Almira berjalan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Suasana mendung membuat ia mempercepat langkahnya sebelum hujan turun membasahi tubuhnya. Ia ingin segera sampai dirumah untuk mengistirahatkan tubuhnya setelah seharian bekerja dan berurusan dengan Amanda.
Almira menghentikan langkahnya ketika mendekati rumahnya sudah ada seseorang yang menunggunya di teras. Ia cukup heran dengan kedatangan Benny yang datang tiba-tiba tanpa memberi kabar.
“Ben…,!” panggil Almira.
Benny tersenyum menatapku. “Hai….”
“Sedang apa kamu disini? Bukankah hari ini kamu masih ada jadwal praktik?”
“Maaf, aku datang tanpa memberi tahumu dulu. Sebenarnya aku datang kemari, hanya ingin memberi tahumu kabar gembira, coba tebaklah Al?”
“Apa beasiswamu diterima?” tebak Almira spontan.
Benny mengangguk dan tersenyum. “Pintar sekali,”
“Tebakkan mu benar, sayang. Beasiswaku diterima dan pemberitahuan itu baru ku terima hari ini, makanya aku buru-buru kemari untuk memberi tahu mu.”
Almira hanya bisa tersenyum dan memberi pelukkan padanya saat mendengar kabar darinya. “Aku ucapkan selamat, ya.”
‘itu berarti kami akan menjalani hubungan jarak jauh, sanggupkah?’ batin Almira.
“Aku janji, ini tidak akan lama, aku janji akan memberimu kabar setiap hari,” ucapnya menenangkan hatiku. “Setelah aku menyelesaikan study ku, aku akan segera melamarmu, percaya pada ku.”
Almira tersenyum mendengar ucapan Benny. “Jadi kapan kamu akan berangkat?”
“Aku akan berangkat seminggu lagi.” Jawabnya.
“Apa harus secepat itu kamu pergi?”
Benny menganggukan kepala. “Bisakah aku meminta sesuatu darimu, Al?” tanyanya.
Almira mengerutkan kening “Apa?”
“Bisakah jumat depan kau mengambil cuti? Aku ingin menghabiskan waktu jalan-jalan bersamamu sebelum aku berangkat.” Pintanya
“Akan aku usahakan, karena kau tahu sendiri jika bangsal perawatan VVIP tidak bisa menukar jadwal secara mendadak. Apalagi aku harus mengawasi pasien bawel 01.” Ucapku yang diikuti oleh senyuman Benny
“Tidak apa-apa, aku tahu. Dan tetaplah setia menunggu ku, Al.” Ucapnya dengan memelukku
“Baiklah kalau gitu, aku harus segera kembali ke rumah sakit sebelum pasienku menjerit karena menunggu dokternya kelamaan.” Ujarnya dengan mengecup keningku
“Oiya, akan ada yang menggantikan ku nanti, jadi baik-baiklah dengannya. Aku pergi dulu.”
Almira menatap kepergian Benny dengan sendu. Suasana hari ini sangat mendukungnya untuk membuat ia semakin ingin segera mendaratkan tubuh dan kepalanya ditempat tidur kesayangannya.
***
Seminggu Kemudian
Pagi yang cerah dengan suara burung berkicau setelah semalaman diguyur oleh hujan membuat suasana hati dan pikiran Almira begitu tenang namun tidak dengan semangat bekerja, pasalnya hari ini kekasihnya, Benny. Akan pergi untuk melanjutkan studynya di luar negeri.
Almira melangkahkan kakinya dengan tidak bersemangat hingga membuatnya kehilangan focus, tanpa sengaja ia menabrak tubuh seseorang dengan keras. Membuatnya limbung ke belakang, dan terjatuh ke lantai namun sebuah uluran tangan menyadarkannya. Seketika ia mendongak, menerima uluran tangan tersebut untuk membantunya berdiri.
“Kau baik-baik saja?” tanya dokter itu.
“Maaf, saya tidak sengaja menabrak Anda.” Ucapnya kemudian. Kepalanya menunduk, namun matanya melihat sekilas ke arah orang-orang yang memperhatikannya.
“Suster Almira?” tanyanya.
Almira menatap dokter tersebut dengan heran. “Iya, itu nama saya, dok.”
“Kenalkan saya Dokter Nando, saya yang akan menggantikan Dokter Benny disini,” Ujarnya. “Apa suster yang ditugaskan untuk merawat pasien VVIP 01?”
“Betul, dok. Ada apa ya, dok? Apa ada masalah dengan pasiennya?” tanyaku.
“Tidak, pasiennya baik-baik saja. Hanya saja saya mendapat kabar dari Dokter Benny dan Dokter Yacob jika kaki pasien mengalami kelumpuhan, betulkah? bisakah suster membawakan hasil pemeriksaan dan laporan medisnya kekamar pasien?”
“Bisa, dok. Apa dokter akan langsung kekamar pasien?”
Dokter Nando menganggukan kepala. “Iya, saya akan menunggu hasilnya dikamar pasien.”
Almira segera mengambil dan mengantarkan hasil pemeriksaan serta laporan medis pasien untuk diberikan pada Dokter Nando.
Di kamar pasien, Dokter Nando sedang berbincang dengan Nico dan orang tuanya, mereka terlihat sangat akrab.
Karena Dokter Nando adalah anak sulung dari keluarga Brahmantyo, ia adalah pewaris utama dari Brahma Group yang bergerak dibidang pertambangan, migas, properti, infrastruktur, media, dan telekomunikasi. Namun karena kecintaannya dengan dunia kesehatan, Nando lebih memilih menjadi dokter ketimbang meneruskan perusahaan turun menurun keluarganya, hingga Nico lah yang menjadi pewaris tunggal dari Brahma Group saat ini.
“Kita tunggu Suster Almira untuk membawakan hasil pemeriksaannya kemari.”
“Apa kau tidak bisa mengambil dan melihatnya sediri hasil pemeriksaan ku, Nan!” ucap Nico sarkas.
“Nico! sopanlah sedikit dengan kakak mu.”
Tok…
Tok…
Almira masuk dalam kamar pasien. “Permisi, dok. Ini hasil pemeriksaan dan laporan medis pasien yang dokter minta.”
“Kamu…!” tunjuk Nico dengan emosi. “Tidak bisakah kamu memberikan hasilnya lebih cepat! Heran, akan jadi apa jika rumah sakit sebesar ini memiliki suster lelet sepertimu.” Ujarnya dengan sengit
“Ini sudah cepat, Pak. Jika Anda ingin lebih cepat lagi ambillah sendiri.” Ucapnya dengan tegas namun membuat semua mata memandang Almira. Seketika ia menutup mulutnya karena kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Ish…mulut ini kenapa tidak bisa dikontrol sih!” gerutu Almira.
“Maafkan saya, tuan. Saya tidak bermak….” Ucapan Almira terputus
“Sekarang juga keluar dari kamarku!” bentak Nico, “Aku akan membuatmu menyesal karena berani menghinaku dan aku pastikan kau akan membayar semuanya dengan mahal!”
Dokter Nando hanya menggelengkan kepala melihat pertengkaran mereka dan memberikan isyarat pada Almira untuk keluar dari kamar Nico sebelum Nico berteriak lebih kencang. “Sudahlah, Nico. Jangan kekanakan, Suster Almira tidak sengaja mengatakannya.”
“Kaki sialan!” umpatnya.
Dokter Nicky memeriksa hasil pemeriksaan yang dibawakan Almira padanya. “Dokter Benny benar. Kaki mu tidak sepenuhnya mengalami kelumpuhan. Kamu hanya harus melakukan terapi dan latihan-latihan ringan agar system saraf pada kakimu tidak semakin kaku.”
“Itu artinya adikmu akan bisa berjalan seperti dulu, Nan?” tanya Ratna.
“Kita akan lihat perkembangannya nanti, Ma. Semua tergantung pada Nico.”
“Kau dengar perkataan kakakmu, Nico? Jadi kamu tidak perlu merengek seperti balita lagi. Ingat usia mu sudah 29 tahun dan satu minggu lagi kamu akan menikah.” Ucap Ratna yang diikuti tawa Nando.
Tampak diwajah Nico sebuah kelegaan. Seketika ia teringat jika Amanda belum menghubunginya seminggu ini. Ia sudah sering kali mencoba menghubunginya namun ponselnya tidak aktif.
Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan sebuah notifikasi pesan masuk. Nico mendapatkan sebuah pesan masuk dari Amanda, ia terkejut dan marah ketika membaca sebuah pesan singkat yang dikirimkan Amanda untuknya.
“Argh…wanita sialan tidak tahu diri!” umpatnya dan melemparkan ponsel itu kedinding.
Dokter Nando dan ibunya terkejut melihat Nico yang tiba-tiba berteriak dan melemparkan ponselnya.
‘Lihat saja nanti, Amanda. Apa yang akan aku lakukan padamu nanti akan membuatmu berlutut memohon ampun padaku atas apa yang kamu lakukan padaku?’ batin Nico.
Bersambung
Pagi masih belum menampakkan sinarnya. Namun, tampak seorang pria sedang duduk diatas kursi roda menghadap kearah jendela. Nico menghembuskan nafas frustasi, kepalanya mendadak pening semenjak menerima pesan dari Amanda.“Jon!” panggil Nico dari dalam pada Jon—asisten pribadinya.“Ya, Tuan?” jawab Jon. Ia dengan cepat menghampiri tuannya.“Cari tahu keberadaan Amanda saat ini dan cari tahu semua tentang Amanda. Aku ingin buat perhitungan dengannya.” Ucapnya dengan kesal, “berikan infonya sebelum aku keluar dari rumah sakit sialan ini!”“Baik, Tuan,” jawab Jon patuh. Ia pun segera keluar dari kamar tuannya dan memerintahkan anak buahnya sesuai yang diperintahkan tuannya.Ia masih menatap keluar jendela, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Ia hanya tidak menyangka jika wanita yang dicintainya pergi meninggalkannya karena dia lumpuh sedangkan hari pernikahan ha
Satu jam yang lalu…“Apa yang akan kau lakukan pada mereka sekarang, Nic?” tanya Dokter Nando.“Aku? Aku tidak akan melakukan apa-apa, Nan. Aku hanya akan jadi penonton drama dalam keluarga Lucero!” Ucap Nico dengan seringai licik disudut bibirnya.“Aku berharap kamu tidak melibatkan Suster Almira dalam rencana mu. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.”“Kenapa? Kenapa kau begitu peduli dengannya, Nan?” Nico mengerutkan keningnya menatap kakaknya heran. “Apa kau tertarik padanya?”“Auw…,” spontan Dokter Nando memukul kepala Nico. “Jaga bicaramu. Dia gadis yang baik dan berbeda, lagipula dia sudah punya kekasih, jadi mana mungkin aku tertarik padanya.”Tiba-tiba pintu kamar terbuka, tampak ibunya yang datang dengan wajah cemberut, membuat mereka memalingkan pandangannya pada sosok yang mereka sayangi.“Kenapa kau meminta mama datang kemari, Nico? Ada apa?,” ujarnya. “Mama jadi harus menitipkan Hanif pada pengasuhnya, kau tahu sendiri
Almira menghembuskan nafas kecewa begitu keluar dari ruangan ayah tirinya. Ia melangkahkan kakinya sambil melamun menjauh dari ruangan Dokter Yacob dan berjalan menuju lift. Dalam lamunannya ia berfikir, mengapa ayah tirinya tega melimpahkan kesalahan yang dilakukan Amanda dengan menyetujui perjanjian gila yang diberikan Nico padanya. Menikah dengan orang yang tidak dikenal dan tidak ia cintai bukanlah daftar dari rencana masa depan Almira, apalagi dengan seorang CEO yang temperamental dan arogan. Tujuannya kembali ke Jakarta bukan sekedar bekerja tapi demi meminta kembali rumah panti peninggalan ibunya, tapi kenyataan yang terjadi saat ini justru diluar bayangannya. Dan sialnya, Almira tidak bisa menolak pernikahan ini karena nenek dan rumah panti yang masih ada dalam genggaman ayah tirinya. Ia hanya bisa berharap setelah menjalani pernikahan ini, kaki Nico dapat segera sembuh dan bisa berjalan kembali seperti semula. Semakin cepat kesembuhan kaki Nico
Hari ini Almira terpaksa harus meminta ijin untuk tidak masuk, karena Nico mengajaknya ke butik langganan keluarga Brahmantyo untuk mencari gaun pengantin.Sepanjang perjalanan menuju butik, Almira lebih banyak melamun, sedangkan Nico sibuk dengan laptop yang berada dipangkuannya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk akibat kecelakaan yang dialaminya.Meski Nico merupakan pria yang temperamen dan arogan tapi ia tetap memperlakukan Almira dengan baik, mungkin tidak semanis pasangan yang akan menikah pada umumnya. Tapi bersikap tidak temperamen dan arogan serta menahan emosi untuk sementara waktu sudah merupakan sebuah kemajuan untuk seorang Nicolas.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Almira sedikit terkejut saat Nico membuyarkan lamunannya—tiba-tiba pria itu sudah menutup laptopnya. Almira berpikir sejak kapan pria itu menyelesaikan pekerjaannya?Almira heran dengan dirinya sendiri, ia menjadi sering malamunkan hal-hal ya
Mereka tiba di sebuah restauran mewah di Jakarta, pelayan wanita mendatangi mereka. Nico memesan makanan begitu juga Almira, meskipun ia tidak tahu jenis makanan seperti apa yang ia pesan.“Apa kau yakin tidak ingin merubah konsep pernikahan yang kau inginkan, Al?” tanya Nico memecahkan keheningan.“Tidak,” jawab Almira singkat.“Kenapa? Setiap wanita yang akan menikah pasti menginginkan pesta yang mewah dan meriah. Lagipula aku tidak keberatan jika harus mengeluarkan ratusan juta.”Almira tercengang—ratusan juta katanya? Pria ini memang benar-benar sudah gila.“Saya bukan gadis yang tidak tahu malu, Pak? Dengan mengadakan pesta meriah dan sebesar itu yang disaksikan semua orang, lalu berita perceraian muncul dua atau satu tahun kemudian?!” ucap Almira kesal.“Baiklah. Terserah padamu. Mungkin aku bisa melakukannya saat menikah dengan wanita lain nanti.” Nico menyesap minuman
Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.“Ditolak. Aku tidak bisa menyetujui yang aku sendiri tidak bisa melakukannya.” Nico memutar kursi rodanya—menuju pintu keluar kamar Almira.“Tidurlah, Almira. Sudah larut, besok pagi kau masih harus membeli keperluan untuk pernikahan bersama Mama.”***Almira sudah bersiap sejak pagi, ia hanya tidur empat jam sejak obrolan dengan Nico berakhir. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak perlu kembali ke rumah sakit untuk bekerja karena semalam Nico sudah memberi tahunya bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di sana.‘Jika aku tidak lagi bekerja di sana lalu bagaimana aku bisa mengawasi kesehatan nenek di sana’ batin Almira.Tok…Tok…Almira terhenyak dari lamunannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk.“Maaf, Non. Non Almira di tunggu Nyonya besar di bawah untuk sarapan be
Nico merebahkan diri di atas ranjang dalam kamar hotel, sejenak ia memejamkan mata melepas penat dalam pikirannya. Meski saat ini kakinya belum bisa bergerak namun ia sudah membiasakan diri untuk mengerjakan segalanya sendiri dengan bantuan kursi roda.Ia harap menjadikan Almira untuk menggantikan Amanda adalah suatu keputusan yang benar untuk membalas Amanda dan keluarganya. Tok…Tok…“Tuan,” panggil Joni dari luar pintu.“Masuk.”“Maaf Tuan, Ibu Anda menghubungi saya, beliau tanya mengapa ponsel Anda tidak bisa dihubungi?”Nico merubah posisinya, ia duduk di pinggiran ranjang dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. “Ah…pantas saja. Ponsel ku mati, aku belum sempat mengisi baterainya,” ucap Nico—memberikan ponselnya pada Joni untuk di charge.“Hubungkan aku dengan ibu ku, Jon!” PerintahnyaTidak perlu menunggu lama u
Nico masih setia di dalam ruang kerjanya setelah bertemu dengan dokter Yacob. Dari jendela ruang kerjanya ia menatap satu persatu kerabatnya pergi, serta dokter Yacob.Selama wanita itu masih menjadi istrinya, maka Almira berada dalam territorial perlindungan Nico. Jadi, saat ini ia hanya perlu mengikuti permainan yang diberikan dokter Yacob dan jika saatnya tiba maka BOOM, habislah keluarga Lucero.“Hai…” sapa dokter Nando—membuka pintu ruang kerja Nico.“Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk?” ucapnya“Maaf…aku melihat dokter Yacob keluar dari sini. Apa yang sedang kalian bicarakan? Hingga membuatnya pergi tanpa berpamitan pada keluarga kita dan Almira!” tanya dokter Nando, penasaran.Nico memutarkan kursi rodanya menghadap dokter Nando. “Tidak ada…,” jawabnya singkat. “Mungkin ia sedang PMS.” Sambungnya santai dengan mengarahkan kursi rodanya ke ar