Lembayung senja menghias jagat raya, membangkitkan seluruh manusia dari segala keluh kesah yang membahana.
Menggelar sajadah dan bersujud tunduk, patuh, taat juga tawadhu pada ketentuan TuhanNya.
Rania menginjakkan kaki di bandara Samsoedin Noor dengan bahagia. Kerinduannya pada kota kelahiran abah demikian menyelusup pori-pori hatinya dan membuatnya tak berdaya.
Rania di terima menjadi salah satu mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di kota itu.
Banjarmasin, kota seribu sungai dengan ribuan mimpi, harapan, cita-cita juga kenangan. Banjarmasin yang masyarakatnya agamis namun tak ekstrim terhadap agama lain.
Banjarmasin adalah kota paling familiar menurut Rania.
Ia bangga, mimpinya menjadi salah satu mahasiswi universitas itu tercapai kini.
Menjadi mahasiswi fakultas hukum strata 1, lucu memang, sedang ia sendiri sudah menempuh S2 ekonomi di kotanya.
Tapi apapun alasannya mimpi adalah cita-cita yang didekap hingga menembus alam bawah sadar.
Bukan hanya untuk sekedar memahami ilmu hukum agar dirinya tak buta hukum. Namun lebih dari itu. Ada 'hope' yang sedang ia gambar dalam perjalanannya.
Harapan tentang kesuksesan, harapan tentang pembuktian, harapan tentang mewujudkan kerinduan dan harapan tentang terwujudnya pembalasan.
Rania dengan tegap mendorong trolli menuju taxi yang telah ia pesan. Ringan langkahnya menuju sebuah rumah yang di kontraknya melalui media online.
Sebuah rumah mewah dengan perabotan mewah.
Rania sengaja memilih rumah itu bukan hanya sekedar untuk sebuah kenyamanan namun lebih dari itu.
Rania ingin merasa nyaman di rumah yang ia sewa. Merasa nyaman saat menulis dan nyaman saat menjamu kawan.
Rania ingin benar-benar berhasil dengan cita-citanya.
Memasuki perumahan elite di jalan A. Yani membuat Rania merasa perlu membawa pandangannya mengawasi sekeliling. Rumah-rumah bertingkat nan megah.
Dinding putih dan gerbang berpagar tinggi, ornamen minimalis ditambah dengan hiasan sebuah mobil mewah yang sedang dibersihkan oleh sopir pribadi.
Gambaran sorga dunia yang disulam demikian indah.
Rania turun tepat disebuah rumah bertuliskan A. 36.
Seorang wanita bergaun indah disamping sebuah toyota nampak anggun tersenyum ke arahnya.
Rania membalas senyum renyah wanita itu.
"Saya ibu Rumi pemilik rumah ini."
"Oh, saya Rania bu, " suara Rania renyah.
Wanita tersebut membimbing Rania masuk rumah berornamen bunga matahari tersebut. Ruang tamunya sedikit nampak naik dibanding ruangan yang lain. Di ruang keluarga sebuah sofa tanpa sandaran di hamparkan begitu saja di tengah ruangan. Ada karpet berbulu tebal berwarna hijau muda, menutupi sedikit saja kaca lebar yang terhampar dilantai. Ada hiasan tiga dimensi bernuansa kolam ikan di bawahnya.
Rania bangga dengan rumahnya. Setara dengan uang dua puluh juta yang ia berikan satu hari yang lalu untuk sewa rumah ini selama satu tahun.
Rania tidak lagi perduli dengan harga. Honor menulisnya terlalu besar bila hanya untuk bilangan dua puluh juta saja.
Dalam sebulan ia bisa tuntas menulis 10 judul novel. Bila satu novel berharga 200 USD belum termasuk bonus harian, royalti dan koin dari pembaca maka dalam sebulan ia bisa dapatkan lebih dari empat puluh juta hanya dengan menulis novel.
Rania tak perduli dengan letih yang kadang mengoyak-ngoyak dirinya, yang ia tahu ia harus kuat berjuang demi nama baik dan kesetaraan kehormatan di mata masyarakat.
Ia habiskan kesehariannya untuk menulis dan memintal doa pada Tuhan, ia yakin suatu hari apa yang ia pintal akan berbentuk. Dan inilah saatnya.
Inilah saat dimana dirinya merasa punya waktu membuktikan bahwa ia berharga dan layak dihormati.
Ia layak diperebutkan dan diperjuangkan. Ia layak dibanggakan dan dihargai.
Bila hari kemarin ia meminta karena memang ia sedang tak memiliki apapun untuk digunakan. Rania lelah berkejaran dengan hutang dan riba, maka meminta adalah jalan yang ia tempuh. Demi hidupnya, demi anak yang diasuhnya.
Tak malukah dirinya? Malu... pasti. Namun akan lebih malu lagi bila dunia mencatat namanya sebagai wanita tuna susila yang menggadaikan harga diri demi rupiah.
Hari ini, ketika ia berada di bulan ke tiganya melalui kontrak eksclusive bersama sebuah media online. Hari ini adalah hari kemenangan dimana dirinya benar-benar berjaya.
Ia telah memiliki sebuah mobil mewah, memiliki tas bermerk, kosmetik para artis dan perawatan tubuh yang intensive.
Hidup telah ia menangkan.
Hidup telah ia genggam.
"Kalau begitu saya pulang dulu ya mbak.."
"Rania, "
"Oh iya mbak Rania. Ini surat perjanjiannya, semoga saja betah."
"InsyaAllah betah, bu." jawab Rania lugas.
Ia mengantar ibu Rumi keluar dari rumah yang ia sewa. Kemudian Rania berkemas membereskan pakaian yang di bawanya. Sambil sesekali ia benamkan wajahnya diantara ranjang empuk kamar barunya.
Dua kakinya terjuntai di ujung ranjang, ia menghubungi satu nomor di ponselnya.
"Hallo, saya Rania, yang kemarin sempat buat janji."
"Saya butuh dua orang asisten rumah tangga,"
"Iya jadi..."
"Bisa kan ?"
"Oke, terimakasih."
Rania menghela nafas panjang kemudian mendekap bantal harum, merapatkannya di dadanya. Menekan tombol on pada remote AC yang tergeletak di ujung ranjang.
Sebelum tidur ia berujar, tak ada yang tidak mungkin bila Allah mengijinkan.
Keyakinan pada kekuatan Tuhan harus melekat kuat, hingga dalam kondisi apapun seorang hamba tidak akan kehilangan pegangan.
Lamat-lamat, dingin AC dan harum pewangi ruangan menyeruak seluruh sisi kamar. Mata indah Rania terpejam, bulu mata lentiknya pun mengatup, rapat.
Bayangan tentang hari esok berkejaran di mimpinya, bayangan tentang kemenangan dan tantangan baru, Rania sadar, ia harus mempersiapkan diri dengan matang. Ia tidak boleh rebah apa lagi tergelincir.
Titian itu harus ia lewati dengan hati-hati, bersahaja dan meninggalkan kesan sombong. Berguna namun tidak mudah di guna-guna, bermanfaat namun tidak mudah di manfaatkan.
Sepiring soto banjar dengan sesendok penuh sambal terhidang di piring tebalnya.
Dalam tidurnya ia telah berkelana, menghirup aroma segar soto banjar yang nikmat nian.
Rania tersenyum, mengenang orang pertama yang memperkenalkan dirinya pada soto banjar di anjungan pasar
"Hey, tumben jalanan di Banjarmasin ini menjadi macet, mungkin karena sekarang warganya menjadi makmur dan berkecukupan. Hingga jumlah mobil semakin bertambah. Jumlah motor makin banyak dan jalanan menjadi sesak."
Dulu Banjarmasin tidak macet seperti ini. Macet memang seringkali menjengkelkan namun macet juga bisa dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang mulai mapan atau juga tata kota yang kurang baik berjalan.Entahlah.
Macet yang menggoda membuat beberapa caci maki muncul, untung saja hari hujan hingga terik matahari tak menimbulkan keresahan. Diantara macet Rania menyempatkan diri menghafal beberapa surah yang belum ia tuntaskan.
Rania menuju kampus tempat ia diterima bersekolah kembali. Kuliah di fakultas hukum. Universitas swasta ternama di kota ini. Universitas yang menjadi mimpi jutaan anak di luar sana. Universitas berkelas, begitu Rania selalu menyebutnya dengan bangga.
Wuih... mimpi-mimpi dirancang indah olehnya. Mimpi yang sudah dirajut ribuan menit yang lampau baru kini diijinkan terjadi.
Rencana manusia tidak akan pernah lebih baik dari rencana taqdir Tuhan. Memang demikianlah kenyataannya.
Dan beberapa bulan terakhir ini Rania memang disibukkan untuk menjelajah rencana Tuhan yang sudah dipahami, selalu tidak terduga.
Termasuk dengan jadwal kuliahnya tahun ini, ia adalah bagian dari tidak terduga nya rencana Tuhan.
Rencana untuk kuliah di fakultas hukum sudah Rania gagas lima tahun yang lalu,dengan segala tatanan kesempurnaan namun tidak berhasil, Tuhan berkata lain.. saat itu ia tidak ditaqdirkan untuk kuliah di fakultas hukum seperti inginnya,ia tidak ditaqdirkan membalas siapapun meski ia sangat ingin, ia hanya diijinkan menatap perjalanan itu dari jauh meski ia sangat sakit. Hari itu dalam ketidak mengertiannya tentang taqdir dan keniscayaan Tuhan ia sempat protes pada cita-cita yang tidak diijinkan terjadi. Dan hari ini ia didatangkan kembali dalam keadaan yang telah benar-benar siap. Dalam keadaan dimana seluruh komponen kekuatan itu telah bersatu, lahir dan batin. Secara materi Rania telah mampu mencukupi dirinya dan secara batin pun Rania telah benar-benar kuat. Tuhan memang luar biasa.
Rania tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan dikirim Tuhan hari ini, taqdir nya kali ini memaksa dirinya untuk mengesampingkan segala aktivitasnya dan hanya memusatkan pada tujuannya untuk datang kemari.
Memenuhi keniscayaan Tuhan, Tuhan memang serba artistik, banyak hal tidak terduga yang sangat erat dengan sebuah keniscayaan. Sebagai seorang hamba sekali lagi, tugas kita hanya tunduk, taat dan patuh saja. Andai hari itu Rania membalas, mungkin ia tidak akan berada di kata 'menang' karena saat itu ia tidak punya amunisi apapun selain hanya modal nekat dan rasa sakit. Berperang tanpa amunisi sama halnya dengan bunuh diri.
Namun hari ini Tuhan membuktikan bahwa Ia begitu Maha Pengasih.
Kita tidak bisa memaksa bunga untuk mekar sesuai hitungan dan ilmu kita namun kita bisa saja menemuinya tumbuh mekar di luar dugaan. Saat itulah keniscayaan Tuhan sedang berjalan.
Rania, tersenyum mantap dari belakang kemudinya.
Kampus megah yang sering didatanginya beberapa tahun yang lalu itu berdiri menjulang.
Ia menatap atapnya dengan sebuah harapan, ia akan berhasil, berhasil mengambil ilmunya dan berhasil memangsa sasarannya.
Singa yang kemarin tidur itu hari ini telah terbangun serta siap memangsa siapapun yang main-main dengan hidupnya.
Rania turun dari mobil mewahnya, ia tegap menggamit tas branded dan sepatu Natasya, langkahnya ringan, tubuh rampingnya bergoyang.
Sesekali ia tundukkan wajahnya ketika melewati gerombolan mahasiswa yang melihatnya.
Usianya kini sudah tidak muda lagi namun jangan disangka, kemapanan wanita cantik yang mungkin berusia tidak muda, sangat menggoda dibandingkan wanita cantik yang baru bisa bernafas dan menatap dunia. Rania menjanjikan kemapanan itu untuk semua yang mendekatinya.
"Ruang mahasiswa baru dimana ya mbak ?"
"Oh, disana kak." ucap gadis kecil itu menunjuk satu ruangan yang berjajar dengan ruang lainnya.
"Terimakasih, " kemudian Rania melangkah pergi.
Teduh yang tercipta karena hujan yang hanya turun sesaat kemudian reda telah menciptakan sebuah dialektika indah.
Di kampus ini dulu ia menunggu cintanya berbalas, di kampus ini dulu ia meratapi nasibnya, dikampus ini juga ia memilah antara kata setius dan berpura-pura serius.
Kali ini ia kembali datang dengan keteguhan hati dan kemantapan diri.
Perjalanannya menuju kampus baru tempat ia menimba ilmu telah sampai di tempatnya. Hari pertama dimana ia akan minta penjelasan pada panitia penerima mahasiswa baru.
Rania menarik nafas panjang, menahan kemudian menghembuskannya perlahan-lahan.
Berat memang namun harus ia jalani.
Gadis itu telah melewati ribuan perjalanan
ia mengayunkan langkahnya bukan hanya dengan kakinya, ia melangkah dengan tangannya, dengan perasaannya juga dengan fikirannya.
Ia menembus semua batas yang tak pernah bisa ditembus oleh hati-hati yang kosong dan terapung-apung
Ribuan belantara telah ia lewati
Ribuan derita telah ia lalui
Dan ia telah berhasil
Menjadi peri tanpa tongkat bintang
Menjadi peri tanpa mahkota.
Gadis itu, Rania namanya. Kemunculannya mungkin akan menakutkan mereka yang pernah menggunakan hidupnya sebagai permainan.
akan menyeramkan bagi mereka yang pernah bermain-main dengan dosa.
Meskipun Rania datang hanya untuk menuntaskan rindu nya.
Rindu pada dosen baik bermata teduh yang dulu sering menolongnya.
Kedatangannya hanya untuk menuntaskan dendamnya,
dendam pada dosen yang pernah melingkarkan cincin kecil di jari manisnya lalu kemudian memangkas bukan hanya jemarinya tapi sekaligus dengan pergelangan tangannya.
rasa sakit yang hanya bisa Rania ceritakan pada Tuhan.
Rania hari ini datang menuju kampus dengan pilihan menjadi baik atau menjadi busuk.
bersahabat saja dengannya bila kalian merasa bukan musuhnya.
Desis suara angin ..... di telinga-telinga yang dingin.
#cerita ini hanya fiksi belaka bila ada kesamaan nama dan tempat semua diluar kesengajaan penulis.
Masa orientasi mahasiswa baru hari ini telah memasuki hari ketiga, lucu juga ia harus mengulangi kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat Rania masih muda dengan jilbab di kuncir.Saat ini di masa pandemi ini, mahasiswa tidak harus hadir di kampus, pengenalan kampus, pengenalan fasilitas, pengenalan mata kuliah semua dilakukan dengan zoom video.Hari pertama dan hari kedua berjalan biasa-biasa saja.Menginjak hari ketiga, mahasiswa baru boleh hadir dengan memperhatikan protokol kesehatan, bermasker dan duduk berjarak.Mungkin Rania datang terlalu pagi hingga ia harus menunggu di tepian kolam kecil, bersandar di ujung gazebo yang berdiri tunggal.Hingga kemudian ia melihat segerombolan mahasiswi dengan baju atasan hitam dan bawahan putih.Rania melangkah menuju ruangan yang telah disiapkan. ia ikuti langkah gerombolan mahasiswi tadi. Deretan bangku berjajar dengan jarak kurang lebih setengah mete
Angin masih saja semilir ketika Rania menjejakkan kakinya di kampus pilihannya. Rania memarkir cantik mobilnya di bawah pohon rindang. Pohon besar ini letaknya hampir berhadapan dengan ruangan para dosen yang berdiri dua lantai.Rania terdiam sejenak.Ingatannya berputar pada kisah yang lalu saat dia bersembunyi di balik mobil yang kebetulan di parkir di tempat yang sama dengannya saat ini.Hari itu ia begitu rindu pada Leo suaminya, tujuh hari tidak berjumpa sejak mereka berdebat keras di rumah kontrakan Rania.Rania datang karena rindunya berlipat-lipat, Rania datang hari itu bukan untuk minta uang pada suaminya. Ia hanya rindu.Sekali lagi suaminya menghindar. Begitu rupa ia ditinggalkan bersembunyi. Padahal hari itu panas demikian menyengat.Saat Rania menunggu di ruang tunggu dalam ruangan itu, ia melihat suaminya Leo sedang berjalan di tangga itu bersama istrinya yang lain. Di pesan whatsAppnya tadi ia bilang
Hari ini hari kesepuluh Rania menjadi mahasiswi fakultas hukum. Tidak ada tanda-tanda ia bertemu dengan Leo. Rania pun enggan mencari keberadaannya. Waktunya masih cukup panjang untuk dirinya bisa bertemu Leo. Masih ada tiga tahun ke depan. Masih ada hari-hari yang akan terlewati. Itu sebabnya Rania merasa tenang-tenang saja.Di masa pandemi seperti sekarang ini sebenarnya mahasiswa diminta untuk tetap berada di rumah dan melakukan aktivitas perkuliahan secara online. Hanya memang pada mata kuliah tertentu diijinkan untuk datang ke kampus. Mengingat kasus penderita corona di Banjarmasin yang masih belum menunjukkan grafik turun.Beberapa mahasiswa yang nekat datang, pasti karena ada kepentingan urgent atau sekedar janjian dengan pacar mereka.Rania hari ini berada di kampus, dibawah pohon rindang, di gazebo paling ujung ia duduk.Ia menunggu Septia yang tadi mengirim pesan mengajaknya jalan-jalan berbelanja ke mall.
Usai pertemuan Rania dan Leo di salah satu mall terbesar di Banjarmasin, Rania pulang. Sepanjang perjalanan ia hanya diam. Beruntung Septia tidak berada di sampingnya seperti tadi. Kalau ada Septia dia pasti tersinggung karena di diamkan.Septia memilih pulang bersama Arif, ya... namanya juga baru jatuh cinta, pasti semua inginnya di lakukan berdua.Rania memilih berpisah dengan mereka di parkiran.Leo,lelaki itu sekarang sedikit kurus, rambut ikalnya baru saja dipotong habis, hanya bersisa 1cm saja sepertinya. Bajunya mungkin dibeli dari tempat yang mahal tetapi sayang cara berpakaiannya nggak senada dengan sepatu dan celana panjangnya. Leo selalu begitu.Rania meninggalkan Septia, Leo juga Arif di parkiran Mall. Rania khawatir tak bisa mengendalikan diri bila ia berada disana. Jujur Rania masih menyimpan bongkahan cinta untuk Leo. Istri mana yang tidak cinta pada suaminya ? tidak ada. Semua istri mencintai suaminya, s
Hari ini Rania ingin sekali jalan-jalan ke kampus, bosan sekali di masa Pandemi ini harus menghabiskan waktu di rumah saja. Sebagai penulis rasanya sangat sulit untuk mengembangkan imajinasi bila harus terkurung begini.Rania melangkahkan ringan kakinya menuju mobil yang terparkir di depan rumah, menginjak gasnya perlahan.Mantap kakinya menuju kampus. Ia ingin sekali duduk di gazebo sambil menikmati semilir angin dan berkisah tentang hidupnya. Menari di antara huruf-huruf di laptop.Sekali lagi Leo hadir dengan rayuannya, ia mengganggu saja, membuat inspirasi menulis jadi hilang.Rania berjanji akan mau di temui di rumahnya malam nanti.Malam yang di tentukan tiba.Rania masih asik di depan televisi ketika ia melihat agya hitam itu datang. Itu mobil milik Leo.Leo lelaki kaya raya dengan empat mobil berjajar di rumahnya, dua motor dan satu motor gede. Gila, sebanyak ap
Rania tenggelam dalam lipatan kalimat dalam novelnya, ia membiarkan hatinya yang terjerembab berkelana menuju ruangan yang tak ia kenal. Rania merasa dirinya saat ii seperti layang-layang, terbang menukik, menari-nari saat di pandang hingga ia tak tahu dimana ia akan jatuh nanti.Jatuh untuk mengakhiri petualangannya, jatuh untuk diam bersama keluarga dan orang-orang yang mencintainya.Rania ingin itu meski mungkin jalan menuju itu masih terasa amat jauh.Hari ini Rania masih enggan berangkat kemana pun sejak peristiwa pagi tadi menerpanya. Rania masih duduk di meja kerjanya dan terus menulis. Ada tugas untuk menuntaskan ceritanya. Rania adalah sutradara bagi setiap novel yang ia tulis namun ia tak akan mampu menjadi sutradara dalam novel dan cerita hidupnya."Rani, sedang dimana ?"Pesan masuk di Line nya. Ia melihat pak Yudha sedang menulis kalimat untuknya. Rania berhenti sejenak untuk membalas tulisan pak Yudha."Sedang di rumah, pak."
Hari ke tiga puluh tujuh setelah pertemuannya dengan Leo untuk pertama kalinya, Leo masih belum memberikan signal hendak berbicara serius dengan Rania dan Rania sendiri pun seolah enggan membuka waktu untuk Leo berbincang. Dua kutub yang sama-sama tidak bisa di pertemukan.Rania duduk di gazebo kegemarannya. Acara tatap muka di kampus memang belum dilangsungkan namun kesediaan Rania untuk menjadi driver online gadungan untuk Septia membuat dirinya sering berada di kampus ini sambil membawa laptop dan tumpukan kertas. Menikmati semilir angin kemudian menulis. Betapa suasana sunyi mampu mengalirkan energi baginya, energi hebat yang mampu memberikan lembar demi lembar kisah indah.Septia menemui Arif kekasihnya dan rania mengumpulkan episode untuk novelnya, sebuah simbiosis yang saling menguntungkan memang.Rania terus menulis hingga ia tidak menyadari beberapa orang datang dan sudah duduk di depannya. Septia dan kawan-kawan Arif."Hy, ada apa ?""Kak, kit
Pantai Batakan,Kaki kaki mereka penuh pasir, berlarian dalam bahagia, berfoto bersama, ada banyak pose mereka cipta.Seperti sebuah lagu dengan lirik-lirik yang indah, seperti itu perjalanan mereka saat ini.Aroma kepedihan itu seolah hilang, mereka semua hanyut dalam oase keindahan."Ayo bawa ke tengah.""Iya, kita bawa ke tengah.""Ayo cepetan " Septia ditarik oleh kawan kawan nya ketengah pantai yang sedang bergelombang."Hati-hati dia tidak bisa berenang" Rania berteriak-teriak agar yang lain membatalkan membawa Septia ke tengah.Namun apa yang diucapkan Rania diikuti dengan gelak tawa oleh yang lain.Mereka bergulung-gulung dengan ceria.Di ujung sana Budiman mengabadikan setiap momentum perjalanan mereka.Diantara aktifitasnya Budiman sering mengarahkan video nya pada Rania. Rania yang mengusik ki