Seluruh lantai dasar mansion keluarga Phillio hingga ke taman belakang dengan kolam renang di sana penuh dengan para tamu, meskipun tidak penuh sesak. Orangtua Phillio memang tidak menginginkan pesta besar-besaran. Mereka berpikir di usia yang sudah paruh baya mereka hanya ingin merayakan dengan yang terdekat saja.
Mansion bergaya barat abad pertengahan itu dibangun dengan megah dan luas, dengan pekarangan belakang yang lebih menakjubkan.
Taman belakang yang dibangun dengan mengangkat konsep bertemakan alam natural, memiliki banyak pepohonan rimbun serta semak-semak yang rapi. Bahkan pinggiran kolam renang pun dibangun dengan menambahkan rimbunan rerumputan yang hijau, segar, dan subur.
Saat mengangkat pandangan mata lebih jauh lagi akan mendapati pagar tumbuhan hijau yang ditata menjadi sebuah labirin yang cantik. Jika bukan sedang suasana pesta, Thalia sudah sangat penasaran untuk pergi ke sana dan menyusuri labirin yang bahkan dua kali lebih
[Bab ini berisi scene Maritza terlebih dahulu, barulah tentang Thalia-Jose] Happy reading!! Tanpa mereka sadari, Maritza sudah berbaur di antara para tamu. Dan begitu Jose dan Thalia masuk ke dalam labirin, gadis itu muncul untuk mendekati Austin. Hanya tatapan dingin Austin yang didapat Maritza saat gadis itu mengajaknya bersalaman dan mengutarakan maksud kedatangannya. Tangan mapan Austin tidak terangkat sedikit pun untuk menyambut tangan Maritza. “Aku datang atas utusan kakakku mengenai proyek resort di Selatan Bacallar. Seperti yang kita ketahui, proyek itu jatuh ke tanganmu, Austin. Karena itulah, aku mau memberi penawaran. Biar kami yang kerjakan, keuntungannya kita bagi dua.” Sepasang mata dingin Austin menatap Maritza. Tetapi dia masih diam tanpa kata dan menyesap wine nya satu kali barulah dia berbicara. “Aku tidak membicarakan bisnis di acara seperti ini.” Maritza tersenyum. “Kalau begitu kutunggu di La Galuna. Tanyakan saja
Di La Galuna, hotel bintang 4 di Bacalar, Maritza mempersiapkan dirinya di sebuah kamar. Dia menyemprotkan parfumnya di kamar itu, juga di ranjang yang akan dia pergunakan. Parfum yang beraroma campuran dari sandalwood serta kayu manis ini dipercaya bisa meningkatkan gairah siapa saja yang menghirupnya. Maritza sendiri juga sudah terjebak pada efek parfum itu. Dan karena itulah, Maritza merasa tak sabar menanti Austin dan hendak memberikan pertama kalinya pada pria itu. Maritza membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dan mengurai rambut pirangnya yang tidak panjang agar terlihat berantakan di atas kasur. Dia juga menurunkan sebelah tali bahu gaunnya dan mengangkat rok gaunnya hingga menyingkap pahanya yang mulus dan ramping. Maritza menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah, merasakan lembut dan dinginnya seprai ranjang yang dia tempati. Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Maritza berkata dengan s
[Seperti bab2 sebelumnya, bab ini berisi scene Maritza baru kemudian Thalia-Jose] Happy reading!! "Mom, tolong aku. Aku La Galuna kamar 404. Cepat mom, tapi jangan beritahu Pap." Maritza dengan terpaksa mengirimkan pesan itu pada ibunya meskipun saat itu tepat berada di tengah malam buta. Pria yang telah memerkosanya langsung pergi begitu saja saat selesai dengannya. Dan Maritza hanya bisa menangis menyesali nasibnya. Dia menyesali keputusannya. Dia menyesali kebodohannya. Fernando telah mengingatkannya untuk tidak macam-macam, dan sekarang dia baru merasakan sendiri kekejian seorang Austin. Selama ini dia hanya mendengar rumor bahwa Austin memang diam, tetapi dia keji. Siapa saja yang berani mengganggunya tidak akan segan-segan dia habisi, walau bukan dalam artian membunuh. Dan sekarang, Maritza sudah merasakannya. Padahal selama ini, dia tidak pernah percaya setiap kali mendengar rumor tentang Austin. Nasi sudah menjadi bubur. Kehorm
Thalia tersenyum pada Jose menutupi rasa hatinya yang berdegup kencang. Dipandanginya pria itu yang sudah polos dan seluruh tubuhnya berdesir deras.‘Oh, apakah arti segala rasa ini?’ Hati kecilnya terus bertanya.Jose mulai merangkak dan menaunginya. Tangan pria itu langsung menyelinap ke balik bajunya dan meloloskan lembaran kaos itu dari kepala Thalia.Thalia membiarkan semua itu dan memandangi Jose lekat-lekat. Seraya Jose meloloskan celana pendeknya, kemudian celana dalamnya, Thalia tetap tak berpaling dari wajah itu.Aneh rasanya, jika dulu dia selalu menatap wajah itu dan melihat sosok yang liar, urakan, dan kasar, kini yang tertangkap di matanya adalah sosok Jose yang begitu jantan, gagah, dan tampan.Ya! Dia semakin tampan di mata Thalia sekarang. Sekalipun ketampanannya tidak sebanding dengan Phillio dan Austin yang bagai pahatan sempurna seorang pria, tapi Jose memiliki aura bebas dan maskulin yang tidak dimilik
“Lagi-lagi kau pulang larut! Apa sebenarnya maumu?!”Sudah ke sekian kalinya, Fernando pulang saat telah larut malam. Terkadang hari sudah berganti meski fajar belum menyingsing. Dan Gabriella sudah tak tahan lagi.Dia berdiri di samping ranjang dengang kedua tangannya terlipat di depan dada.Dipandanginya wajah Fernando yang terlihat merah. Dasi di kerah kemejanya tampak miring. Bahkan rambut pendeknya pun tampak berantakan.Fernando balas menatap istri cantiknya itu dengan pandangan tak fokus.“Aku baru pulang. Dari mana tadi ya? Kenapa aku sudah lupa?” jawabnya yang terdengar asal-asalan.Langkah kakinya juga terlihat gontai dan tak mantap.“Oh, kau mabuk?” tanya Gabriella tak percaya. Dia sangat benci jika Fernando mabuk. Sudah pernah beberapa kali dia katakan itu, tapi sepertinya Fernando tidak menggubrisnya.‘Oke! Kita lihat saja!’ kata Gabriella dalam hatinya
“Aaaarrrgggghhh!!!!” Gabriella berteriak frustrasi sambil dia mengacak-acak rambutnya. Ditatapnya Fernando yang tertidur di bawah himpitan tubuhnya, dia semakin kesal. Setelah beberapa lama mencoba memuaskan diri sendiri memanfaatkan Fernando yang tertidur, Gabriella masih juga tidak bisa meraih klimaksnya. Dia kesal, dia frustrasi. Dan akhirnya dia memukuli wajah Fernando dengan bantal, kemudian menuju kamar mandi. Dia membasuh wajahnya dan menatap bayangannya yang menyedihkan di cermin. Wajah kusut, napas memburu geram, raut jutek kurang bahagia, itulah yang dilihatnya di pantulan kaca itu. Gabriella rasanya ingin menghantam cermin sampai pecah jika bukan karena takut tangannya terluka. Hanya saja, Gabriella tak habis pikir, bagaimana bisa Thalia sebahagia itu? Dia mengenal Thalia sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Rumah mereka yang tidak terlalu jauh, membuat keduanya sering pulang sekolah bersama. Mereka
Keesokan paginya, Mrs. Milly dan Maritza telah terlihat rapi saat Gabriella turun dari kamarnya. Adanya dua koper di samping sofa tempat mereka duduk-lah yang membuat Gabriella jadi terheran-heran.“Mom? Maritza? Kalian mau ke mana?” tanyanya sambil mengambil duduk di samping Maritza. Mrs. Milly di depannya.Max yang ada di samping istrinya langsung bangun. “Aku ke kantor duluan. Kalian hati-hati. Sampai di sana telepon aku, Sayang.”Pria itu mengecup pipi Mrs. Milly kemudian memeluk Maritza. Setelahnya, dia keluar menuju pekarangan tempat mobilnya diparkir.Gabriella kembali bertanya, “Mom? Kalian mau ke mana?”Mrs. Milly terlihat gelisah, juga Maritza di samping Gabriella. Setelah mempertimbangkan sesaat, Mrs. Milly akhirnya memberitahu Gabriella semua yang telah dialami Maritza.Gabriella terkejut setengah mati. Dia tak menyangka jika adik iparnya mengalami kejadian semengerikan itu.“Lalu
Jose masuk ke rumahnya dengan tubuh berdebu. Dia baru saja membersihkan pick upnya juga mencaritahu adakah mesin mobilnya yang perlu diperbaiki.Setelah semuanya beres, pria itu memasuki kamar mandi dan membersihkan diri. Air showernya terdengar menderu membasahi tubuhnya.Setelah semuanya bersih, Jose keluar dari kamar mandi dan mengambil selembar celana pendeknya dari lemari.Dia pun mengitari rumah mencari istrinya.Thalia sedang berada di ruang kerja, berkutat dengan maket yang telah dibuatnya sejak beberapa hari belakangan ini.Dengan mengendap, Jose menghampiri Thalia dan memeluk istrinya itu dari belakang.“Aw!” pekik Thalia terkejut akan tangan kekar Jose yang tiba-tiba melingkari pinggangnya.“Sibuk sekali istriku ini. Sudah sarapan belum?” tanyanya dengan suara rendahnya dan gigitan kecil di daun telinga Thalia.“Aduuh! Geli, ah!” Thalia tertawa seraya tetap sibuk mema