Morgan Krane memandangi bangunan tinggi dari lantainya dengan segelas anggur di tangan kanan. Gedung tinggi Krane Corporation berdiri sejajar di antara gedung-gedung lainnya berdiri di tengah kota San Francisco. Morgan menduduki jabatan tertinggi disini sebagai salah satu pemilik anak perusahan dari Rod. Kr Company yang sudah ia pegang selama tujuh tahun lamanya dan juga berprofesi sebagai seorang model yang memiliki nama besar. Memiliki aset penting dalam hidupnya membuat Morgan memiliki banyak komunikasi dengan berbagai pengusaha lainnya termasuk Addison dan Court corporation juga Thompson group. Tetapi untuk beberapa minggu ini hubungannya dengan Addison Corporation terbilang rumit dan juga tidak terjalin seperti dulu lagi ketika sang pemilik perusahaan tersebut membatalkan kerja sama mereka tidak lama ini.Itu karena Arlene.“Bukankah itu Arlene?”Suara David membuatnya tersadar dari lamunan. Morgan hendak membalik bingkai foto tersebut tetapi pria bermanik abu-abu tersebut lebih d
Arlene melirik jam dari ponselnya yang saat ini sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia sedikit menggeser tubuhnya untuk mengintip keluar, beberapa ruangan dan lampu sudah mati hanya terang di beberapa bagian saja. Kemudian manik birunya menoleh ke arah jendela ruangan Liam, pria itu masih sibuk menulis sesuatu di atas kertas. Masih terlihat sangat tampan walaupun ia sudah tidak memakai jas, hanya kemeja putih yang melekat di tubuhnya. Entah berapa lama Arlene terdiam seperti itu, sudah tiga puluh lima menit ia berada di kursi dan belum beranjak karena pria itu belum memperbolehkan nya pulang sebelum pekerjaan selesai.Kedua matanya sudah lelah berjam jam di hadapkan layar laptop tanpa henti kecuali istirahat walaupun hanya beberapa menit saja. Arlene bersandar seraya memperhatikan Liam dari ruangannya, pria itu gila kerja dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk bekerja bahkan perusahaan sudah sangat sepi pria itu masih di ruangannya, dari sinilah ia tahu kenapa Kaia bertanya tentan
Arlene terdiam menatap mata Liam, ia masih mencerna apa yang baru saja pria itu katakan. Pria itu masih terus menahannya agar tidak pergi, posisi ini membuat jantung Arlene berpacu lebih cepat karena dirinya terlalu dekat dengan Liam sampai ia bisa merasakan hembusan napas itu. Dan sialnya, ia terlalu lemah untuk menjauh, seakan dirinya tak ingin lepas dari rengkuhan itu.“Aku tidak memaksamu, aku hanya ingin membantumu, aku tidak bisa membiarkanmu melakukan hal itu setiap saat. Kau akan ketergantungan dan kau akan selalu melukai dirimu sendiri. Katakan jika kau merasa sakit, katakan jika kau merasa sedih, katakan jika kau membutuhkanku, jangan pernah kau membohongiku, Arlene. Wajahmu tidak bisa berbohong.”Arlene meremas kemeja Liam, menunggu pria itu kembali berbicara.“Aku terus memperhatikanmu. Kau boleh memanggilku jika kau takut, jangan pernah menyendiri. Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, kau sangat ketakutan. Aku melihatmu, aku melihat tatapan yang kau lakukan malam
Arlene melangkah keluar dari dapur membawa secangkir kopi hitam tanpa gula untuk Liam, saat ini pria itu sedang dalam perjalanan menuju kemari. Sejak ia datang ke perusahaan satu jam yang lalu, ia selalu diingatkan kejadian semalam. Liam benar-benar menunggunya hingga tertidur bahkan ketika ia bangun, pria itu tertidur di sampingnya masih mengenakan setelan kemarin hanya saja tidak mengenakan atasan ketika tidur.Cukup terkejut tapi ia juga tidak merasa keberatan dengan itu bahkan ketika pria itu terbangunpun menanyakan apakah ia kembali bermimpi buruk? Liam sudah tahu jawabannya, ia memilih untuk diam lalu bersiap untuk bekerja. Ia berangkat lebih dulu karena ia tidak ingin jika semua orang yang ada di perusahaan tahu tentang dirinya tinggal satu atap dengan boss mereka.“Holy shit!”Arlene tersentak kaget, cangkir kopi panas yang ia bawa tak sengaja tumpah dan terjatuh ketika ia hendak masuk ke dalam ruangan. Walt tampak meringis, ia segera mengambil tisu di ruangannya kemudian memba
“Kau tidak ingin pulang, Walt?”“Kau pulang saja, pekerjaanku belum selesai.”“Berapa lama lagi? Dibawah gelap, aku takut.”“Sebentar lagi.”Catherine memutar bola matanya malas lalu menarik kursi dan duduk di depan meja pria bermanik cokelat itu. “Kau tahu, apa aku saja yang merasakan hal ini. Beberapa hari ini aku mencurigai Arlene yang begitu dekat dengan Liam, bukankah kau lihat berita pagi tadi? Apa kau tahu Liam dan Arlene benar-benar tinggal bersama?”“Tidak tahu,” jawab Walt tanpa menatap Catherine, ia tetap focus pada laptop agar pekerjaannya cepat selesai, ia ingin pulang karena ada yang lebih penting dari pertanyaan tidak penting Catherine.Catherine mendengus. “Bagaimana bisa kau tidak tahu sedangkan disini kaulah yang paling sering bersama Liam. Jadi katakan padaku Walt, aku janji untuk tidak memberitahu siapapun, apakah benar mereka tinggal bersama berdua? Tanpa orang ketiga selain Cassie?”“Kim.”Catherine berdecak. “Kim hanya tinggal sampai pukul 4 sore, lagipula wanita
Gerakan Liam terhenti ketika hendak masuk ke dalam. Ia diam di samping pintu apartment ketika berada di tengah-tengah keheningan sesaat. Tangan kanannya mengeras hingga memperlihatkan buku-buku putih mendengar apa yang Morgan katakan dan berhasil membuat jantungnya berdetak kencang. Shelley? Saudari kandung Arlene yang pernah gadis itu ceritakan di hadapan Marcia dan Shelley saat makan malam? Telinganya mendengar suara isak tangis Arlene, masih berapa banyak lagi kebohongan yang telah gadis itu tutupi selama ini?“Get out of my apartment, Mr. Krane.”Morgan menoleh. “You already know the truth?” tanyanya.“Jauhi Arlene.”Morgan melangkah penuh dengan perhatian ketika melihat tatapan Liam yang sulit diartikan. Ia masih membeku di tempat, tidak ada ekspresi di wajahnya dan tidak melepaskan pandangan dan terus menatap manik birunya dengan intens. Apakah Liam mendengar pembicaraan mereka dari awal? Apa saja yang telah pria itu dengar? Langkah Morgan terhenti tepat di samping Liam, keduanya
“Oouu sorry, kupikir kau masih mandi.” Liam menoleh. “Masuk, ini kamarmu,” ucapnya melihat Arlene hendak menutup pintu untuk keluar dari kamar karena melihatnya belum mengenakan pakaian, tidak, hanya boxer hitam yang melekat.Liam menyadari sejak pagi tadi, Arlene belum berbicara padanya mengingat apa yang hampir mereka lakukan semalam, gadis itu selalu mengalihkan pandangan bahkan ketika mereka bangun bersama saat itu Arlene sedang memeluk tubuhnya. Liam memaklumi bahwa Arlene merasa malu karena posisi mereka pagi itu tidak mengenakan pakaian, tapi mengapa harus merasa malu? Toh mereka pernah berbuat hal gila di yacht lebih dari satu kali, bukan? “Tidak, kau bisa memakai pakaianmu lebih dulu—”Liam tersenyum tipis kembali menghadap cermin. “Bagaimana bisa aku memakai pakaianku yang basah? Masuk, Arlene. Tidak ada yang perlu kau tutupi, kau sudah melihat seluruh tubuhku. Aku sangat tidak masalah jika kau ingin melihat untuk kedua kali dengan versi yang berbeda.” “Tidak—”“Arlene, ma
Mobil berwarna hitam memasuki kawasan mansion besar. Kakinya menginjak pedal rem hingga berhenti tepat di depan air mancur, perlahan pintu terbuka dan keluarlah seorang gadis bermanik hazel dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Suara ketukan sepatu terdengar ketika ia menginjakkan kakinya kelantai marmer, pintu terbuka tanpa harus bersusah payah untuk menekan bel mansion. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya ia lepaskan, meletakkan di dalam tas mahalnya.“Where's Morgan?”“Masih tidur, Nona.”Ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman miring, ia pun segera berjalan masuk kedalam mengikuti maid mansion yang akan mengantarkan dirinya untuk sampai kekamar pria itu. Matanya melirik sepanjang dinding yang memperlihatkan lukisan-lukisan romawi kuno yang terpajang. Langkahnya terhenti ketika wanita itu berhenti, pintu kamar pun terbuka. “Ada yang ingin anda minum, Miss. Court?”Shelley menggeleng. “Kau boleh pergi.”Shelley masuk ke dalam, menutup pintu kamar dan men