ragu.
Takumi pikir ada tempat selanjutnya yang akan mereka berdua kunjungi, tapi ternyata hanya Kuil. Ia mendesah berkali-kali mengingat betapa bodohnya mengharapkan dan membayangkan tempat-tempat yang menyenangkan yang akan mereka datangi ketika di Kyoto. Takumi mengacak-acak rambutnya, kesal dengan pemikiran tidak jelasnya itu. "Ehh, benarkah? Jadi berita itu tidak bohong ya."Telinga Takumi tak sengaja mendengar teman kantornya sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius. Tapi ia tak peduli sama sekali, selama itu tak menyangkut dirinya. "Pantas saja dia tidak bisa dihubungi." "Hmm. Tapi keputusan bunuh diri itu benar-benar keputusan yang terlalu berlebihan." "Benar, benar." Tunggu. Bunuh diri? Siapa? "Siapa yang bunuh diri?" Takumi bertany
Junko merasakan kepalanya semakin pusing ketika ia berjalan untuk menaiki tangga, menuju atap sekolah. Ia belum sarapan sama sekali pagi ini. Padahal dirinya sedang sakit. Junko dengan susah payah membawa dirinya ke sebuah kursi yang sering ia gunakan untuk menenangkan diri. Kemudian Ia mengerjapkan matanya beberapa kali supaya rasa sakit di kepalanya sedikit berkurang. "Konnichiwa, Jun-chan!" Seseorang yang tak asing mendekati Junko, menyapanya, kemudian ikut duduk di sebelahnya. "Kau kenapa, wajahmu kelihatan pucat. Kau sakit?" Junko sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari kakak kelasnya itu, ia malah menghela napas ringan. Kenapa Kanna selalu saja muncul saat dirinya benar-benar ingin sendiri. Jika bukan karena ia malas berada di rumah, Junko sama sekali tidak akan berangkat ke sekolah dengan keadaannya sekarang. Telapak tangan Kanna di tempelkan ke dahi Junko, lalu bertanya, "Kau sakit. Kita ke UKS ya?" Junko menggeleng
"Kau yakin ingin pulang sendirian, Junko-chan?" Kanna bertanya untuk yang ketiga kalinya pada Junko, apakah Junko yakin pulang sendirian dengan keadaan yang terlihat agak mengkhawatirkan."Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, Kanna-san tidak perlu cemas." Junko meyakinkanKanna bahwa ia bisa pulang sendiri tanpa di antar. Apalagi jarak stasiun dengan sekolah tak terlalu jauh, jadi ia akan baik-baik saja."Tapi kau kelihatan masih lemas, nanti jika pingsan di jalan, bagaimana?" Kanna masih berusaha membujuk, agar Junko mau menerima tawaran untuk di antar saja oleh dirinya."Tenang saja." Junko menepuk pundak Kanna dan tersenyum tipis.Kanna membuang nafas dan akhirnya menyerah. Junko memang lebih keras kepala, Kanna akui. "Baiklah, hati-hati," katanya ketus.Junko menanggapi kelakuan kakak kelasnya itu dengan tertawa kecil.Hari ini Junko tidak berniat langsung pulang kerumah. Ia memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia be
Kemarin adalah hari yang paling membahagiakan bagi Takumi. Saling mengungkapkan isi hati dan perasaan satu sama lain adalah hal tersulit bagi semua orang, termasuk dirinya. Meskipun Takumi dan Junko tahu, bahwa kebahagian itu pasti akan ada rintangannya. Tapi mereka berdua percaya, setiap masalah pasti akan ada solusi. Bahkan jika sesuatu yang mungkin akan membuat salah satu dari mereka terluka. Takumi siap dengan resiko itu.Takumi sekerang sedang mengumpulkan beberapa informasi yang ia dapat dari Junko. Gadis itu mengatakan padanya, bahwa semenjak Junko kecil tidak pernah sekalipun bertemu dengan ayahnya dan sampai sekarang Junko tak tahu siapa nama ayahnya dan dimana pria itu berada sekarang. Kalaupun Junko bertanya pada ibunya, Mayumi selalu mengalihkan pembicaraan atau tidak menjawab sama sekali.Takumi menopang dagu. Menggigit bibir bawahnya, kemudian tiba-tiba ia teringat suatu hal. Ia pernah satu kali memergoki Mayumi bersama dengan seorang pria saat m
Junko tak bisa menahan rasa bahagianya ketika mendapat pesan singkat dari Takumi. Pria itu mengajaknya untuk pergi ke Festival Hanabi. Festival yang di adakan setahun sekali setiap musim panas. Jarak tempat untuk menyaksikan kembang api pun sepertinya tidak terlalu jauh dari rumahnya.Junko belum pernah sekalipun pergi ke Festival semacam itu sejak kecil, karena ia selalu di kurung di rumah dan tidak di ijinkan untuk keluar oleh ibunya.Untuk pertama kali dalam hidupnya Junko mendapat tawaran untuk melihat kumpulan kembang api yang meledak-ledak di langit itu dari seseorang yang spesial.Takumi mengatakan akan menjemputnya jam 8 malam nanti. Betapa senangnya Junko hari ini dan sampai ia hampir meneteskan air mata.Junko menepuk-nepuk pipinya. "Yosh!! Mungkin ini adalah kesempatan bagus untuk aku bisa lebih dekat dengannya." Kepercayaan diri Junko semakin bertambah sekarang. Semoga saja malam ini akan menjadi malam panjang yang membahagiakan.
"Junko?"Meski jarak mereka berjauhan, Junko masih bisa membaca gerak bibir Takumi yang mengucapkan namanya. Junko masih mematung disana, melihat pria yang ia sukai bersama ibunya. Mungkin lebih baik ia pulang dan melupakan segalanya malam ini. Iya, itu adalah pilihan terbaik untuknya.Dengan enggan Junko memutar tubuhnya, menghembuskan napasnya sebentar lalu mulai menggerakkan kakinya. Malam ini dan seterusnya, Junko tak akan lagi berharap pada apapun dan siapapun. Karena percuma saja, kepercayaannya selalu di runtuhkan oleh takdir. Yang Junko rasakan saat ini adalah rasa kecewa yang dalam, bukan terhadap Takumi tetapi terhadap dirinya sendiri.Baru beberapa langkah Junko bergerak dari tempatnya tadi, tiba-tiba pergelangan tangannya digenggam oleh seseorang. Seseorang itu menarik tubuh kecilnya sampai Junko hampir terjatuh. Dia kemudian menempatkan dirinya berdiri di depan Junko. Napas orang itu memburu, mungkin dia tadi berlari mengejarnya."Junko! Tunggu!" Sa
"Jun-chan, Ohayou!" Kanna muncul dari balik pintu dan menyapa Junko dengan ceria, seperti biasa."Oh, Kanna-san," Junko menoleh kearah kakak kelasnya itu, "Ohayou."Mata Kanna menyipit sambil berjalan kearah Junko, kemudian dia mendekatkan wajahnya ke wajah Junko. Dia menilik-nilik dengan alis terangkat lalu mengernyit heran."Ada...apa, Kanna-san?" Junko menjadi gugup karena di perlakukan seperti itu.Setelah beberapa saat menatap, Kanna akhirnya menjauhkan wajahnya, dia melipat tangannya di dada dan berkata , "Kau terlihat lebih ceria hari ini."Junko kebingungan, ia tidak mengerti apa yang coba Kanna bicarakan. "Apa maksudmu? Aku tidak paham.""Wajahmu terlihat lebih cantik jika kau tidak murung. Lihat!" Kanna mengarahkan sebuah kaca ke wajah Junko, "Tetaplah seperti ini agar kau terlihat lebih dan lebih cantik lagi Jun-chan."Junko mengulas senyuman tipis. Dia berpikir, apakah ia boleh merasa seperti ini. Merasakan kebahagiaan seperti orang lain.