Thalia menaiki bis menuju kampusnya. Benaknya dipenuhi dengan segala tanya tentang perkataan Maritza tentang Jose dan surat pengalihan yang dia temukan di meja kerja suaminya itu. Masalahnya, semakin dia pikir semakin dia merasa pusing.
Untungnya, dia masih bisa fokus pada pertemuannya dengan dosen pembimbingnya. Dan setelah segala urusannya beres, dia bertemu Felipe di cafetaria kampus.
Gadis itu melambai padanya dan mengajaknya duduk sambil menyantap kudapan.
“Gimana kabarmu, Thal? Are you okay?” tanya Felipe dengan raut penuh simpati.
Selain Gabriella, Felipe adalah teman kuliah yang paling dekat dengannya. Tentu saja gadis itu tahu jika Gabriella menikah dengan Fernando.
Akan tetapi, Felipe tidak mengetahui jika Thalia pun menikah dengan kakak tiri Fernando.
“I’m okay,” jawab Thalia berusaha sesantai mungkin. “Hanya Pap masih sakit. Jadi, pengerjaan skripsiku sedikit tertunda. Selebihnya, aku baik-baik saja. Dia sudah tak berarti b
“Hmmpptt!” Thalia berusaha keras menahan tawanya mendengar terkaan Stuart atas diri Jose. Paman? Setua itu diri pria itu terlihat oleh Stuart? Atau memang temannya ini sedang melawak? Thalia berusaha keras menahan bibirnya agar tidak tersenyum lebar. DAn benar saja, saat tatapannya tertuju pada Jose, gadis itu langsung menciut nyalinya. Pasalnya, Jose menatap garang pada Stuart, seakan inign menelan temannya itu hidup-hidup. Padahal sebelum mobil itu berbelok masuk, pria itu terlihat tersenyum sambil mengamati kelakuan anak-anak Camila saat bermain bersama. Dan tidak cukup hanya sampai di situ. Stuart masih juga berusaha ramah. Meski tertawa hambar, dia masih berkata lagi, “Ah, maaf, bukan pamannya Thalia kah? Jadi, siapa yaa?” Pertanyaan itu sontak membuat wajah Jose semakin merah padam. Pria itu mulai bangkit dan hendak mengintimidasi Stuart. Secepat kilat, Thalia langsung menarik temannya itu. “Thanks sudah mengantarku pulang. Kau pulanglah
Pada akhirnya, Thalia membuka pintu mobil, masuk, dan duduk dalam diam. Begitu dia duduk, Jose langsung menginjak pedal gas dan mobil melaju cukup kencang. Mereka berkendara dalam diam hingga tiba di rumah. Untuk sesaat Thalia sempat ragu, haruskah dia menunggu suaminya itu untuk masuk bersama, atau Jose yang marah tidak ingin masuk bersamanya? Bum!! Pintu mobil terbanting kuat, mengagetkan Thalia. Jose tampak menenteng tas berisi laptopnya dan melangkah lebar menuju rumah. Thalia mendeliknya kesal dari belakang. Sekarang dia yang ditinggal! Tahu begitu dia jalan dahulu tadi! Dengan menggerutu kesal, Thalia pun memasuki rumah. Seperti biasa, terdengar suara percakapan hangat dan seru di ruang duduk. Mereka semua sedang berkumpul di sana. Thalia melewatinya dan menaiki tangga. Begitu dia sampai di kamar dan menutup pintu, JOse sudah menunggunya. Raut wajah pria itu sangat jauh dari k
Jose melangkah cepat dan lebar melewati ruang tengah lantai 2, menuju tangga, kemudian menuju pintu utama. Tujuannya hanya satu. Dia ingin pergi dari rumah itu, sebelum dia terasuk amarah yang bisa membuatnya menyakiti Thalia. Dia begitu marah, dan rasa itu membuatnya ingin menghantam istrinya itu demi melampiaskan kemarahannya. Untuk pertama kalinya, keinginannya melampiaskan kemarahannya dalam adu fisik membuatnya takut. Karena itulah, lebih baik dia menyingkir sebelum gadis itu remuk dibuatnya. Jose melajukan mobil jeep nya menuju perbukitan yang berada di perbatasan kota. Di sana, dia duduk di atas kap mobilnya, di bawah sinar rembulan, dengan menghisap rokoknya, serta meminum bir dingin yang sengaja dibelinya. Kepalanya harus dia dinginkan sebelum dia kembali ke samping Thalia. Itu tekadnya. Jose terus meminum bir itu hingga berkaleng-kaleng, tetapi ucapan Thalia masih saja bergema di telinganya. “Itu hanya kesalaha
Bugh!! Bugh!! Bugh!!! Lagi-lagi, kali ini Jose melawan Red. Mereka berdua kembali bertemu di ring. Setelah dia meninju Fernando di rumahnya tadi, dengan kemarahan bercokol di dadanya, Jose melajukan jeep nya dan tanpa sadar dia berhenti di club tinju gelap favoritnya. Karena amarah begitu berkecamuk dalam dadanya saat itu, Jose pun menuju ring dan langsung menantang siapa saja yang ingin melawannya. “Lawan aku! Akan kubayar 1000 dolar bagi siapapun yang bersedia, menang atau pun kalah!” serunya menggelegar, membuat semua nyali para pria di sana menciut seketika. “AYO! AKAN KUBAYAR 1000 DOLAR, BERENGSEK SIALAN! LAWAN AKU!!!” raungnya lagi, lebih marah dari sebelumnya. Akhirnya, Red-lah yang menaiki ring itu. Dia sedang membutuhkan uang untuk membayar tagihannya akhir bulan ini. Dan tawaran Jose menjadi satu-satunya jalan agar dia mendapatkan uangnya dengan cepat. Masalahnya, baru saja memasang kuda-kuda, Red sudah merasa gentar.
“Jadi semalam suamimu gak pulang?” tanya Ramona saat siang itu mereka janjian untuk belanja bulanan bersama ke supermarket.Mereka mengobrol seraya mendorong trolli belanja masing-masing, beriringan.“Mau berapa kali kau tanya? Dia tidak pulang. Ti-dak pu-lang!” sahut Thalia dengan raut membara.Ramona tidak memedulikan amarah Thalia. Dia tetap saja membahas topik itu. “Menurutmu, kalau dia tidak pulang, dia tidur di mana semalam?”Thalia mengedikkan bahunya. Kemudian mendelik tajam pada Ramona. “Sudah! Jangan bahas itu lagi. Kau ini sudah kubilang stop, masih juga membahas dia terus!”“Dia suamimu, Thal,” sahut Ramona cuek.“Suami di atas kertas!” tegas Thalia.“Justru di atas kertaslah. Itu berarti suami sah!”“Iya, tapi itu hanyalah status!” kilah Thalia lagi, membuat Ramona menghela napas dalam-dalam dan mengangkat bahunya.
Tok. Tok. Tok.Entah berapa lama Thalia terlelap saat dia mendengar samar-samar suara pintu diketuk.Tok. Tok. Tok.Kali ini, Thalia terbangun dan mendengar dengan jelas ketukan itu.“Urgh! Pukul 3.40? Yang benar saja!”Dengan menyeret tubuhnya, Thalia turun dari ranjang dan menuju pintu.Begitu pintu dia buka, sosok tubuh Jose yang tinggi dan besar sedang bersandar di kusen pintu. Di sampingnya, ada lelaki yang tak Thalia kenal.“Maaf, ini aku mengantar suamimu pulang. Dia sedikit mabuk. Dan ini kunci mobilnya.”“Aku tidak mabuk, Curt!” sergah Jose dan berdiri tegak menunjukkan bahwa dia belum mabuk.Curt menepuk punggungnya. “Ya, tapi kau tidak bisa berpikir jernih. Dari pada kau terus mematahkan tulang orang, lebih baik kau pulang ke rumah. Temani istrimu, Man!”Thalia menerima kunci itu. “Terima kasih. Tapi, apa yang sudah dia lakukan?”
Dia pun menuju telinga Thalia dan menggelitik di sana. Gadis itu kembali menggelinjang, dan Jose mendesis lagi, “Kau harus ingat dengan baik, siapa yang sentuhannya lebih membuatmu melambung. Mantan kekasihmu atau aku, suami di atas kertasmu!” Thalia tak bisa menjawab, terlebih lagi Jose sudah menarik seluruh gaun tidur Thalia dan melemparnya jauh-jauh. Dan jari besar dan kasarnya sudah menyelinap ke dalam celana dalam Thalia. Dia menggerakkan jarinya dengan kasar dan penuh kebencian. “Apa dia sepiawai ini, hah?!” desis Jose lagi. Pria itu menatap lekat-lekat wajah merah Thalia yang sedang menggigit bibir bawahnya menahan rasa nikmat yang melandanya. Jose mempercepat gerakan jarinya. Thalia semakin kewalahan. Kakinya telah terbuka lebar dan dia tak memikirkan lagi jika saat ini Jose bukan sedang mengajaknya bercinta, melainkan sedang menghinanya dan menghajarnya secara intim. “Katakan padaku!” Kemarahan Jose yang semakin bertambah seiring diamnya Thalia dan wajah istrinya yang ter
“Jangan harap! Aku tak kan pernah memaafkanmu!” Selesai meneriakkan kalimat itu di wajah Jose, Thalia menghambur ke kamar mandi. Dia membuka shower dan membiarkan air dingin membasahi tubuh polosnya. Thalia memeluk dirinya di bawah guyuran air dan mendekap dirinya sendiri dengan kedua tangannya. Thalia terisak dan menangis tersedu-sedu. Pria yang mulai dia percaya, pria yang dipercaya ayahnya untuk menjaganya, nyatanya menjadi sosok yang malah memperlakukannya dengan begitu buruk. Dia merasa lebih dari seoggok samsak yang menjadi tempat pelampiasan amarah Jose. Kata demi kata penghinaan Jose masih terngiang jelas di telinganya. Itu semua menyakiti hatinya, menusuk hatinya dengan ribuan jarum yang tak kasat mata. Andai memang Jose menginginkan hubungan suami istri, kenapa tidak dia lakukan saja tanpa perlu mengatainya 'jalang'? Hanya karena dia pernah berpacaran dengan Fernando, lantas dia dianggap bekasan f