Ontario, Kanada10:15 AM.“Americano satu,” ucap Arlene kemudian diangguki pelayan tersebut.“Kau tidak ingin seafood untuk makan siang?” tanya Liam penasaran.“Aku alergi.”Mereka sudah menghabiskan satu malam di hotel begitu sampai. Pagi ini, Liam menyesap kopi hitam kafetaria di Kanada. Ini kali pertamanya berada di tempat seperti ini bersama sekretaris dan Cassie karena banyak pasang mata melihat ke arah mereka tepatnya memperhatikan Liam, sejujurnya Liam tidak menyukai keramaian seperti ini, keberadaannya disini hanyalah paksaan dari Arlene karena gadis itu tak ingin makan di restoran hotel. Belakangan ini ia sedikit aneh dengan sikap gadis itu yang tiba-tiba berbicara lembut padanya setelah pesawat mendarat.Tanpa gadis itu sadari, sedari tadi Liam memperhatikannya dengan serius. Melihat dari cara Arlene membantu Liam untuk merawat Cassie, gadis itu sangat tulus merawatnya bahkan Cassie terlihat begitu nyaman ketika bersama Arlene ketimbang dirinya. Bahkan gadis itu melupakan sar
Empat tahun yang lalu, ketika manik hazel indah Shelley menangkap sosok pria tampan disamping Alexander Addison, ia melihat kedua pria itu berjalan berdampingan dengan tagap dengan setelah jas mahal menghampirinya dan Louis Court. Perbedaan umur mereka tidak menjadi halangan untuk memperlihatkan ketampanan mereka masing masing. Pandangan Shelley tidak lepas menatap pria itu bahkan saat Louis dan Alexander sedang berbicara.“Perkenalkan putri tiriku, Shelley Court.”Shelley tersenyum, mengulurkan tangannya. “Shelley.”Pria itu membalas jabatan tangannya. “Maximiliam Addison,” jawab Liam tanpa memperlihatkan senyumannya.“Kita bisa mempererat kerjasama kita dengan cara menjodohkan Liam dan Shelley ketika putriku berusia 23 tahun.” perkataan Louis malam itu membuat dirinya senang walaupun hanya candaan. Saat itu mata Shelley tak lepas dari Alexander berharap mendapatkan respon yang baik tentang putranya.Alexander pun membalasnya hanya tawaan kecil dan berkata. “Aku tidak ingin memaksa pu
Aston Martin milik Liam memasuki kawasan rumah sakit dan melirik ke samping melihat gadis itu sudah memegang pegangan pintu mobil. “Jangan turun.” Liam memperingati sembari menahan pergelangan tangan kecil Arlene tetapi gadis itu menarik tangannya dan langsung keluar ketika mobil belum sepenuhnya berhenti. Damn it! Liam memukul pelan stir mobil, bagaimana jika gadis itu terjatuh? Liam menggeleng lalu keluar dari mobil, mengikuti Arlene yang saat ini berlari kecil.Sesampainya Liam di San Francisco tadi, ia langsung mengantar Arlene ke rumah sakit dari bandara. Selama perjalanan panjang, gadis itu hanya diam memandangi ponselnya saja tanpa tidur walaupun Liam sudah mengajaknya agar Arlene tidur bersama Cassie di kamar tetapi gadis itu menolak.Arlene berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit setelah mendapatkan pesan dari Mary dan Kaia. Liam mengikuti Arlene yang semakin cepat hingga menabrak beberapa orang dan perawat yang sedang berjalan. Kekhawatiran tertampak jelas dari sorot mata
“Beberapa hari ini Liam selalu pulang lebih awal, Arlene. Kau tahu itu?”Arlene terdim menatap Marco dengan kening berkerut. “Maksudmu?”Marco mengangguk. “Bossmu pulang dua jam lebih awal selama kau tidak disini, dia terlihat sibuk dan selalu terburu-buru tetapi Olivia membantunya, bahkan beberapa kali ketika aku membawakan makan siang untuk Liam, gadis itu sedang bermain dengan Cassie di ruangan Liam saat pria itu sedang sibuk dengan pekerjaannya terkadang membantu menidurkannya juga…”“Dimana Catherine?”Kedua bahu Marco terangkat. “Kau bilang Liam jarang makan di kafetaria, lalu?”Marco menyesap kopinya. “Walt menelponku untuk membawakan makan siang jika tidak, pria itu akan terus bekerja dan melupakan makan siang, sudah biasa Liam seperti itu. Tidak perlu khawatir, khawatirkan dirimu sendiri saja, jika tidak Liam yang akan mengkhawatirkanmu.” Arlene mendengus. “Lalu apa yang kau lakukan disini? Hanya duduk memandangi gedung bossmu sambil minum cokelat dan makan waffles tanpa berni
“Kau bawa mobil?”Liam menoleh ke samping mendengar suara lembut Shelley semakin dekat. “Ya,” jawabnya kemudian kembali menatap lurus ke depan memandangi suasana mansion yang tampak gelap dan udara terasa begitu menusuk kulit mungkin saja akan turun hujan nanti.Malam ini Liam berada di kediaman keluarga Court menuruti permintaan Louis untuk makan malam bersama. Berkali-kali ia melirik lengan kirinya melihat jam yang terus berputar menunjukkan hampir pukul tengah malam dan Louis belum mengizinkannya pulang, mengulur waktu untuk dirinya tetap disini seakan pria paruh baya itu tidak mengerti jika dirinya mempunyai bayi di penthouse yang menunggu kepulangannya hanya untuk memberikan ucapan selamat malam satu kecupan hangat di wajahnya. Sejak kedatangannya kesini, ia tidak tahu kenapa pria itu tahu bahwa dirinya dan Arlene tinggal bersama. Sebenarnya ia tak masalah jika semua orang mengetahui tentang Arlene tinggal dengannya tetapi yang menjadi perdebatannya saat ini adalah, kenapa pria i
Morgan Krane memandangi bangunan tinggi dari lantainya dengan segelas anggur di tangan kanan. Gedung tinggi Krane Corporation berdiri sejajar di antara gedung-gedung lainnya berdiri di tengah kota San Francisco. Morgan menduduki jabatan tertinggi disini sebagai salah satu pemilik anak perusahan dari Rod. Kr Company yang sudah ia pegang selama tujuh tahun lamanya dan juga berprofesi sebagai seorang model yang memiliki nama besar. Memiliki aset penting dalam hidupnya membuat Morgan memiliki banyak komunikasi dengan berbagai pengusaha lainnya termasuk Addison dan Court corporation juga Thompson group. Tetapi untuk beberapa minggu ini hubungannya dengan Addison Corporation terbilang rumit dan juga tidak terjalin seperti dulu lagi ketika sang pemilik perusahaan tersebut membatalkan kerja sama mereka tidak lama ini.Itu karena Arlene.“Bukankah itu Arlene?”Suara David membuatnya tersadar dari lamunan. Morgan hendak membalik bingkai foto tersebut tetapi pria bermanik abu-abu tersebut lebih d
Arlene melirik jam dari ponselnya yang saat ini sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia sedikit menggeser tubuhnya untuk mengintip keluar, beberapa ruangan dan lampu sudah mati hanya terang di beberapa bagian saja. Kemudian manik birunya menoleh ke arah jendela ruangan Liam, pria itu masih sibuk menulis sesuatu di atas kertas. Masih terlihat sangat tampan walaupun ia sudah tidak memakai jas, hanya kemeja putih yang melekat di tubuhnya. Entah berapa lama Arlene terdiam seperti itu, sudah tiga puluh lima menit ia berada di kursi dan belum beranjak karena pria itu belum memperbolehkan nya pulang sebelum pekerjaan selesai.Kedua matanya sudah lelah berjam jam di hadapkan layar laptop tanpa henti kecuali istirahat walaupun hanya beberapa menit saja. Arlene bersandar seraya memperhatikan Liam dari ruangannya, pria itu gila kerja dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk bekerja bahkan perusahaan sudah sangat sepi pria itu masih di ruangannya, dari sinilah ia tahu kenapa Kaia bertanya tentan
Arlene terdiam menatap mata Liam, ia masih mencerna apa yang baru saja pria itu katakan. Pria itu masih terus menahannya agar tidak pergi, posisi ini membuat jantung Arlene berpacu lebih cepat karena dirinya terlalu dekat dengan Liam sampai ia bisa merasakan hembusan napas itu. Dan sialnya, ia terlalu lemah untuk menjauh, seakan dirinya tak ingin lepas dari rengkuhan itu.“Aku tidak memaksamu, aku hanya ingin membantumu, aku tidak bisa membiarkanmu melakukan hal itu setiap saat. Kau akan ketergantungan dan kau akan selalu melukai dirimu sendiri. Katakan jika kau merasa sakit, katakan jika kau merasa sedih, katakan jika kau membutuhkanku, jangan pernah kau membohongiku, Arlene. Wajahmu tidak bisa berbohong.”Arlene meremas kemeja Liam, menunggu pria itu kembali berbicara.“Aku terus memperhatikanmu. Kau boleh memanggilku jika kau takut, jangan pernah menyendiri. Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, kau sangat ketakutan. Aku melihatmu, aku melihat tatapan yang kau lakukan malam