Bab 10Salma duduk dengan wajahnya yang terlihat mengandung raut wajah kesedihan. Perempuan itu masih dengan perilaku Rika. Padahal semula niat Salma mendatangi kantor Rika adalah ingin membuka kedok adik iparnya itu di depan teman-teman sekantornya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Salmalah yang harus menanggung malu. Bagaimana Salma tidak kesal dengan itu.Melihat keadaan kakaknya, dengan wajah penuh rasa bersalah, Valdi baru saja pulang tersebut menghampiri kakaknya."Kak," tegur valdi.Salma menoleh."Kamu sudah pulang rupanya." tanggapnya."Kakak terlihat sedih. Kakak pasti sedih karena uang itu kan? Hmm ... Maafkan aku Kak, aku tidak menepati janji. Nanti aku akan ambil uangnya sama Rika, dan kasih uang itu ke kakak." Setetes dua tetes air mata jatuh di pipi Salma."Aku kecewa sama istrimu, Valdi! Keterlaluan sekali Rika! Tega dia" Valdi bingung melihat kakaknya yang tiba-tiba menangis sesenggukan."Kenapa kak? Kenapa tiba-tiba bicara soal Rika?" Dengan pelan-pelan Valdi
"Rika! Rikaaa!"Terdengar suara mas Valdi memanggil-manggil namaku. Belum sempat aku menghampiri, si empunya suara sudah menghampiriku lebih dulu. Kulihat raut muka Mas faldi menatapku dengan gurat wajah marah. Ada apa gerangan dengannya? "Ada apa, Mas?" Tanyaku."Apa-apaan yang udah kamu lakuin sama kak Salma siang tadi?" Suaranya yang membentak membuat keningku berkerut. Memang apa ya telah aku lakukan dengan kakaknya? Kurasa aku tidak melakukan sesuatu yang terlalu berlebihan. "Aku nggak ngelakuin apa-apa kok, Mas.""Kamu nggak usah bohong ya! Apa tujuan kamu menyuruh kak Salma ke kantor kamu kalau cuma buat dipermaluin sama teman-teman kamu? Nggak ngotak, nyadar nggak kalau Kak Salma itu kakak aku! Kalau kamu nggak ngehargain dia berarti kamu juga nggak ngehargain aku. Dia Kakak iparmu, harusnya kamu menghormati dia!"Terus terang saja aku heran dengan penjelasan Mas Valdi."Aku nggak pernah nyuruh kak sama ke kantor aku kok, Mas. Soal kenapa tadi dia bisa dateng ke kantor aku
"Nggak mungkin aku bisa semudah itu ngasih duit ke orang, Mas! Mas tahu, kebutuhan anakku jauh lebih penting daripada orang yang cuma bisa minta!" Aku menyanggah ucapan Mas Valdi."Anak, anak, anak terus yang kamu bicarain. Alesan! Clara itu masih kecil. Uang sebelas juta itu nggak seberapa kalo dibanding sama perngorbanan Kak Salma ke aku.""Kalo Mas anggap nggak seberapa kenapa nggak kamu aja yang kasih ke dia? Katamu Salma berkorban banyak untuk kamu, jadi tuntut aja balas budinya ke kamu, Mas! Jangan ke aku!" Aku menggelengkan kepala. Dia seorang lelaki yang pintar berperang kata. Apapun yang aku ucapkan, dia pasti bisa menemukan bantahan. Sekalipun bantahannya terdengar memaksa, tapi dia selalu menganggap pendapatnya benar. Kali ini, aku perlu untuk sedikit berkata jujur, agar bibirnya bisa bungkam sejenak."Rik, itu resiko kamu yang mau nikah sama aku! Kalo kakakku minta ke kamu itu adalah wajar. Kamu nyadar nggak sih, kalo uang yang aku dapat itu kamu yang nikmatin! Pendek kata
"Valdi, kenapa istrimu belum ngirimin duit ke ibu? Ini udah tanggal lima, istrimu kan gajian tanggal empat?" Ibuku bertanya."Tunggu aja, Bu. Ntar pasti di transferin kok sama dia./, Kayak biasanya." jawabku."Tapi kok lama ya, biasanya kan tanggal empat sore udah dikirimin sama dia." "Sabar dulu Bu, siapa tahu gajiannya emang agak lambat." Aku menghibur ibuku. "Kalau ntar siang belum juga, sebaiknya kamu tanyain deh sama Rika. Ibu mau bayar kuliah adikmu nih, plus tagihan bulanan juga udah nunggu jadwal buat dibayarin. Tolong bilang sama Rika jangan lambat-lambat amat.""Iya, Bu. Ntar aku bilangin.""Jangan iya-iya aja, Ibu lagi butuh banget sekarang. Lagian uang tiga juta yang kamu janjiin kemarin q/belum ada beritanya juga." Ibu terlihat cemberut.Astaga mungkin saja Ibu kecewa, maafkan aku, aku ingkar janji dengan uang-uang itu. Ish, Rika sih keterlaluan, mana dia janji akan mentransfer uang lima belas juta untukku, tapi kenyataannya sampai hari ini tidak kunjung sampai ke rekeni
Bab 14"Val, di umur segini sebaiknya kamu udah punya aset atau tabungan." Ucap Kak Mel, kakak keduaku.Aku menghela nafas panjang mendengar pertanyaan itu. "Sayangnya aku belum punya aset apapun untuk sekarang, Kak." Aku berkata jujur."Begini, Val. Kalau kamu pengen dengerin saran Kakak, gaji kamu udah sepuluh jutaan, akan jadi lebih baik kalo kamu mikirin buat beli rumah.""Iya sih, aku juga udah mikir ke arah sana, Kak. Bosan aku ngontrak melulu." Aku menanggapi."Kemarin kakak udah dapet informasi di mana ada perumahan yang cocok buat kamu beli. Angsuran bulanannya juga nggak seberapa, sekitar 2 juta. Lokasinya lumayan lah. Kalo nggak gitu, susah rasanya buat kamu bisa beli rumah. Tiap bulan gajimu bakalan habis mulu. Kamu udah tahu kan kalo Rika nggak pandai nyimpalen uang."Aku diam mencerna ucapan Kak Mel."Ntar bisa kita liat dulu, Kak." sahutku.Pikiranku mulai bercabang, baru-baru ini pengeluaranku lebih banyak. Ada angsuran mobil yang harus aku pikirkan, jatah bulanan bua
Hari ini sungguh hari yang sangat beruntung bagiku. Hari yang telah membawakanku untuk mengenal Vina kembali. Tak kusangka, hari ini aku bisa mengantarnya pulang. Tentu saja aku dengan senang hati melakukannya.Sesuai arahan Vina aku menghentikan laju mobilku di depan rumah berwarna hijau. Rumah itu tidak terlalu besar. Tapi terlihat amat rapi di mataku. "Makasih banyak ya, Mas. Udah anter kami pulang." ujar Vina sebelum turun. Aku mempersembahkan senyum terbaikku. Tadinya sebenarnya aku sangat berharap ia menawariku untuk mampir ke rumahnya. Tapi, ah sudahlah. Jika kali ini tidak, mungkin di waktu yang lain aku akan mampir ke sana sebagai kekasihnya. Bercita-cita itu tak salah, kan?Tak lupa aku bantu membukakan pintu mobil untuk Claudia, dan menggendong anak itu turun. "Makasih, Om." ujar Claudia."Sebentar, Claudia Sayang. Om ada sesuatu buat kamu."Dengan cepat aku merogoh dompet. Kukeluarkan lima lembar uang merah, lalu kuselipkan ke tangannya. "Aduuh, kok banyak banget, Ma
Bab 16Entahlah rumah tangga seperti apa yang kujalani ini. Sejak pertengkaran kami kemarin, Mas Valdi jadi pulang ke rumah ibunya. Bahkan ketika Clara sakit saja sudah tak ia gubris lagi, jujur, ini yang paling miris.Tapi tak apalah, hitung-hitung pengeluaranku jauh lebih sedikit bila laki-laki itu tak berada di rumah. Terus-terang, rasanya keadaan rumah ini lebih adem bila tanpa dia. Ingin bilang bersyukur, takut dosa.Waktu demi waktu, lelaki itu tak kunjung pulang. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Apa harus aku untuk mengajaknya bicara serius? Maksudku, hubungan harus ada kejelasan bukan?Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum,"Suara dalam dari luar pintu. Langkah kedua kakiku membawa ku untuk melihat siapa gerangan yang datang. Terlihat dua orang dengan pakaian rapi di luar sana."Waalakumsalam, ada apa ini?" tanyaku."Pak Valdinya ada, Bu? Ada tagihan atas nama Pak Valdi Anugrah. Angsuran Mobilnya belum di bayar selama dua bulan! Jadi mohon kerjasamanya!" Lelaki itu terlihat
"Kamu habis darimana, Valdi? Kok pulangnya malem?" tanya ibu.Aku menanggalkan jaket."Kok jaketmu kayak jaket perempuan aja?" seloroh ibu. Rupanya Ibu memperhatikan jaket yang aku kenakan. Ya memang jaket yang aku pakai ini jaket wanita, bukan main-main ini adalah jaket yang dijamin oleh Vina sebelum aku pulang tadi katanya supaya aku tidak kedinginan di jalan. Akankah dia wanita yang perhatian? Tentu saja, tidak seperti Rika. Mau aku kehujanan sekalian pun ia tak pernah peduli."Ini jaket Vina, Bu. Tadi aku bantu dia buat nganterin anaknya ke dokter." Jawabku apa adanya.Tersenyum mendengar jawabanku."Iyalah sesama manusia kita emang udah seharusnya saling membantu. Vina emang udah nggak punya suami, jadi emang nggak ada yang bisa nganterin dia. baguslah kalo kamu bisa bantuin." "Iya, Bu. Mengingat Claudia anak yatim, jadi aku ngerasa wajib untuk nolongin dia.""Benar, anak yatim emang wajib untuk disantuni." Ujar ibu.Kurasa sepertinya ibu memberi respon positif. terlihat dari