Perlahan mata biru Arlene terbuka merasakan silau matahari yang menusuk matanya. Ia meringis pelan memegangi kepalanya yang terasa pusing kemudian menoleh ke kiri merasakan hangatnya sinar matahari menyinari ruangan besar ini dan kasur terasa sangat nyaman dan wanginya membuat siapapun merasa nyaman. Arlene terdiam beberapa saat dengan kening berkerut, ia pun langsung terduduk, matanya melihat seisi ruangan ini yang terlihat mewah bahkan barang disini lebih banyak dari kamar miliknya.Raut wajah yang biasa saja sekarang terlihat panik setelah menyadari pagi ini ia bukan berada di kamarnya. Kedua bola matanya membulat saat hendak berdiri, ia melihat pakaian tergeletak di lantai saat itu juga Arlene langsung menunduk dan menutup mulutnya terkejut melihat dirinya tak memakai sehelai benangpun, spontan Arlene langsung menarik selimut menutupi tubuh atasnya. Keheningan terasa saat ia memandangi pakaian miliknya dan jas serta kemeja pria di bawah sana. Arlene menggeleng dan mengambil tas di
Sudah hampir sepuluh menit lamanya Marco dan Catherine menatap Arlene mengaduk-ngaduk spaghetti yang sudah dingin. Terlihat gadis bermata biru itu hanya diam seolah tak menyadari keberadaan mereka saat ini seakan tempat ini hanya ada dirinya saja. “Seharusnya aku tidak membuatkan makan siang untukmu, Arlene,” komentar Marco.“Kau tidak perlu mendengarkan perkataan Walt kemarin, dia memang seperti itu, Walt memang terlihat tidak suka pada orang baru tetapi semakin lama kau disini kau akan tahu jika Walt adalah pria yang lembut dan tidak seperti yang kau bayangkan, dia paling baik diantara kita semua setelah Maximiliam, mereka mempunyai hati malaikat.”“Itulah mengapa Josie terlihat lebih sering bersama Walt ketimbang dirimu, Cath…” sambung Marco.Arlene dengan pandangan lurus ke depan, menatap gedung tinggi tempat dimana dirinya bekerja sebagai seorang sekretaris CEO yang begitu cuek. Sejak pagi tadi, ia merasakan bahwa Liam tidak berbicara padanya membuat Arlene sedikit panik menginga
“Kau bilang hari ini kau memiliki urusan penting, lantas mengapa kau berada di perusahaan Liam?” Shelley memutar bola matanya malas seraya berkata. “Mom, pertemuanku pukul 2, sekarang waktu makan siang, aku ingin menemui Liam untuk makan bersama.”“Kabari jika kau sudah selesai makan siang.”Shelley memutuskan sambungan telepon itu lalu beralih mengambil tas dan paperbag berisi masakan yang sengaja ia bawa lebih untuk makan siang bersama Liam, prianya. Cukup lama Shelley berada di dalam mobil, ia pun segera keluar dan berjalan masuk ke dalam perusahaan tersebut. Sosok Shelley datang kesini sudah sering dan hampir seluruh karyawan tahu dirinya karena ayah tirinya bekerjasama dengan perusahaan ini jadi Liam tidak bisa menolak kedatangannya, itu terlihat menyenangkan. Angka terus naik hingga suara dentingan lift terdengar dan pintu terbuka, Shelley keluar dan tersenyum manis kepada dua resepsionis yang menyapanya.“Mr. Addison memiliki pertemuan penting di ruangannya, Miss. Court. Jadi m
“Hey! Apa yang kau lakukan?!”Arlene tersentak kaget dan hampir terjatuh saat Liam memaksa masuk ke dalam. Pria itu terdiam memperhatikan wajahnya dan ia segera memalingkan ke arah lain tetapi Liam lebih dulu menahan rahangnya agar ia menatap pria itu kembali. Netra birunya menangkap lebam di dekat mata dan bekas luka di bibir, Arlene langsung menjauhkan tangan Liam dari wajahnya. “Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kau tahu apartmentku?”Tatapan Liam yang begitu intens membuat Arlene mencoba terlihat tenang dan mengangkat sedikit kepalanya agar menatap pria itu. “Aku terjatuh, jangan berpikiran aneh, sir. Jawab aku kenapa kau disini malam-malam? Pekerjaanku sudah selesai, jadi kau tidak perlu repot-repot datang kesini. Kau bisa menelponku.” “Aku ingin bicara.”Kedua alisnya terangkat ketika menyadari bossnya sedang menggendong bayi bermanik biru itu. Arlene mendekat dan mengambil Cassie dari gendongan Liam. “Apa dia baik-baik saja?” tanya Arlene khawatir sembari mengusap punggun
Sudah dua jam Arlene masih terus sibuk mengatur file, berkas-berkas dan juga mengatur ulang jadwal pertemuan penting yang harus ia berikan kepada Liam serta menjawab semua telepon yang tidak ada hentinya. Manik birunya melirik telepon yang berdering, kemudian menoleh ke ruangan Liam yang ternyata pelakunya adalah boss nya sendiri.Arlene menghembuskan napasnya sebelum menjawab telepon itu.“Yes, sir?”“Aku ingin kau bawakan bahan untuk rapat siang ini dan jadwalku.”Arlene terdiam. “Miss. Seyfried?” “Ah… aku sedang menyelesaikannya dan akan aku—”“Sedang menyelesaikannya? Kau bilang sedang?” Terdengar helaan napas dari sana. “Oke, buatkan kopi untukku dan bawa semuanya ke dalam, sekarang.”“Aku harus—” Lagi dan lagi, Arlene mengepalkan tangannya kuat kesal dengan sikap boss nya sendiri. Pria itu kembali mematikkan telepon sebelum Arlene selesai berbicara.Setelah Arlene mendapatkan dokumen itu, ia beranjak dari tempat seraya mengumpat dalam hati, mencaci dan memaki Liam dengan kasar.
Impian terbesar Arlene saat ini adalah memiliki keluarga yang lengkap. Menghabiskan waktu bersantai bersama keluarga di rumah, menonton televisi, makan malam bersama keluarga adalah sebuah impian yang tidak akan terjadi lagi. Tepat sore ini, Arlene berkunjung ke sebuah rumah sakit jiwa untuk mengunjungi Hunt Seyfried di sana bersama sepupunya, Kaia. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah sakit menuju resepsionis, mereka sudah mengenal Arlene dan Kaia karena mereka berdua sering datang kesini untuk menjenguk ayahnya.“Selamat datang, Miss. Seyfried...” sapa Mary, petugas rumah sakit jiwa itu.“Terima kasih, Mary.”Wanita itu adalah Mary, salah satu petugas di rumah sakit yang membantu ayahnya Arlene selama disini. Mary sangat membantu Arlene, wanita itu tidak pernah absen untuk memberitahu Arlene tentang kesehatan ayahnya bahkan Mary termasuk salah satu orang yang mengetahui kisah hidupnya selama beberapa tahun belakangan. Sejak saat itu, hubungannya dengan Mary begitu dekat ketika wanita
“Kanada, siapkan jet pribadiku, pukul 9.”Liam mengangguk singkat setelah mendapatkan jawaban dari seberang telepon. Besok ia akan pergi untuk perjalanan bisnis pagi hari, kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti mendengar suara bel penthouse berbunyi, ia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pikirnya siapa yang ingin bertamu di jam seperti ini? Liam membuka pintu itu, wajahnya berubah dingin seketika.“Nanti aku telpon lagi.” Liam memutuskan sambungan telepon itu dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.“Liam...”“Ada keperluan apa?”“Kau baru kembali dari perusahaan?”“Ada keperluan apa kau kesini?” tanya Liam lagi. Ia tidak menyukai orang yang basa-basi kepadanya dan gadis ini sekarang mencoba untuk terlihat akrab dengannya. Liam melirik alroji di lengan kirinya, jam sudah menunjukkan makan malam bahkan lewat satu jam.“Aku ingin meminta maaf apa yang telah aku perbuat kemarin, aku tidak tahu dan semua terjadi diluar pik
Arlene membuka matanya mendengar suara pintu terbuka. Ia menegakkan tubuh melihat Liam baru masuk ke dalam walk in closet untuk mengenakan pakaian. Manik birunya melihat punggung lebar itu kemudian berdehem pelan. Liam yang menyadari itu, menoleh melihat raut wajah Arlene yang tegang bahkan gadis itu memundurkan tubuhnya seraya menaikkan selimut. Liam bingung, ada yang salah dengan dirinya sampai gadis itu takut melihat Liam memakai pakaian? Liam mengambil jas dan segera memakainya. Kemudian ia melangkah keluar dari walk in closet mendekati ranjang untuk mengambil jam tangan yang ia letakkan di atas nakas semalam untuk mengecek keadaan Arlene saat gadis itu tertidur.“Kemana kau akan pergi?” tanyanya.“Kanada,” jawab Liam tanpa menatap Arlene seraya memakai jam.Arlene mengerutkan keningnya. “Kanada? Untuk apa kau—” ucapannya tertahan begitu mendengar suara tangisan Cassie. Arlene beranjak turun dari ranjang dan berjalan keluar menuju ke kamar Cassie. Perlahan ia membuka pintu kamar, m